Mengulik Sejarah Kendaraan Listrik

Era keemasan kendaraan berbahan bakar fosil hampir berakhir, terutama di negara-negara maju. Saat ini, pabrikan-pabrikan mobil dunia berlomba-lomba memproduksi kendaraan listrik secara massal.

Namun kalau kita menengok sejarah ke belakang, ini sebenarnya bukanlah ide baru. Kendaraan yang tidak berisik dan tanpa emisi ini sudah menjadi tren sejak akhir abad 19. Bagaimana ceritanya?

Penemuan Kendaraan Listrik

Penemuan Kendaraan Listrik

Kendaraan listrik pertama muncul dalam kurun 1832-1839. Orang pertama yang menemukannya adalah Robert Anderson, seorang pengusaha Skotlandia. Waktu itu, mobil yang diciptakannya lebih mirip gerobak atau gerbong, memakai tenaga sel daya primer yang tidak dapat diisi ulang.

Baterai isi ulang yang layak dalam menyimpan tenaga listrik di atas kendaraan baru muncul tahun 1859, dengan penemuan akumulator listrik berupa baterai timbal-asam oleh fisikawan Prancis, Gaston Planté.

Mengacu pada penemuan Gaston Planté, pada 1881, ilmuwan Prancis lainnya, Camille Alphonse Faure, secara signifikan mengembangkan desain baterai yang lebih efisien dan andal. Tenaga baterai ini sukses diimplikasikan pada mobil listrik pertama yang berskala industri.

Penemu bola lampu, Thomas Alva Edison, pernah memuji-muji mobil listrik. Katanya, “Tidak ada kejutan atau deru dari motor bakar yang berkekuatan tinggi. Tidak ada bau bensin yang membahayakan. Tidak ada kebisingan. Terbebas sempurna dari getaran, menjamin kenyamanan dan kedamaian pikiran.”

Memang, hal-hal itu merupakan keunggulan mobil listrik. Dengan mengggunakan tenaga baterai hasil penyempurnaan Camille Alphonse Faure, kecepatan mobil listrik zaman itu pun tidak bisa diremehkan.

Pada 29 April 1899, rekor kecepatan 105,88 km/jam pernah dipecahkan oleh Camille Jenatzy, seorang insinyur dan pembalap mobil berkebangsaan Belgia. Ia menggunakan mobil rancangannya sendiri, La Jamais Contente, yang berbentuk torpedo.

Mobil Listrik: Tren Yang Mati Suri

Mobil Listrik: Tren Yang Mati Suri

Sebelum Perang Dunia I, atau sejak tahun 1905, mayoritas kendaraan komersial sudah bertenaga listrik. Pengendaranya adalah orang-orang kaya yang tujuannya tidak jauh-jauh, alias bersirkulasi di dalam kota saja.

Saat itu, pengguna mobil listrik kebanyakan perempuan. Sebab, mobil ini tidak membutuhkan tuas tangan untuk menyalakannya dan tidak pakai perpindahan gigi, sehingga dinilai praktis.

Mobil listrik menjadi primadona sampai tahun 1920-an. Kemudian, popularitasnya menurun. Orang tidak lagi suka dengan kendaraan listrik karena jarak tempuhnya terbatas, harganya lebih mahal, dan biaya operasionalnya tergolong besar.

Hampir bersamaan dengan itu, tepatnya di tahun 1910-an, telah hadir kendaraan berbahan bakar fosil sebagai kompetitor. Meskipun harga jual kedua jenis kendaraan ini relatif sama, terdapat kelebihan mutlak yang dimiliki mobil bensin, yaitu tinggal isi bensin ketika kehabisan daya. Tidak perlu berlama-lama mengisi atau menukar baterai, seperti pada mobil listrik.

Padahal, pada 1910-1924, sebenarnya Hartford Electric Light Company sudah mengantisipasi kendala tersebut dengan membuka jasa pemeliharaan baterai untuk truk-truk listrik General Electric Company (GVC). Lalu pada 1917, sebuah perusahaan di Chicago juga membuka layanan serupa untuk mobil-mobil Milburn Light Electric.

Namun, mobil berbahan bakar fosil waktu itu tetap lebih memikat. Apalagi Ford Motor Company berhasil mengakselerasi produksi mobil-mobil bensin secara massal. Bandrolnya dapat ditekan hingga separuh harga mobil listrik, tetapi dengan fitur-fitur yang makin canggih.

Makin kuatlah citra mobil berbaterai sebagai kendaraan yang berbiaya tinggi, berkecepatan rendah, dan berjarak tempuh pendek. Citra negatif ini menyebabkan minat pada mobil listrik menurun di seluruh dunia. Di Amerika Serikat saja, pada 1930-an, kendaraan beralimentasi daya baterai itu seperti langsung lenyap dari pasaran, sesenyap suara mesin penggeraknya.

Kendaraan Listrik Kembali Diminati

Kendaraan Listrik Kembali Diminati

Sejarah mencatat, sekitar tahun 1970-1980-an, kita sempat mengalami krisis energi fosil. Ini membuat perbincangan mengenai kendaraan listrik kembali mengemuka.

Pada awal 1990-an, California Air Resources Board (CARB) pun mulai menekan pabrikan-pabrikan otomotif supaya memproduksi mobil yang hemat bahan bakar dan minim gas buang, atau kalau bisa tanpa emisi sama sekali.

Lahirlah mobil-mobil listrik seperti Chrysler TEVan, truk pikap Ford Ranger EV, GM EV1, pikap S10 EV, hatchback Honda EV Plus, miniwagon Altra EV, dan Toyota RAV4 EV.

Hantaman resesi ekonomi global pada akhir 2000-an turut mendorong kelanjutan tren ini. Para produsen makin serius beralih ke mobil-mobil berukuran kecil, hibrida, bahkan yang bertenaga listrik sepenuhnya.

Tesla Motors Amerika meluncurkan Tesla Roadster pada 2008, Mitsubishi Jepang meluncurkan i-MiEV pada 2010, Nissan meluncurkan Leaf pada Desember 2010. Lalu disusul dengan REVAi, mobil bebas lisensi Buddy kategori quadricyle, Citroën C1 ev’ie, Azure Transit Connect Electric, Mercedes-Benz Vito E-Cell, Smart ED, Wheego Whip LiFe, dan sebagainya.

Apa Kabar Kendaraan Listrik Indonesia

Apa Kabar Kendaraan Listrik Indonesia

Usaha memproduksi kendaraan listrik di Indonesia sudah dimulai sejak 1989, ketika mahasiswa Institut Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya membuat mobil listrik bertenaga surya.

Lalu pada Juli 2012, Dahlan Iskan selaku Menteri BUMN memperkenalkan dan menguji coba mobil listrik karya anak bangsa untuk pertama kalinya. Dengan menggebu-gebu, pemerintah kemudian menargetkan pada 2018, Indonesia sudah bisa memproduksi 10.000 mobil listrik.

Sayangnya, hingga tahun ini, rencana produksi mobil listrik bertenaga surya itu belum layak dikomersialkan. Kemungkinan karena tingkat efisiensi tenaganya masih dibawah 17 persen. Sedangkan untuk kepentingan komersial, tingkat efisiensi energi harus di atas 25 persen,

Namun setidaknya, sepeda motor listrik yang dulunya juga dirintis anak-anak ITS, kini benar-benar telah mengaspal dengan merek GesITS. Produksinya pun sudah massal dan murni mengikuti skema bisnis.

Artinya, Indonesia sebenarnya mampu bersaing dalam produksi kendaraan-kendaraan listrik. Tinggal bagaimana kebijakan politik dan pembangunan infrastrukturnya. Terutama soal produksi baterai dan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPLU). Selain itu, jalan-jalannya harus mulus, supaya baterai tidak gampang rusak.

Secara keseluruhan, memang masih banyak PR yang perlu dikerjakan oleh pemerintah, BUMN, dan industri otomotif Indonesia. Namun, apakah kita mampu? Mampu, dong!

Referensi

Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment