Mengenang Geel Orlog atau Perang Kuning yang Menyatukan Berbagai Etnis Nusantara

Mau tahu perang terbesar yang dialami Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di tanah Hindia Belanda? Bisa jadi, itulah Perang Kuning alias Geel Orlog. Perang ini berlangsung di Jawa Tengah sampai Jawa Timur secara bertahap, dari tahun 1741 hingga 1743, dan berlanjut pada 1750.

Perang Kuning mempersatukan etnis Tionghoa, Jawa, termasuk para santri, demi menghadapi musuh bersama: Belanda. Dengan demikian, perang ini sekaligus membuktikan bahwa kerja sama antaretnis dan agama adalah hal biasa di Indonesia.

Geger Pacinan: Latar Belakang Perang Kuning

Geger Pacinan: Latar Belakang Perang Kuning

Menurut Liem Thian Joe dalam bukunya Riwajat Semarang, bangsa Tionghoa sudah menetap di tanah air sejak 1416. Waktu itu, pendudukan Manchu dan keadaan politik-ekonomi Tiongkok memburuk. Sebagian masyarakat sana memutuskan mengungsi menggunakan perahu jong. Mereka kebanyakan mendarat di daerah Mangkang, Semarang.

Buku tersebut banyak menyorot kehidupan Tionghoa perantau ini. Termasuk tragedi pembantaian warga Tionghoa di Batavia oleh Belanda.

Lalu, pada awal 1740-an, gelombang besar imigran Tiongkok kembali masuk ke Hindia Belanda. Informasi ini ada dalam buku Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC yang terbit pada 2013. Penulisnya adalah R.M Daradjadi, sejarawan yang merupakan keturunan Mangkunegara.

Di Nusantara, warga Tionghoa pendatang menyebar ke berbagai kota. Mereka gigih mengadu nasib. Ada yang bekerja serabutan, berdagang, tetapi ada pula yang pengangguran. Nah, yang pengangguran ini lambat laun membuat angka kriminalitas di Batavia meningkat.

Sementara mereka yang berdagang tampaknya membuat bisnis VOC merasa tersaingi.

Akhirnya, VOC mengambil sikap keras. Bukan hanya mengenakan pajak yang tinggi kepada pendatang berkulit kuning itu, mereka juga menangkapi para imigran yang dicurigai tidak memiliki izin tetap.

Kondisi mulai tak terkendali. Kelompok Tionghoa tidak mau pasrah diperlakukan semena-mena. Di bawah pimpinan Kapitan Sepanjang, tokoh Tionghoa yang bernama asli Souw Pan Chiang, para pendatang ini beringas menyerang penjara yang mengurung kawan-kawan mereka.

Gubernur Jenderal Valckenier makin panas. Ia merespon kerusuhan itu dengan tangan besi. Akibatnya, sekitar 7.000-10.000 kaum Tionghoa pun harus meregang nyawa. Tragedi ini disebut Geger Pacinan.

Para penyintas Tionghoa mengungsi, paling banyak ke Lasem dan Semarang, Jawa Tengah. Kebetulan, Adipati Lasem, Raden Tumenggung Widyaningrat alias Oei Ing Kiat (ya, beliau juga keturunan Tionghoa), menyambut serta mengayomi para pengungsi itu.

Berdirilah perkampungan-perkampungan pengungsi di tepi Sungai Kamandung, Pereng, dan Soditan. VOC bukannya tidak tahu itu. Mereka memutar otak bagaimana caranya supaya setiap pergerakan yang mencurigakan bisa terus terpantau.

Meletusnya Perang Kuning

Meletusnya Perang Kuning

Akhirnya, pada 1741, VOC mendirikan kantor dagang di Rembang dan Jepara, dengan menunjuk Hangabei Honggojoyo sebagai Adipati Rembang. Upaya VOC ini membuat Tumenggung Widyaningrat geram, karena merasa wibawa Kadipaten Lasem direndahkan.

Merespon manuver politik VOC tersebut, Raden Tumenggung Widyaningrat dan Raden Panji Margono (bangsawan Jawa sahabatnya) diam-diam menyusun skema pemberontakan.

Mereka membangun kekuatan milisi. Selain terdiri dari etnis Tionghoa, koalisi tersebut juga didukung warga Jawa yang berempati dengan penderitaan kaum Tionghoa. Widyaningrat juga menggalang kekuatan dari sisa milisi Arya Mataram dan Raden Purbaya di hutan Blora, Purwodadi, dan Pati.

Mereka menyerbu Rembang, Juana, dan Jepara. Bersama Tan Kee Wei (pengusaha tegel yang sekaligus pendekar kungfu), Widyaningrat dan Margono memilih menyerang dari pesisir pantai atau pelabuhan. Kemudian diteruskan ke pusat kekuatan lawan.

Serangan dadakan ini sukses membuat militer VOC pontang-panting. Pihak koalisi pun berhasil menguasai Rembang.

Sasaran berikutnya adalah markas VOC di Juana dan Jepara. Namun lantaran kekuatan VOC di dua wilayah tersebut diprediksi lebih kuat, laskar Lasem dipecah menjadi dua pasukan yang akan menyerang secara bersamaan. Taktik penyerangan dua sisi ini diharapkan membuat VOC makin kalang kabut.

Laskar pertama, di bawah komando Widyaningrat dan Margono, menyerbu Juana. Sedangkan laskar kedua, di bawah pimpinan Tan Kee Wei, menyerang Jepara.

Di pelabuhan Juana, tentara VOC dapat dikalahkan dan dipukul mundur hingga ke kota. Sesuai rencana, laskar Lasem menjepit Kota Juana dari dua arah. Perang di alun-alun kota tak terelakkan.

Namun, VOC yang memperoleh bantuan serdadu dari Semarang dan Tuban berhasil memukul mundur laskar Lasem.

Pasukan Tan Kee Wei di Jepara juga bernasib sama. Pertempuran hanya berlangsung di perairan sekitar Jepara. Laskar Lasem tidak pernah bisa menembus hingga pusat kota. Bahkan, Tan Kee Wei gugur dalam pertempuran itu.

Akibat Perang Kuning: Belanda Menguasai Lasem

Akibat Perang Kuning: Belanda Menguasai Lasem

Di Lasem, Widyaningrat buru-buru membubarkan koalisi pasukan Tionghoa-Jawa. Senjata-senjata disembunyikan. Semua harus tampak normal, sebelum sang adipati keturunan Tionghoa itu berangkat ke Mataram untuk melaporkan peristiwa penyerangan Rembang, Juana, dan Jepara.

Dalam laporan tersebut, sang adipati mengatakan bahwa rakyatnya tidak mengetahui apa-apa, karena perang dilakukan oleh etnis Tionghoa anonim dari berbagai daerah.

Akan tetapi, dalih ini dimentahkan oleh Pakubuwono II. Akibatnya, pada 1473, Lasem jatuh ke tangan VOC. Widyaningrat dipecat dan jabatannya diturunkan menjadi Tumenggung Mayor Titular, jabatan formalitas VOC. Pergerakan Tumenggung Widyaningrat dan Raden Panji Margono, serta orang-orang Tionghoa di Lasem terus diawasi oleh VOC.

Meskipun demikian, semangat Widyaningrat dan Margono untuk melawan bangsa penjajah tidak pernah padam.

Perlawanan itu dilanjutkan pada 1750. Kali ini, keduanya menggandeng Kiai Ali Badawi (pengasuh pondok pesantren di Puri Kawak, Lasem) untuk menyerbu kedudukan VOC di Rembang. Di sinilah, kalangan santri ikut bergabung dengan koalisi.

Sayang, pertempuran ini juga berhasil dipatahkan. Raden Tumenggung Widyaningrat dan Raden Panji Margono sendiri gugur. Setelah itu, perlawanan dari Lasem benar-benar padam, menandai berakhirnya Perang Kuning.

Di tangan Belanda, Lasem atau “Tiongkok Kecil” tidak lagi menjadi kabupaten, melainkan hanya wilayah setara kecamatan di bawah Kabupaten Rembang.

Padahal, kalau melongok sejarahnya, Lasem bukan hanya pusat aktivitas warga di sepanjang garis pantura.

Kedekatan wilayah dengan penduduk Tiongkok sudah terkenal sejak abad 14 ketika Laksamana Cheng Ho mendatangi Kerajaan Majapahit. Juga ketika Bi Nang Un, pengikut Cheng Ho, dipersilakan oleh Pangeran Wijaya Badra selaku Adipati Lasem untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara.

Jadi, suatu hari ketika Teman-teman berkunjung ke daerah Lasem, Jawa Tengah, ingat-ingatlah cerita ini. Agar kunjungan itu terasa lebih bermakna.

Referensi

Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment