Uranium, Mineral Kuat yang Menoreh Sejarah Dunia

Uranium, Mineral Kuat yang Menoreh Sejarah Dunia

Setiap 6 Agustus, kita mengingat kembali peristiwa tragis yang menghentikan Perang Dunia II. Ya, itulah Hari Peringatan Bom Hiroshima-Nagasaki. Waktu itu, Amerika menjatuhkan bom atom berbahan uranium dan plutonium di dua kota penting di Jepang. Tepatnya pada 6 dan 9 Agustus 1945. Seketika, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.

Tanah Pertiwi bersorak. Pengeboman itu menjadi momentum bagi Ir. Soekarno dan Moh. Hatta untuk merumuskan kemerdekaan serta awal terbentuknya Republik Indonesia. Namun, kita juga bersedih. Sebab, dampak bom atom ternyata sangat mengerikan.

Jepang yang “Trauma” dengan Uranium

Jepang yang "Trauma" dengan Uranium

Oh ya, saat artikel ini kutulis, Olimpiade di Tokyo sedang berlangsung. Pesta olahraga terakbar sejagat yang seharusnya gegap gempita itu diselenggarakan tanpa penonton.

Tuan rumah memang apes. Ditunda sejak 2020 akibat Pandemi COVID-19, bukannya mereda, virus corona varian baru malah merajalela di Jepang. Akibatnya, pihak penyelenggara gigit jari karena sama sekali tidak dapat pemasukan dari penjualan tiket. Kemalangan Jepang ini seolah berhubungan dengan nahasnya Hiroshima-Nagasaki 76 tahun silam.

Dulu porak-poranda oleh bencana nuklir, sekarang Jepang morat-marit oleh COVID-19. Dan kalau kita menengok sejarah, bukan saat Perang Dunia II saja Jepang dikerjain efek uranium. Tragedi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima turut menoreh sejarah hitam dari mineral berwarna hitam yang banyak mengandung unsur radioaktif ini.

Pada 5 Desember 2011, reaktor nuklir di Jepang itu bocor akibat gempa bumi dan tsunami. Air radioaktif pun mengalir ke laut, konon hingga Amerika Utara. Jumlahnya di atas ambang keselamatan yang ditetapkan oleh pemerintah, sehingga tak heranlah bila kontaminasi nuklir ini memicu banyak dampak negatif.

Memang, tidak langsung ada korban jiwa. Namun, jelas terjadi kerusakan ekosistem dan gangguan kesehatan bagi masyarakat yang menetap di kawasan sekitar reaktor. Sebanyak kurang lebih 165.000 orang segera mengungsi, dan tidak kurang dari 43.000 belum bisa pulang. Dunia mencatat, inilah kecelakaan nuklir paling dahsyat sejak tragedi Chernobyl pada 1986 di Ukraina Utara, dekat perbatasan Belarus (dulu bernama Uni Soviet).

Kecelakaan itu memicu kekhawatiran baru tentang penggunaan tenaga nuklir, bukan saja bagi Jepang, melainkan juga bagi dunia secara keseluruhan.

Padahal, ketika pertama kali diperkenalkan pada 1950-an, tenaga nuklir disanjung-sanjung sebagai energi utama masa depan. Badan Energi Atom Internasional pun memprediksi bahwa tenaga nuklir akan menghasilkan 430 gigawatt listrik (hampir 12% dari kapasitas pembangkit listrik dunia) pada 1990, dan 740-1.075 gigawatt (sekitar 15% dari kapasitas pembangkit listrik dunia) pada 2000.

Uranium: Berkah atau Musibah?

Uranium: Berkah atau Musibah?

Saat dunia sedang antusias menyambut sumber energi yang bersih ini, terjadilah tragedi Chernobyl (Ukraina), Three Mile Island (Amerika), lalu Fukushima (Jepang). Akhirnya, banyak aktivis lingkungan yang berbalik menghujat tenaga berbahan uranium.

Terpaksa, Jepang menutup 12 dari 54 reaktornya, dan menonaktifkan (tanpa menutup) dua lusin lainnya. Jerman dan Swiss memilih untuk sepenuhnya membuang teknologi nuklir. Komisi Pengaturan Nuklir Amerika Serikat meninjau kembali pembangkit nuklir negara itu, meningkatkan masalah keamanan, tetapi tidak menutupnya.

Tidak semuanya pesimistis. Banyak juga yang tetap bersemangat mengolah mineral bersimbol U ini. Saat ini, enam belas negara sedang membangun 50-an reaktor nuklir. Cina membangun 16 reaktor, diikuti oleh India dan Korea Selatan. Pada Februari 2021, sebanyak 414 reaktor telah beroperasi di 32 negara, menyediakan sekitar 10% kebutuhan energi dunia.

Ini menunjukkan nuklir adalah teknologi yang dicinta sekaligus dibenci.

Dicinta karena hemat, praktis, dan bersih (tidak seperti energi berbasis fosil atau karbon). Bayangkan, satu ton uranium menghasilkan energi setara 20.000 ton batu bara. Dalam penerapannya, tenaga nuklir dapat membuat kapal selam Rusia terus berada di kedalaman laut tanpa perlu muncul ke permukaan atau mengisi bahan bakar selama puluhan tahun. Di Amerika, sebuah reaktor kecil saja dapat memasok listrik untuk sekitar 200.000 rumah.

Namun, pendukung nuklir jarang mempertimbangkan masalah moral. Misalnya, fakta bahwa tiga perempat tambang uranium beroperasi di dekat pemukiman. Padahal, tambang ini dan limbahnya dapat meracuni tanah.

Uranium sebagai Senjata Pemusnah Massal

Uranium sebagai Senjata Pemusnah Massal

Inilah satu sisi negatif lainnya. Uranium (U-235) adalah elemen inti dari bom atom yang telah meluluhlantakkan Jepang. Dengan campuran 20 persen saja, U-235 dapat membuat ledakan spontan karena komposisi molekulnya memang tidak stabil. Atomnya pun cenderung terus membelah diri sambil melepaskan kekuatan yang dahsyat.

Jadi untuk melelehkan sebuah kota, cukup jatuhkan U-235 yang padat sebesar bola bisbol. “Dijamin kelar, dah!” kata orang Betawi.

Di alam, batu uranium tersedia hampir 500 kali lebih banyak ketimbang emas. Dulu, bangsa Romawi menggunakannya untuk mewarnai kaca patri, dan orang Indian memanfaatkannya untuk mengecat tubuh.

Bijih uranium ditemukan tahun 1789 oleh ahli kimia Prusia, Martin Heinrich Kloproth, melalui analisis sepotong batu dari Tambang Saint Joachimsthai, Cekoslowakia. Keistimewaan uranium adalah mudah terfisi. Fisi adalah peristiwa pembelahan inti atom menjadi inti-inti atom baru yang lebih ringan sambil melepaskan energi.

Makanya, uranium sangat berbahaya. Bahkan sedikit saja terhirup, partikel-partikelnya akan bergerak cepat menembus kulit dan membunuhi sel-sel yang sehat. Makhluk hidup yang terpapar akan menderita penyakit kanker dalam waktu sekitar 15 tahun, dan mengalami kekacauan gen (mutasi).

Pada pertengahan 1939, para fisikawan berhasil menemukan cara mengaktifkan reaksi berantai dari uranium. Formula E = m x c2 dari Albert Einstein diprediksi akan menghasilkan E (energi) yang berpotensi mengerikan.

Mengikuti kabar itu dari sejawat-sejawatnya, sang empu formula menyurati Presiden Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt, pada 11 Oktober 1939. Einstein meminta presiden untuk mendukung penelitian tersebut, sebelum pihak Jerman (Nazi) mendahuluinya. Einstein bukan bermaksud mendorong Roosevelt untuk menciptakan bom. Ia hanya orang Jerman yang membenci arogansi Adolf Hitler.

Namun diam-diam, Roosevelt kemudian mengaktifkan Proyek Manhattan. Produk dari proyek itu, salah satunya, bom atom. Singkat cerita, uranium yang dikeruk dari Tambang Shinkolobwe milik Belgia di Kongo berubah wujud menjadi dua bom atom: Si Kurus alias Thin Boy akhirnya menghujam ke Hiroshima, dan Si Gemuk alias Dave akhirnya menukik ke Nagasaki.

Dunia Tak Pernah Sama Sejak Era Nuklir

Dunia Tak Pernah Sama Sejak Era Nuklir

Saat ini, sekitar 40 persen uranium dunia ditengarai terpendam di Australia, negara yang tidak memiliki reaktor nuklir. Australia saat itu mengekspor uranium hanya ke negara-negara yang memanfaatkan tenaga nuklir, seperti Uni Soviet, Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Cina.

Uranium diproduksi oleh banyak negara, terutama di Amerika Utara dan Asia. Produsen utamanya adalah Kazakhstan, Kanada, Australia dan Namibia yang mewakili hampir 80 persen produksi dunia. Meskipun ketersediaan uranium melimpah, sebagaimana semua unsur logam, uranium juga merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan.

Sedahsyat efeknya, cerita uranium selalu punya daya tarik. Tambang uranium di Sahara Nigeria, misalnya, memainkan peran penting dalam keputusan Amerika Serikat menyerang Irak. Pada 2002, seorang Italia yang mengaku memiliki sumber intelijen menjual sebuah komunike yang ditandatangani Presiden Nigeria. Isinya penawaran 500 ton uranium murni ke Irak setiap tahun.

Sampailah kabar tersebut ke telinga intelijen Amerika Serikat, tepat ketika Presiden George W. Bush sedang berencana menyerbu Irak.

Akhirnya, kita sama-sama tahu, tudingan bahwa Irak memiliki fasilitas hulu ledak nuklir dan pasokan uranium berlimpah terbukti fiktif. Namun, Sadam Hussein sang presiden negeri 1001 malam itu terlanjur dikirim ke tiang gantungan dan sumber daya alamnya dikuasai Paman Sam.

Sementara itu, Korea Utara yang sejak dulu mengaku memiliki senjata nuklir dan bolak-balik mengancam Amerika, justru aman-aman saja sampai sekarang.

Terkadang, politik memang membingungkan. Kita tidak bisa menebak apa yang terjadi. Saat ini, misalnya, Amerika Serikat dan Cina sedang bersengketa dalam banyak urusan. Asal tahu saja, keduanya sama-sama memiliki fasilitas nuklir yang megah. Hanya butuh satu ucapan atau tindakan yang salah untuk memantik perang nuklir kedua negara adikuasa itu.

Jika itu terjadi, seluruh dunia bisa terpanggang dan tinggal sejarah. Aduh! Jangan, dong.

Sebaiknya, uranium dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat saja. Menjadi sumber energi yang bersih, sehingga dapat meredam fenomena pemanasan global. Dengan demikian, bumi bisa menjadi lebih adem, bukannya malah gerah lantaran perang.

Referensi

Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment