Pola Pikir Pramuka vs Prajurit

Pada 14 Agustus, kita di Indonesia merayakan Hari Pramuka. Wah, jadi ingat masa-masa sekolah di Pontianak dulu, ketika aku menjadi anggota pramuka penggalang dan penegak. Entah bagaimana perkembangan pramuka saat ini. Yang jelas, baru-baru ini aku membaca buku yang menarik ini, The Scout Mindset (2021) (pola pikir pramuka), dan tertarik mengulasnya.

Buku karya Julia Galef ini menghadapkan dua pola pikir besar: prajurit dan pramuka. Julia, penulis cantik itu, mengajak kita membayangkan jika dunia ini sedang dilanda perang, dan hanya tersisa dua tipe manusia tersebut.

Para prajurit percaya hanya ada satu cara untuk mememecahkan permasalahan-permasalahan di dunia, yaitu cara mereka! Mereka siap menyerang apapun atau siapa pun yang bertentangan. Sementara, para pramuka tidak pernah tertarik untuk menyerang. Mereka mendedikasikan diri untuk membuat peta medan perang yang akurat dan mencari fakta.

Skandal Dreyfus

Skandal Albert Dreyfus

Pada 1894, di Kedubes Jerman di Prancis, seorang petugas kebersihan menemukan sobekan memo di keranjang sampah. Petugas kebersihan ini ternyata mata-mata Prancis, dan memo itu kebetulan berisi informasi militer Prancis. Seseorang diduga telah menjual rahasia Prancis ke Jerman!

Telunjuk-telunjuk segera mengarah ke Albert Dreyfus, seorang perwira Prancis. Tulisan di memo itu memang mirip dengan tulisan tangannya. Dreyfus juga memiliki akses ke informasi yang tertulis di kertas itu. Ditambah lagi, dia seorang Yahudi (waktu itu militer Prancis begitu antisemit), dan menurut buku itu, rumornya suka berjudi, plus mata keranjang. Seekor kambing hitam yang sempurna!

Ini kasus yang terkenal sekali, sebelum Perang Dunia I. Dreyfus mengaku tidak bersalah, tetapi didakwa hukuman seumur hidup di Pulau Setan (Île du Diable), pulau penjara di Guyana Prancis.

Sebenarnya, ada banyak bukti bahwa Dreyfus tidak bersalah. Apa daya, orang-orang yang menyelidiki Dreyfus ingin percaya bahwa ia bersalah. Mereka hanya berfokus pada bukti-bukti yang mendukung asumsi itu, dan memilih mengabaikan ketika:

  • Grafolog (ahli tulisan tangan) kedua mengatakan bahwa sobekan memo tersebut tidak ditulis oleh Dreyfus.
  • Menggeledah rumah Dreyfus dan tidak menemukan apapun. Mereka malah menyimpulkan bahwa Dreyfus pasti telah membuangnya.
  • Ada tersangka kedua, yakni seorang pria yang tulisan tangannya mirip dengan tulisan di memo itu. Namun, penyelidik yakin dia tidak bersalah.

Tepat saat Dreyfus dikirim ke penjara, Kolonel Georges Picquart ditugaskan untuk melakukan kontra spionase Prancis di Jerman. Namun, ia tidak menemukan bukti-bukti yang signifikan. Berbeda dengan penyelidik lainnya, Picquart mau mempertimbangkan bukti-bukti yang menunjukkan Dreyfus tidak bersalah.

Setelah Dreyfus dipenjara, memo-memo sejenis terus bermunculan. Picquart pun semakin yakin Dreyfus bukan pelaku sebenarnya. Sementara penyelidik lain masih berandai-andai bahwa ada dua mata-mata, dan mata-mata kedua yang belum tertangkap sudah belajar menulis seperti Dreyfus.

Berkat penyelidikan lebih lanjut dari keluarganya dan tulisan seorang jurnalis bernama Emile Zola kepada presiden waktu itu, Dreyfus akhirnya dibebaskan.

Yang mau Julia sorot di sini, Picquart adalah contoh penyelidik yang berpola pikir pramuka. Sedangkan penyelidik lain berpola pikir prajurit.

Apa Itu Pola Pikir Prajurit

Apa Itu Pola Pikir Prajurit

Menurut Julia, pola pikir prajurit dapat membutakan kita dari kebenaran. Jika kita sibuk melihat apa yang ingin kita lihat, kita takkan pernah melihat apa yang sebenarnya ada. Maka jangan berharap keyakinan kita berubah ke arah yang lebih baik.

Masalahnya, mengapa banyak orang menggunakan pola pikir yang buruk ini? Karena ada manfaat sosial dan emosionalnya!

Bayangkan Teman-teman adalah anggota klub sepeda yang setiap akhir pekan bersepeda keliling kota. Lalu, kalian mulai merasa sia-sia menghabiskan pagi sampai siang di hari Minggu dengan bersepeda. Olahraganya hanya 20 persen, sementara 80 persennya adalah makan-makan dan mengobrol tentang onderdil sepeda siapa yang paling keren.

Kalian berpikir ingin berhenti dan keluar. Namun, bila kalian benar-benar melakukannya, bisa jadi pertemanan akan terhenti. Kalian pun jadi berpikir seratus kali. Akhirnya tidak jadi keluar. Kalian bahkan siap menyerang siapa saja yang mempertanyakan manfaat bergabung dengan klub sepeda, termasuk jika itu istri kalian. Begitulah pola pikir prajurit.

Semangat memiliki dan jiwa korsa bukan satu-satunya manfaat yang ditawarkan oleh pola pikir prajurit. Ada manfaat emosional juga.

Katakanlah Teman-teman melamar pekerjaan dan gagal. Apa yang kalian pikirkan? Apakah kalian mengakui bahwa barangkali kalian bukan kandidat terbaik? Dengan pola pikir prajurit, rasanya tidak mungkin! Justru kalian akan menganggap perusahaan itu tidak layak mendapatkan jasa kalian. Atau HRD-nya teledor dan tidak kompeten dalam menyeleksi pegawai.

Begitulah pola pikir prajurit memberi kita kenyamanan. Membantu kita kebal terhadap versi realitas yang mungkin tidak menyenangkan, sekalipun itu fakta.

Apa Itu Pola Pikir Pramuka

Apa Itu Pola Pikir Pramuka

Nah, sekarang kita bergeser ke cara pandang pramuka. Pramuka meyakini, cara terbaik untuk benar adalah dengan menjadi ahli dalam menganalisis kesalahan. Berbuat salah memang bukan tujuan. Tujuannya tetap menjadi benar. Namun tidak seperti prajurit, pramuka menganggap kesalahan sebagai langkah penting untuk mendekati kebenaran.

Julia kemudian mengajak kita untuk menengok etos kerja superforecaster.

Dari masa ke masa, para pakar selalu mencoba memprediksi masa depan, seperti hasil pilpres, cuaca, tren ekonomi, acara televisi yang bakal meledak, dan sebagainya. Sayangnya, mereka lebih banyak kelirunya. Menurut Philip Tetlock, ilmuwan yang meneliti subjek ini selama dua dasawarsa, rata-rata prediksi para pakar hanya seakurat simpanse yang melempar panah.

Namun, Philip juga melihat ada segelintir tim yang memang sangat akurat. Ia menyebut mereka superforecaster. Hanya dengan mesin penelusuran Google, para peramal super ini membuat prediksi 30 persen lebih akurat daripada analis CIA yang memiliki akses ke dokumen-dokumen rahasia. Mereka juga membuat prediksi yang 70 persen lebih akurat daripada ramalan tim profesor universitas.

Apakah pengetahuan mereka mendalam? Pengalaman mereka luas? Otak mereka superior? Sama sekali tidak!

Para peramal super ini hanya berpikiran terbuka, bersedia mengubah pikiran mereka sedikit demi sedikit berdasarkan informasi baru. Alih-alih menyangkal kesalahan atau mengarang alasan pembenar, mereka meninjaunya kembali dan memperbaiki cara mereka membuat prediksi. Dengan demikian, prediksi mereka lebih akurat di masa mendatang.

