Masa Lalu Perpustakaan yang Suram, dan Masa Depannya yang Menjanjikan

Sudah tiga dasawarsa, setiap 7 Juli kita peringati sebagai Hari Pustakawan. Pada tanggal itu, tepatnya tahun 1973, lahir Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Lalu tujuh tahun berikutnya, Hari Pustakawan mulai dirayakan secara nasional. Dalam rangka itu, aku ingin berbicara sedikit mengenai perpustakaan.

Seperti yang kita tahu, perpustakaan adalah tempat seseorang atau lembaga menyimpan buku-buku untuk diambil manfaatnya oleh pihak pengguna perpustakaan (pemustaka). Tempat itu biasanya tenang, luas, dan rapi, sehingga seorang pemustaka merasa kondusif untuk membaca atau berpikir.

Sayangnya, masa lalu perpustakaan ternyata tidak secerah ilmu-ilmu yang ditawarkannya.

Masa Lalu Perpustakaan: Sering Dibakar

Masa Lalu Perpustakaan: Sering Dibakar

Susan Orlean, dalam buku The Library Book (2018) menceritakan ulang tragedi-tragedi kebakaran yang pernah menimpa perpustakaan. Dimulai dengan kebakaran perpustakaan terbesar dalam sejarah Amerika Serikat. Kebakaran itu terjadi pada 29 April 1986 di Perpustakaan Pusat Los Angeles (LA Central Library).

Orang mulai keluar-masuk begitu pintu perpustakaan dibuka tepat pukul 10.00. Di dalamnya, perwakilan Perpustakaan Pusat sedang mendiskusikan penempatan penyemprot air (sprinkler). Tiba-tiba, alarm kebakaran berbunyi. Pengunjung dan staf di sana santai saja. Mereka menganggap bunyi itu hanya alarm palsu.

Namun, ternyata tidak. Kebakaran benar-benar terpantik. Titik api ditengarai berawal di Departemen Fiksi. Berikutnya, api berkobar selama tujuh jam 38 menit. Petugas pemadam kebakaran percaya kebakaran ini disebabkan oleh kesengajaan. Namun, siapa pelaku sebenarnya, belum terjawab dengan pasti.

Nahasnya perpustakaan, secara alami, memang mudah terbakar. Maklumlah, buku, majalah, dan koran terdiri dari kertas-kertas. Semakin kuno kertas itu, semakin gampang terpantik. Baik karena kecelakaan maupun kesengajaan.

Ya, sering juga sengaja dibakar, terutama lantaran alasan politik. Perpustakaan kuno Alexandria di Mesir, umpamanya. Entah sudah berapa kali mengalami nasib sial itu. Pertama, dibakar oleh Julius Caesar. Kemudian, oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 640. Namun, menurut Susan, sang khalifah hanya membakar buku-buku yang bertentangan dengan Al-Qur’an.

Para penakluk Spanyol juga tercatat membakar setiap jejak dokumenter budaya Maya.

Pada Abad Pertengahan, Paus memerintahkan umat Katolik untuk membakar buku-buku Yahudi karena dianggap menyebarkan pemikiran anti-Katolik. Inkuisisi Spanyol malah menjadikan pembakaran ini sebagai pertunjukan yang meriah.

NAZI tak mau kalah. Selama Perang Dunia II, mereka terkenal hobi membakar tumpukan buku, perpustakaan, dan sinagoge (tempat ibadah Yahudi). Kalian tahu, feuersprüche (mantra api) adalah istilah untuk api unggun raksasa yang dibuat dari buku-buku karya penulis Yahudi di seluruh Jerman pada rentang 1933-1934.

Di masa perang, Sekutu juga tercatat suka serampangan melakukan perusakan dan penghancuran perpustakaan.

Setelah perang, beberapa negara menandatangani perjanjian untuk melindungi kekayaan budaya dan artefak selama perang. Tak lama setelah diktator Mao Zedong, yang juga mantan pustakawan, menandatangani pakta tersebut, ia mulai membakar buku-buku di Cina dan Tibet. Ironis.

Daftar Perpus Lain yang Sengaja Dibakar atau Dihancurkan

      • Perpustakaan Istana Xianyang di Provinsi Shaanxi, Tiongkok. Pada tahun 206 SM terbakar atas perintah Raja Qin Shi Huang
      • Perpustakaan Antiokhia di Orontes, Suriah. Dibakar pada pemerintah Kaisar Jovien Flavius Claudius pada tahun 364 Masehi, dalam bentrokan dengan kekaisaran Sassanid.
      • Perpustakaan Al-Hakam II Cordoba, Spanyol, dibakar atas perintah Al-Mansura, Wasir Istana Khalifah Umayyah Cordoba. Pembakaran terjadi selama gerakan ultra-Ortodoks dengan memusnahkan buku-buku ilmu pengetahuan kuno, pada tahun 976 Masehi.
      • Perpustakaan Ray Dinasti Syi’ah di Persia. Buku-buku di sana sengaja dibakar dengan alasan sesat oleh Sultan Muhammad dari Ghazni pada tahun 1151 Masehi.
      • Perpustakaan Nishapur, wilayah Khorassan di timur laut Iran. Dibakar oleh Konfederasi Oghouzes dari Kazakhstan pada tahun 1154 Masehi. Selain perpustakaanya dijarah dan dibakar, sebagian kota di sana juga hancur.
      • Perpustakaan Nalanda di negara bagian Bihar, India Utara, dekat Nepal. Dijarah tahun 1193 oleh penakluk Muslim Turki yang dipimpin oleh Muhammad bin Bakhtiyar Khalji. Perpustakaan itu terletak di kompleks Universitas Nalanda yang merupakan pusat pengetahuan Buddhis terbesar saat itu.
      • Perpustakaan Kekaisaran Konstantinopel, Bizantium, menjadi sasaran para kesatria Perang Salib keempat pada tahun 1204. Isi perpustakaan selain dimusnahkan, juga dijarah dan sebagian dimasukkan ke dalam perpustakaan Sultan Ottoman.
      • Perpustakaan atau rumah-rumah kebijaksanaan di Baghdad, Irak, dirusak oleh pasukan Kekaisaran Mongol dalam pertempuran melawan tentara Kekhalifahan Abbasiyah, pada tahun 1258.
      • Perpustakaan Meksiko, Kekaisaran Aztec, dihancurkan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Itzcoatl, antara tahun 1427-1440.
      • Perpustakaan Madrasah di Granada, Spanyol, diserang oleh pasukan Kardinal Cisneros. Sebanyak 80.000 manuskrip Arab dibawa ke alun-alun Plaza Bib-Rambla dan dibakar di depan umum. Itu terjadi pada tahun 1499.
      • Perpustakaan Corviniana di Kota Buda, pada 1526 dirusak oleh pasukan Kekaisaran Ottoman.
      • Tanggal 12 Juli 1562, seorang Uskup Fransiskan dari Spanyol, bernama Diego de Landa, dalam penaklukan Yucatan, membakar hampir seluruh kumpulan catatan yang ditulis dalam aksara Maya. Naskah itu berisi pengetahuan tentang agama, peradaban Maya dan sejarah Benua Amerika.
      • Pembakaran Kastil Raglan yang terletak di Monmouthshire, Wales, Britania Raya, pada tahun 1646 oleh Tentara Model Baru Inggris turut menghanguskan koleksi perpustakaannya.
      • Perpustakaan Kongres, sebuah perpustakaan penelitian Kongres Amarika Serikat. Terletak di Washington Distrik Center. Pada tahun 1814 dibakar oleh pasukan dari Inggris Raya. Perang Anglo-Amerika itu berkobar antara bulan Juni 1812 hingga Februari 1815.
      • Kebakaran Gedung Parlemen di Montreal pada tanggal 25 April 1849 oleh perusuh antiserikat dan organisasi persaudaraan Protestan Ordo Oranye, turut menghanguskan perpustakaan di sana. Kebakaran berlangsung ketika para deputi sedang bersidang memperdebatkan RUU untuk mengubah undang-undang yang berkaitan dengan pengadilan yurisdiksi sipil.
      • Perpustakaan Raja Burma, di Istana Mandalay, Myanmar antara tahun 1885-1887 dibakar dan dijarah oleh pasukan Inggris.
      • Perpustakaan Universitas Alabama, di Tuscaloosa Amerika Serikat, dibakar oleh pasukan Union pada 4 Mai 1865. Kurang-lebih 7.000 buku hancur. Union adalah nama yang merujuk pada 23 negara bagian Amerika Serikat yang bukan bagian dari Konfederasi.
      • Perpustakaan Universitas Katolik Louvain di Belgia, kotanya bahkan turut dibakar oleh pasukan Jerman pada 25 Agustus 1914.
      • Perpustakaan Arsip National Irlandia di Dublin, Irlandia, terbakar tahun 1922, pada awal perang saudara yang dipimpin oleh Michael Collins.
      • Perpustakaan Institut Seksologi Magnus di Berlin pada 6 Mei 1933, arsip di sana dikosongkan dan dibakar di jalan-jalan Opernplatz oleh Nazi.
      • Saat Perang Dunia II antara tahun 1937-1945, pasukan Jepang menyerang dan menghancurkan banyak perpustakaan di Tiongkok, seperti Universitas Nasional Tsing Hua, Universitas Nasional Hunan, Universitas Nankai, Universitas Ta Hsia, Universitas Kuang Hua, Institut Tehnologi di Hepei, termasuk Falkutas Pertanian dan Kedokteran di institut tersebut.
      • Perpustakaan National Serbia di Kota Beograd, Yugoslavia, hancur saat Perang Dunia II oleh pemboman Pasukan Hitler pada tahun 1941.
      • Pada tahun 1944, perpustakaan Zaluski di kota Warsawa, Polandia, dibakar oleh pasukan Nazi Jerman dalam pemberontakan bersenjata yang kemudian dikenal nama Pemberontakan Warsawa.
      • Perpustakaan Universitas Caen di Prancis, rusak selama Perang Dunia II, dalam Pertempuran Caen yang terkenal dengan nama Operasi Charnwood. Bangunan tua di pusat kota Caen pada abad ke 17 dan 18 ini, yang hancur pada 7 Juni 1944, dikenal juga sebagai Grandes Ecoles.
      • Perpustakaan Nasional Liban di Beirut, rusak selama Perang Saudara Lebanon pada tahun 1975. Perang Saudara ini diselingi intervensi asing dan memakan korban sipil 250.000 orang.
      • Perpustakaan National Kamboja, terletak di Phnom Penh, ibu kota Kamboja, dirusak oleh kelompok Khmer Merah pada tahun 1976-1979.
      • Perpustakaan Jaffna di Sri Lanka, salah satu perpustakaan terbesar di Asia, dirusak selama pecahnya perang saudara Sri Lanka oleh polisi berpakaian sipil dan lainnya, pada tahun 1981. Insiden ini menghancurkan 97.000 buku dan manuskrip, menjadi contoh biblioklas dan penghancuran peradaban paling kejam di abad 20.
      • Perpustakaan Sikh di Amritsar, Punjab, negara bagian di barat laut India yang berisi manuskrip langka tentang agama, sejarah dan budaya Sikh, dihancurkan atas komando Indira Gandhi, pada 7 Juni 1984.
      • Perpustakaan Sentral Universitas Bucarest, di ibu kota Rumania, terbakar dalam Revolusi Rumania bulan Desember tahun 1989 oleh Pasukan darat Rumania.
      • Perpustakaan Institut Oriental Sarajevo di Bosnia-Herzegovina dibombardir dalam Pengepungan Sarajevo, pada tanggal 17 Mei 1992, menjadi pengepungan ibu kota terpanjang di sepanjang sejarah abad modern.
      • Perpustakaan Nasional Abkhazia, di Sokhoumi, rusak selama konflik bersenjata, pada tahun 1992, oleh Angkatan Bersenjata Georgia.
      • Perpustakaan Umum Pol-i-Khomri, sebuah kota di Afghanistan rusak oleh pasukan Taliban pada tahun 1998, perpustakaan ini memiliki koleksi 55.000 buku dan naskah kuno.
      • Perpustakaan-perpustakaan yang dijarah, dirusak dan dihancurkan dalam Operasi Pembebasan Irak, pada tahun 2003 antara lain Perpustakaan Nasional Irak, Perpustakaan Ak-Awqaf, Perpustakaan Sentral Baghdad, Perpustakaan Bayt al-Hikma, dan Perpustakaan Universitas Mosul.
      • Perpustakaan Institut Studi dan Penelitian Islam Tinggi Ahmed-Baba di Timbuktu, Mali, dibakar habis oleh militan Islamisme. Perpustakaan itu berisi 20.000 manuskrip, di mana hanya sebagian kecil yang telah didigitalisasikan. Itu terjadi 28 Januari 2013.
      • Perpustakaan Perikanan dan Kelautan Kanada dibakar tahun 2013 dengan tujuan digitalisasi untuk melebur 9 perpustakaan di sana. Pembakaran ini atas order pemerintahan Kanada di bawah administrasi Stephen Harper. Konon, hanya sekitar 5-6 persen dari koreksi di sana yang berhasil digitalkan.
      • Perpustakaan Saeh di Tripoli, Lebanon, pada tanggal 3 Januari 2014, dibakar oleh oknum yang tidak disebutkan. Aksi itu menghanguskan koleksi buku Kristen yang berasal dari agama Yahudi. Sekitar 80.000 buku dan naskah musnah.
      • Selama kerusuhan 2014, di Bosnia dan Herzegovina, gedung kepresidenan yang menyimpan arsip bersejarah dibakar. Arsip-arsip yang hilang antara lain naskah hadiah asli Era Ottoman periode 1878-1918 dari Kondominium Bosnia dan Herzegovina. Termasuk dokumen antara dua perang, berisi administrasi negara merdeka Kroasia, antara 1941-1945, serta sekitar 15.000 berkas periode 1996-2003 dari kamar hak asasi manusia Bosnia dan Herzegovina. Itu terjadi pada 7 Februari 2014, dan kemungkinan dilakukan oleh tujuh (tersangka) perusuh Bosnia.
      • Sebuah kebakaran hebat pada sebuah bangunan 2.000 meter persegi di lantai 3, di Institut Informasi Ilmiah Ilmu Sosial dan Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia (INION) konon menghabiskan sekitar 14 juta buku, terjadi pada Januari 2015.
      • Perpustakaan Universitas Mosul di Irak dan Perpustakaan Sentral di Ninawa, dibakar oleh organisasi teroris ISIS. Lebih dari 8.000 buku langka musnah. Itu terjadi pada Februari 2015.

Kendati PBB telah menegaskan pentingnya perpustakaan dalam masyarakat demokratis, perpustakaan terus menjadi korban konflik. Masih menurut Susan Orlean, sebagian besar kebakaran perpustakaan yang terjadi di muka bumi ini adalah karena kesengajaan.

Masa Kini Perpustakaan

Masa Kini Perpustakaan

Entah sampai kapan perpustakaan menjadi korban pembakaran seperti itu. Namun, berkat orang-orang yang visioner, perpustakaan mulai merambah digital. Pelan-pelan, meninggalkan masa lalunya.

Kita ingat proyek Google Books yang dimulai sejak 2004. Ambisinya mendigitalkan buku-buku di seluruh dunia agar bisa diakses melalui internet. Proyek ini sempat ditentang oleh penulis dan penerbit, tetapi digitalisasi terus berjalan, dengan melewatkan mereka yang tidak setuju.

Namun, mengapa harus tidak setuju?

Digitalisasi buku membuat buku menjadi abadi dan mudah diakses. Selain itu, dengan demikian, atraksi pembakaran perpustakaan atau penghancuran buku menjadi tidak relevan lagi. Sebab, digitalisasi ibarat tubuh, di mana buku adalah jasad dan informasi adalah ruhnya. Jasad bisa dihancurkan, tetapi ruh akan tetap hidup di dunia maya.

Itulah beberapa faktor mengapa tetap ada optimistisme perpustakaan di masa depan. Diceritakan dalam buku The Library Book, betapa anak muda Amerika menggunakan perpustakaan lebih sering dibanding generasi pendahulunya, animo pelajar yang mendaftar program studi Ilmu Perpustakaan cukup tinggi, gaji staf pustakawan semakin layak, dan sebagainya.

Optimisme ini menurutku karena memang sudah banyak perpustakaan yang berbenah.Bukan lagi ruang yang tersekat-sekat oleh rak sesuai genre, rumah buku ini telah menjelma menjadi tempat asyik bagi pemuda gaul berbau wangi yang juga cerdas secara intelektual. Udara di dalamnya berpenghangat (atau berpendingin di negara-negara tropis) dan mengandung wi-fi gratis.

Ada kafe, toko, dan spot keren yang kata anak muda Instagrammable (wajib berswafoto untuk kemudian diunggah di Instagram). Beberapa juga memanfaatkannya sebagai co-working space, karena meja kursi tersedia cukup banyak dan nyaman untuk dipakai bekerja selama berjam-jam.

Beberapa inovasi juga membuat kita angkat topi. Misalnya, Perpustakaan Nasional Indonesia alias Perpusnas. Kita bisa menggelar acara diskusi, edukasi, seminar, atau kegiatan publik secara gratis di perpustakaan tertinggi di dunia yang memiliki 24 lantai ini. Silakan pilih, ada auditorium berkapasitas 200 orang, ruang serbaguna untuk 300 orang, atau miniteater berkapasitas 35 orang.

Dengan ketinggian 126,5 meter, gedung Perpusnas juga dapat kita gunakan untuk menikmati pemandangan Kota Jakarta. Jadi, perpustakaan bukan lagi rumah buku dan sumber ilmu, melainkan sudah bergeser menjadi tempat kerja atau belajar dan lokasi wisata bagi warga. Luar biasa, bukan?

Selamat Hari Pustakawan

Selamat Hari Pustakawan

Menilik sejarah perpustakaan yang sering jadi sasaran pembakaran dan fakta bahwa orang-orang semakin jarang membaca buku memang menyedihkan. Namun, melihat inovasi-inovasi para pengelola perpustakaan dan pustakawan di zaman 4.0 ini, rasanya ruang kelam tersebut menjadi benderang kembali.

Tahukah Teman-teman, Perpustakaan Al Quaraouiyine di Fez, Maroko, menjadi warisan perpustakaan budaya tertua di dunia. Sebanyak 4.000 naskah langka di sana bahkan memiliki nilai yang tidak bisa diestimasi.

Mudah-mudahan para pengelola perpustakaan dan pustakawan semakin profesional dan kreatif, sehingga apapun tantangan zaman, perpustakaan-perpustakaan akan tetap berdiri.

Selamat Hari Pustakawan untuk seluruh pustakawan Indonesia!

Referensi

Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment