Kita tidak pernah mengingat sejarah dengan baik, tetapi pasti kita akan belajar sesuatu darinya. Wabah corona yang melanda sejak awal 2020, misalnya. Tiba-tiba, aku tertarik untuk menelusuri apa saja pandemi-pandemi di dunia sebelum corona.
Aku pun membuka buku Get Well Soon karya Jennifer Wright (2017). Buku bergenre sains sejarah ini memaparkan cerita-cerita menarik tentang pandemi-pandemi sebelum corona. Bukan hanya sarat pengetahuan, kisah-kisah di dalamnya akan membuat kita lebih bijak dan cerdas dalam menghadapi wabah serupa.
Yuk, kita simak isinya.
ISI ARTIKEL
Pandemi Tarian Strasbourg Mania
Pada Juli 1518, seorang wanita menari di jalanan Strasbourg, Alsace, Prancis, yang masih menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci. Ia terus menari dengan anehnya. Tarian itu baru berhenti setelah sang wanita pingsan. Namun begitu siuman, ia kembali menari lagi. Begitu terus, hingga kira-kira enam hari.
Berangsur-angsur, penduduk kota lain mulai bergabung. Mereka turut menyentak-nyentakkan anggota badan ke segala arah. Meriah sekali, seperti pesta. Namun, ini bukan pesta yang menyenangkan. Orang-orang itu menari sampai kaki mereka terluka dan darah mengalir dari sepatu-sepatunya.
Setiap hari, lima belas orang tumbang lantaran gagal jantung, dehidrasi, atau infeksi dari luka di kaki mereka.
Hingga kini, tidak ada yang tahu apa yang menyebabkan wabah menari mania tersebut. Waktu itu, pihak otoritas malah menyewa musisi dan membiarkan orang-orang itu terus menari hingga kelelahan dan berhenti, atau mati.
Pandemi Pes yang Bikin Apes
Gejala pertama penyakit pes atau dikenal sebagai maut hitam adalah bisul seukuran apel di ketiak atau selangkangan. Penyakit ini juga menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening (bubo). Begitu terserang, penderita akan mengalami demam, muntah, dan akhirnya meninggal.
Pada abad 14, wabah ini mengurangi hampir 30 persen dari populasi Eropa. Belum ada yang tahu penyebabnya, saat itu. Akibatnya, berbagai ide pengobatan yang aneh pun muncul.
Ada yang menyarankan penderita tinggal di selokan. Alasannya, untuk membiasakan tubuh dengan kotoran, sehingga wabah tidak lagi bisa membahayakannya. Padahal, seperti yang kita ketahui sekarang, wabah pes dibawa oleh kutu tikus. Bila kita tinggal di selokan, peluang untuk bertemu tikus jelas lebih besar!
Namun, ide penyembuhan improvisasi tidak semuanya absurd. Dokter Prancis terkenal, Nostradamus, merekomendasikan kebiasaan mandi dan mencuci pakaian secara teratur untuk mengurangi penularan. Ia menganggap, peningkatan kebersihan tubuh mengurangi risiko serangan kutu.
Sayangnya, kebanyakan orang tampaknya kepala batu. Di abad pertengahan itu, orang lebih percaya bahwa mandi justru meningkatkan kerentanan terhadap penyakit. Mereka mengira air hangat dapat memperluas pori-pori, sehingga membuat penyakit masuk ke dalam tubuh lebih mudah.
Makanya, orang-orang Eropa dulu pada umumnya mandi hanya dua kali dalam setahun. Dan mereka jarang berganti pakaian!
Pandemi Cacar yang Menguntungkan Spanyol
Para sejarawan meyakini pada 1525, seorang Spanyol yang sakit cacar telah menginfeksi masyarakat Inca. Dalam setahun saja, hampir tidak ada yang tersisa dari peradaban berusia 7.000 tahun yang telah menguasai wilayah seluas gabungan Italia dan Spanyol itu.
Tujuh tahun setelah menyebarnya cacar, Francisco Pizarro dari Spanyol mampu menaklukkan Kerajaan Inca hanya dengan 168 orang. Padahal, Suku Inca diprediksi memiliki 80.000 pasukan yang siap tempur (tetapi terinfeksi cacar).
Kebanyakan orang Spanyol telah memiliki kekebalan terhadap penyakit ini, karena cacar sudah ada di Eropa selama bertahun-tahun. Malangnya, penduduk asli Amerika tidak memiliki kekebalan yang sama. Virus cacar pada akhirnya menumpas 90 persen dari mereka.
Baru pada abad 16, Edward Jenner, seorang dokter dari Inggris mengawali pembuatan vaksin cacar. Sehingga, pada akhir abad 20, penyakit cacar hampir berhasil diberantas habis dari planet ini.
Pandemi Kusta Dipandang Nista
Berjalan di tepi pantai atau pinggir pelabuhan dan merasakan angin sepoi-sepoi menjamah kulit rasanya menyenangkan. Namun, bagaimana bila tiba-tiba kalian tidak bisa mendeteksi sensasi itu di kulit? Bagaimana jika kalian mati rasa, padahal tangan sedang berada di atas kompor yang menyala?
Begitulah yang dirasakan oleh penderita kusta alias lepra. Penyakit karena bakteri Mycobactrium leprae ini menyebabkan penderitanya kehilangan jari tangan, kaki, bahkan anggota badan. Awalnya, itu tadi, penderita tidak merasakan apa-apa saat bagian tubuh terkena sesuatu yang membahayakan.
Lantaran penderita kusta sangat mudah dikenali, maka stigma dan pengucilan pun mudah disematkan kepada mereka. Pada tahun 1856, misalnya, pemerintah Hawaii secara paksa mengarantina penderita kusta di pulau terpencil Molokai.
Pada 1873, Pastor Damien (Jozef de Veuster), seorang imam misionaris Katolik dari Belgia, malah sukarela mengabdi ke pulau tersebut. Beliau merawat komunitas penderita kusta di sana. Pekerjaan ini sangat berisiko, mengingat kusta dapat menular melalui luka terbuka. Namun, sang pastor tidak peduli. Beliau bahkan tidak keberatan mengganti perban penderita dengan tangan kosong.
Sudah bisa diduga, Pastor Damien akhirnya meninggal karena kusta. Beliau pertama kali menyadari telah tertular pada 1884, tepatnya ketika menjatuhkan secangkir teh panas di kakinya dan tidak merasakan apa-apa. Oh, tidak…. Sebagaimana cangkir yang pecah itu, bisa dibayangkan betapa berkeping-kepingnya hati sang pastor saat itu. Juga betapa sedihnya para pasien yang dilayaninya.
Pengabdian Pastor Damien dalam mengangkat stigma penderita kusta sambil tetap menjalankan pekerjaan pastoral telah menjadikannya seorang “martir amal”. Beliau pun dikanonisasi oleh Gereja Katolik pada 2009.
London pun Didera Pandemi Kolera
Pandemi COVID-19 membuat kita sadar, banyak sekali orang yang keras kepala. Beragam fakta dan angka tidak cukup untuk menggoyahkan keyakinan seseorang. Inilah sifat dasar manusia sejak dulu.
Namun uniknya, yang keras kepala pada abad 19 di London bukan masyarakat awam. Justru para dokter! Penolakan lembaga medis untuk mengubah pendapat mereka terhadap pandemi kolera terbukti membawa malapetaka bagi ribuan orang.
Alkisah, dokter-dokter Inggris itu yakin bahwa kolera disebabkan oleh udara yang berbau tidak sedap. Mereka bahkan memiliki nama untuk penjelasan itu: Teori Racun. Menurut mereka, jumlah kasus kolera dapat dikurangi jika kualitas udara London dikurangi.
Akibatnya, pemerintah setempat memerintahkan semua orang untuk membuang limbah mereka yang menimbulkan bau ke Sungai Thames. Padahal, sungai itu memasok sebagian besar air minum kota. Mereka belum tahu, kolera bukan disebabkan oleh bau yang tidak sedap, tetapi justru air minum yang terkontaminasi oleh kotoran penderita lain.
Barulah pada 1854, ketika semakin banyak warga yang diare dan meninggal lantaran dehidrasi dalam tempo yang semakin cepat, penyebab kolera mulai jelas. Dokter John Snow jadi yakin bahwa lembaga medis selama ini keliru. Sayangnya, lembaga medis tetap kokoh mengusung Teori Racun mereka.
Meskipun terlambat, pada wabah kolera berikutnya tahun 1866, orang-orang mulai merebus air minum mereka. Setelah itu, tidak pernah ada wabah kolera lagi di London, dan John Snow dinyatakan sebagai pahlawan.
Pandemi Flu Spanyol yang Membuat Amerika Jebol
Tidak terlalu lama dari hari ini, tepatnya pada abad 20, ada penyakit yang membunuh 50 juta orang: Flu Spanyol. Lucunya, kita belum tahu bagaimana cara mengobatinya hingga hari ini. Wabah itu menyingkir dengan sendirinya dengan kemungkinan akan kembali.
Pada Maret 1917, seorang dokter Amerika di Texas memperhatikan adanya flu mematikan yang menyebar dengan cepat. Penyakit ini kebanyakan membunuh orang berusia 25-29 tahun. Ia memperingatkan lembaga medis, karena cemas prajurit pelatihan untuk perang di Eropa akan terinfeksi dan membawa flu itu ke Amerika Serikat.
Sayangnya, tidak ada yang mendengarkan.
Terlepas dari kenyataan bahwa flu membunuh orang-orang muda yang sehat di seluruh dunia, baik surat kabar maupun lembaga medis tidak akan mengakui keberadaannya. Ini karena undang-undang di Amerika Serikat dan Inggris yang disahkan selama perang melarang pelaporan hal-hal yang berpotensi merusak mental publik semacam itu.
Akibat kurangnya antisipasi, sebanyak 25-100 juta orang meninggal karena Flu Spanyol. Sebanyak 675.000 di antaranya adalah orang Amerika. Itu terjadi antara tahun 1917 dan 1919.
Pada musim panas 1919, penyakit itu melemah dengan sendirinya. Entah apa penyebabnya. Para ilmuwan saat ini sedang bereksperimen dengan genetika terbalik untuk mereproduksi penyakit, sehingga mereka bisa membuat vaksinnya manakala penyakit itu menyerang kembali.
Tetapi mengingat kecepatan virus flu bermutasi, vaksin yang tepat mungkin sulit diproduksi.
Renungan untuk Pandemi COVID-19
Memperhatikan cerita demi cerita di buku Get Well Soon, aku merasa apa yang kita alami saat ini hanyalah pengulangan. Ada peringatan marabahaya, lalu pengabaian, kondisi menjadi parah, tercetus solusi-solusi konyol, pandemi semakin parah, baru muncul solusi yang ilmiah, pandemi pun reda, tetapi kita lalu kembali meremehkan.
Berputar seperti itu terus. Entah sampai kapan.
Namun, di sisi lain, cerita-cerita itu membuat kita sadar pentingnya persatuan negara-negara. Fakta sejarah membuktikan, virus atau bakteri dapat muncul dari negara mana saja.
Memang benar COVID-19 pertama terdeteksi di Wuhan, Cina. Tetapi alangkah bijaknya bila kita tidak membesar-besarkan hal itu, apalagi sampai mendiskriminasi warga dari negara itu.
Lihatlah, sekarang ada varian-varian lain. Misalnya mutasi Corona Alpha dari Inggris, Corona Beta dari Afrika Selatan, Corona Gamma dari Brazil, Corona Delta dari India, dan entah apa lagi nanti. Apakah kita harus sibuk menuding negara-negara itu?
Sejarah selalu menunjukkan kepada kita, bahwa pandemi harus ditangani dengan cepat dan kepala dingin. Bukan dengan takhayul (yang tidak berbasis angka dan fakta) atau perdebatan mengenai ini salah siapa. Mari kita bergandengan tangan memusnahkan pandemi ini di tempat masing-masing.