Sejak September 1950, Indonesia telah menjalin hubungan bilateral dengan Prancis. Mulai di titik itu, kerja sama Indonesia-Prancis perlahan tumbuh, meski dengan lambat. Hingga memasuki tahun ke-72, tepatnya pada 10 Februari 2022, Indonesia memborong jet tempur mutakhir buatan negeri anggur itu, Rafale generasi 4.5.
Selain pesawat tempur, Indonesia juga memesan dua kapal selam produksi pabrikan Prancis. Pembelian-pembelian bernilai ekonomi tinggi ini seolah pertanda hubungan kedua negara yang makin mesra.
ISI ARTIKEL
Sejarah Hubungan Indonesia-Prancis
Hubungan Prancis dan Indonesia telah bersemi sejak era Francois I, dimana Giovanni da Verrazano dari Florentine dan Pierre Caunay dari Hanfleur, pada tahun 1526, melakukan pelayaran hingga ke Sumatra. Penjelajahan ini berakhir karena penawanan raja Prancis, Francois I di Pavia-Italia.
Berikutnya, Penjelajah sekaligus apoteker François de Vitré, pada tahun 1602, kembali berlayar hingga ke Aceh, beliau berhasil memuat banyak bahan makanan, terutama lada, tetapi, kapalnya menghadapi cuaca buruk dan muatannya dipindahkan ke kapal Belanda.
Pasca meninggalnya Raja Henry IV pada 1610. Usaha perdagangan dilanjutkan oleh Augustin de Beaulieu, penjelajah yang pernah bertemu Sultan Iskandar Muda ini, saat dia kembali dengan muatannya, kapalnya diserang armada Belanda di lepas perairan Sumatera.
Pihak Belanda juga membakar salah satu kapalnya dan menangkap kapal lainnya agar tetap berada di Asia untuk perdagangan antar negara. Namun, Beaulieu berhasil melarikan diri serta menyelamatkan kapal lain dan berhasil kembali ke Le Havre pada tahun 1622. Akhirnya pada tahun 1624, dengan Perjanjian Compiègne, Kardinal Menteri Richelieu mendapatkan kesepakatan dengan Belanda untuk menghentikan pertempuran di Timur.
Lalu di bawah Kaisar Napoleon Bonaparte, Prancis menguasai Belanda. Dengan begitu, tanah jajahan Belanda pun jatuh ke tangan Prancis. Termasuk Hindia Belanda (Indonesia). Ini terjadi dalam kurun waktu antara 1806-1811. Praktis, selama lima tahun itu, boleh dibilang Prancis menjajah nusantara.
Bagaimanapun, operasional penjajahan ini tetap di bawah bendera Kerajaan Belanda. Pihak Prancis menunjuk Jenderal Herman Willem Daendels sebagai Gubernur. Ia bertugas antara tahun 1808-1811. Daendels adalah seorang warga Belanda. Pada 1787, ia mengambil bagian dalam “gerakan Patriot”, sebuah pemberontakan melawan Stadtholder Guillaume V dari Orange-Nassau. Setelah kegagalan Revolusi tersebut, Herman Willem Daendels mengungsi ke Prancis dan sempat bekerja di sebuah pabrik pembuatan batu bata di Dunkerque.
Setelah penobatan Kaisar Prancis (Napoleon Bonarparte I) pada tahun 1804, Daendels yang diplomatik dipercaya untuk pembentukan Republik Batavia. Selama pemerintahan tangan besi Daendels di Jawa, Ia memberlakukan kerja paksa terhadap penduduk asli dan menjual lahan yang luas kepada pihak swasta. Termasuk membangun istana megah berarsitektur Prancis, yaitu Het White Huis (Gedung Putih) atau Het Groote Huis (Gedung Besar) yang sekarang dipakai sebagai Kantor Kementerian Keuangan Indonesia. Daendels juga mengganti nama Buffelsveld (Lapangan Banteng) menjadi Champs de Mars (Medan Merdeka).
Revolusi Prancis kemudian menginspirasi gerakan nasionalis Indonesia pada awal abad 20. Konsep republik di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh model republik Prancis.
Itulah sepintas napak tilas jejak-jejak pengaruh Prancis di tanah air.
Peningkatan Kerja Sama Indonesia-Prancis dalam Militer
Di era modern ini, hubungan kedua negara terus meningkat. Bahkan dari yang awalnya hanya urusan rempah-rempah, lalu merambah ke alat utama sistem pertahanan (alutsista).
Seperti yang disampaikan di awal tulisan, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto meneken pemesanan 42 jet tempur Rafale produksi Dassault Aviation pada Februari 2022. Total kontrak tersebut bernilai 6,5 miliar dolar Amerika atau sekitar Rp93 triliun. Inilah pembelian terbesar yang pernah dilakukan Pemerintah Indonesia.
Karena itu, banyak pengamat yang menilainya mubazir. Minimal, waktunya tidak tepat. Sebab, Indonesia sedang memerlukan dana besar untuk memitigasi keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19. Ditambah lagi, negeri ini juga sedang memerlukan dana luar biasa untuk memboyong ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan.
Namun, justru karena pemindahan ibu kota itulah, Indonesia merasa perlu memperbarui sekaligus memperbanyak alutsistanya. Negara berbentuk kepulauan tentu membutuhkan sistem pertahanan udara yang lebih tangguh untuk mencapai kedaulatan yang ideal.
Selain membuka pintu untuk teknologi mutakhir di bidang militer, kerja sama dengan Dassault Aviation juga berpotensi menyerap tenaga teknis Indonesia. Sehingga kelak, PT Dirgantara Indonesia, selaku BUMN di bidang penerbangan, digadang-gadang mampu memproduksi pesawat tempur serupa.
Kerja sama Indonesia-Prancis di sektor pertahanan ini juga akan membuka kesempatan bagi Indonesia dalam pengembangan sistem radar dan rudal anti-serangan udara. Hal ini merujuk pada serangkaian kontrak lain, termasuk antara PT Pindad dan Nexter Munitions dalam pembuatan amunisi kaliber besar persenjataan darat.
PT LEN Industri dan PT PAL pun menikmati berkah dari kerja sama ini. Untuk PT LEN, kerja sama strategis dengan mitranya, Thales Group, berkaitan dengan pengembangan sistem navigasi sensor perkapalan terintegrasi.
Sementara itu, perjanjian PT PAL dan Naval Group terkait dengan rencana Indonesia membeli dua kapal selam kelas Scorpene AM2000, lengkap dengan persenjataan dan suku cadangnya.
Kerja sama-kerja sama ini termasuk pengembangan riset, pertukaran perwira dalam program pendidikan kemiliteran, dan sebagainya.
Mengapa Harus Alutsista dari Prancis
Menurut situs web Aero Time, Rafale merupakan pesawat tempur termahal ketiga setelah Eurofighter Typhoon, F-35B, dan F-35C. Harga per unitnya sekitar 115 juta dolar Amerika atau Rp1,6 triliun.
Namun yang patut dicermati, sistem pesawat Rafale berbeda dengan sistem pertahanan udara kita selama ini. Sebelumnya, untuk urusan jet tempur, Indonesia berbelanja alutsista dari Amerika. Dari rezim ke rezim, Indonesia cenderung mengandalkan Fighter dari Amerika Serikat atau Sukhoi dari Rusia.
Menurut pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) yang sekaligus mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) periode 2002-2005, Chappy Hakim, pesawat hanya salah satu unsur dalam sistem besar pertahanan udara. Penunjangnya antara lain radar, markas komando, dan sistem komunikasi.
Chappy berpendapat, pembelian Rafale seperti membangun sistem dari nol. Bukan hanya perlu pelatihan dasar untuk pilot dan teknisi, melainkan juga pembangunan fasilitas baru, yang meliputi bengkel perawatan hingga laboratorium kalibrasi. Menurut beliau, akan lebih murah bila Indonesia kembali membeli Sukhoi atau Fighter untuk memodernisasi alutsistanya.
Namun bila kita periksa catatan sejarah, militer Indonesia sebenarnya tidak terlalu asing dengan produk Prancis. Buktinya, kita memakai tank ringan AMX 13, rancangan Atelier de Construction d’Issy les Moulineaux.
Pada 1968, Indonesia juga sudah membeli tank AMX 10 untuk Korps Marinir. TNI AL bahkan telah mengoperasikan tiga kapal riset buatan Prancis. Salah satunya, Baruna Jaya 2.
Saat bergabung dengan PBB di Lebanon dalam misi perdamaian, TNI menggunakan tank buatan Prancis, Vehicule I’Avant Blinde (VAB) 4×4, yang diproduksi Renault Truck.
Jangan lupa, Prancis juga merupakan produsen rudal antikapal Exoset berdaya jangkau 180 km yang kini dimiliki TNI AL. Sedangkan TNI AD menggunakan Meriam Caesar 155 produksi Nexter Munitions.
Jadi, kenapa harus alutsista dari Prancis? Kenapa tidak!
Mengapa Kerja Sama Indonesia-Prancis Penting
Sebenarnya, faktor geopolitik dan geostrategi adalah jawaban terselubung di balik pembelian alutsista masif dari Prancis ini. Juru bicara Kementerian Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan bahwa departemennya ingin mewujudkan kemandirian pertahanan.
Menurut beliau, Indonesia sulit berkembang bila produk alutsista hanya dipasok oleh negara itu-itu saja. Yang ada, negara kita malah didikte dan dikontrol oleh negara produsen tunggal itu.
Dengan membeli alutsista dari Prancis, kita seperti menunjukkan kepada dunia (terutama Amerika Serikat dan Rusia) bahwa Indonesia tidak ingin bergantung pada satu atau dua negara saja. Indonesia bersahabat juga dengan negara-negara lainnya.
Di sisi lain, sebagai bagian dari North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB, Prancis merupakan negara yang berpengaruh. Dengan serangkaian pembelian ini, Prancis diharapkan memandang Indonesia sebagai kawannya dalam percaturan politik global.
Lagi pula, Prancis adalah lima besar negara pembuat alutsista dunia. Kerja sama di bidang militer ini diharapkan mampu memberi pengaruh signifikan diplomasi internasional Indonesia yang bersifat non-blok.
Dengan kata lain, kita ingin tetap menjadi negara yang netral, tetapi kuat dan disegani di kancah dunia. Semoga terwujud.
Referensi
- Hamdi, Imam. “Ongkos Mahal Beli Rafale”, Koran Tempo edisi 14 Februari 2022.
- Herindra, M. “Mengapa Prancis, Mengapa Rafale”, Harian Kompas edisi 16 Februari 2022.
- Puspaningrum, Bernadette Aderi. 15 Februari 2022. “6 Negara Yang Pernah Menjajah Indonesia”, Kompas.com, diakses 23 Februari 2022.
- “Hubungan Bilateral Prancis-Indonesia”, Kemlu.go.id, diakses 24 Februari 2022.
- “Hubungan Indonesia dengan Prancis”, Wikipedia Indonesia, diakses 25 Februari 2022.