Pramuka, sebagaimana superforcaster, tidak membantah bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Mereka akan merevisi pendapat mereka saat menemukan bukti semacam itu. Mereka melihat kesalahan sebagai kesempatan untuk belajar, menyesuaikan diri, dan memperbaikinya pada kesempatan lain.

Bagaimana Mengadopsi Pola Pikir Pramuka

Bagaimana Mengadopsi Pola Pikir Pramuka

Di pesta makan malam keluarga besar, ada aturan tak tertulis untuk tidak membicarakan agama, politik, tim olahraga, makanan favorit, dan musik kesukaan. Sebab, hampir pasti itu akan memantik perdebatan.

Kepercayaan agama dan aliansi politik sering menjadi bagian penting dari identitas seseorang. Jadi ketika mengkritik pilihan politik seseorang, kita tidak hanya menyerang apa yang mereka pikirkan, melainkan juga identitas mereka. Kita pun demikian. Memiliki identitas menuntut kita untuk mempertahankan keyakinan kita.

Namun, jika kita terbuka terhadap informasi baru dan fakta yang akurat, kita memang selalu memiliki keyakinan yang layak dipertahankan. Walau itu berarti apa yang kita yakini hari ini mungkin berbeda lagi besok, lantaran perkembangan fakta-fakta baru yang terus kita olah. Nah, bagaimana cara memiliki pola pikir pramuka seperti ini?

Belajarlah mengakui ketika salah

Latihan ini akan memperkuat kemampuan dalam mengenali kesalahan diri. Abraham Lincoln, misalnya. Pada Mei 1863, ketika terjadi Perang Saudara di Amerika dan Jenderal Ulysses S. Grant telah merebut Vicksburg dari Konfederasi, Lincoln menulis ucapan selamat, “Sekarang saya ingin membuat pengakuan pribadi: Anda benar dan saya salah.”

Kita harus mau membuat ucapan pengakuan yang serupa. Tidak harus secara terbuka seperti yang dilakukan Lincoln, meskipun itu tentu lebih kesatria. Cukup akui kepada diri sendiri setiap kali kita keliru. Itu sudah merupakan langkah pertama dalam menanamkan pola pikir pramuka.

Bersikaplah skeptis terhadap diri sendiri

Ingat, pramuka mengejar realitas yang lebih akurat dan objektif. Jadi, selalu bersikaplah skeptis pada pemikiran kita sendiri. Tanyakan, “Apakah ini sudah meyakinkan? Apakah bukti-bukti pendukungnya ilmiah?”

Pada 2018, seorang saintis Dr. Bethany Brookshire, mencuit di Twitter bahwa wanita biasanya membalas emailnya dengan, “Hai, Dr. Brookshire.” Sementara pria membuka dengan, “Dear Bethany” atau “Dear Miss Brookshire.” Padahal, gelar PhD Dr. Brookshire jelas terpampang di bagian bawah emailnya. Jadi, siapa pun yang ia kirimi email, seharusnya tahu bahwa ia seorang “Dr”.

Cuitan itu mendapatkan lebih dari 2.000 suka. Namun, kemudian Dr. Brookshire menjalankan pola pikir pramukanya. Ia memutuskan untuk menguji klaimnya dengan memeriksa kotak masuk emailnya.

Aduh, ternyata hipotesisnya keliru! Delapan persen pria menjawab, “Dr yang baik.” Sementara hanya 6 persen wanita yang melakukan hal yang sama. Spontan, ia kembali ke Twitter dan mencuitkan kesalahannya. Ini adalah perilaku pramuka yang membanggakan. Bagi Dr. Brookshire, fakta lebih penting daripada citra diri.

Tadinya, tujuan dari cuitannya adalah untuk menunjukkan bahwa ada bias gender dalam sains. Bahwa wanita menganggap serius kualifikasinya, sedangkan pria tidak. Persepsi itu ternyata keliru. Dr. Brookshire cukup kesatria untuk mengakuinya di depan publik Twitter.

Setiap orang melihat dunia melalui kacamatanya. Dr. Brookshire tadinya sedang mencari bukti bias gender dalam sains, jadi tidak heran jika bias gender adalah apa yang akhirnya ia lihat. Bila ia tidak skeptis pada diri sendiri, pasti pemikiran (awal) itulah yang akan dipakainya seumur hidup.

Gunakan sudut pandang orang luar

Dalam situasi apapun, bayangkan kita sebagai orang luar. Ini seperti yang dilakukan Intel sebelum berubah menjadi perusahaan mikroprosesor. Pada 1985, Intel bergerak di bidang cip memori. Namun kemudian, bisnisnya oleng karena kalah dari pesaing Jepang. Para pendiri Intel berpikir untuk pindah ke pasar lain, tetapi ragu.

Mereka kemudian menggunakan eksperimen pemikiran yang menggunakan sudut pandang orang luar. Mereka mempertimbangkan apa yang sekiranya akan dilakukan oleh CEO yang benar-benar baru. Rekomendasi dari eksperimen itu: Intel harus keluar dari bisnis cip memori.

Benar saja, Intel akhirnya banting setir jadi perusahaan produsen mikroprosesor, dan sukses hingga hari ini.

Lakukan Uji Bias Status Quo

Kita cenderung tumbuh mengikuti lingkungan. Wajarlah bila kita mudah menuruti bias terhadap status quo (zona nyaman). Untuk membongkar bias ini, bayangkan saja situasi asing, seperti pindah ke kota baru dan mengerjakan pekerjaan baru.

Bayangkan Teman-teman memiliki kesempatan untuk mengambil pekerjaan baru yang gajinya bagus, tetapi harus memboyong keluarga kecil pindah ke kota baru itu, jauh dari teman, keluarga besar, dan kenangan indah. Apakah itu layak? Bias status quo kita mungkin mengatakan tidak.

Namun, bagaimana jika dengan mengambil pekerjaan itu, kita ternyata lebih makmur dan prospek karier lebih baik? Apakah kita tetap memilih teman, keluarga besar, dan kenangan indah? Bukankah dengan penghasilan yang baik, kita akan dengan mudah menjumpai atau mengundang mereka? Apalagi di era sekarang, jarak dan waktu, bukan lagi masalah.

Uji Bias Status Quo akan membantu kita membuat keputusan yang tidak terpengaruh oleh keadaan kita saat ini.

Bahkan, ketika menulis buku ini, Julia Galef berkali-kali menguji pemikirannya dengan keempat hal di atas. Karena selama menampilkan kasus demi kasus dalam bukunya, ia sendiri takut terjebak dalam pola pikir prajurit.

Opiniku tentang Buku The Scout Mindset

Opiniku tentang Buku The Scout Mindset

Aku tidak menyangka, filosofi pramuka dapat diuraikan sedemikian detail. Ini juga menarik karena menghadapkan prajurit dengan pramuka. Kita tahu, pramuka pada dasarnya diciptakan oleh Lord Robert Baden-Powell. Beliau juga orang militer, tepatnya di Angkatan Darat Kerajaan Inggris. Jabatan terakhirnya adalah Letnan Jenderal (letjen).

Lord Robert Baden-Powell terinspirasi oleh Perang Boer II pada pengepungan Mafeking di Afrika Selatan. Dengan teknik kepanduannya, Baden-Powell berhasil memenangkan Britania Raya dari perang melawan Afrikaner (keturunan bangsa Belanda di Afrika Selatan). Bisa dibilang, teknik-teknik pramuka atau kepanduan berasal dari pengalaman militer Baden-Powell yang terbentuk selama puluhan tahun.

Namun ternyata, di buku The Scout Mindset, pola pikir pramuka dan prajurit dipaparkan dengan filosofi yang berbeda. Jeli sekali.

Menurutku, banyak hal dari buku ini yang relevan dengan kehidupan sosial kita. Betapa banyak orang dengan pola pikir prajurit. Mereka (atau jangan-jangan kita sendiri?) merasa prinsipnya atau cara pandangnyalah yang terbaik dan berusaha mengubah orang lain untuk mengikuti prinsip mereka.

Jika terjebak dalam pola pikir seperti itu, belum terlambat! Mari mengadopsi pola pikir pramuka yang sudah pasti membuat orang lain merasa lebih nyaman dengan kita.

Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment