TV & Anak: Refleksi Hari Anak dan Hari Tanpa Televisi

TV dan Dunia Anak: Refleksi Hari Anak dan Hari Tanpa Televisi

Bulan Juli kaya akan hari bertajuk pendidikan dan literasi. Setelah Hari Pustakawan Nasional tanggal 7 lalu, sekarang kita akan menyambut Hari Anak Nasional pada tanggal 23 Juli. Dan uniknya, menurut beberapa daftar hari besar di Indonesia, kita juga akan merayakan Hari Tanpa Televisi saat itu. Ini menarik, menurutku. Hari Anak dibarengkan Hari Tanpa Televisi. Pasti bukan hanya karena kebetulan.

Kita tahu, televisi sering dituding sebagai perusak moral dan pengacau jam biologis anak. Itu karena televisi membuat anak ketagihan menontonnya.

Namun, benarkah pengaruh televisi seburuk itu pada tumbuh-kembang anak? Sejarah mencatat: tidak juga. Malah sejak siaran berantena itu semakin banyak menancap di atas rumah penduduk, ada usaha dari orang-orang televisi untuk memperbaiki kualitas sikap dan pengetahuan anak.

Rintisan Acara Anak di Televisi Amerika Serikat

Rintisan Acara Anak di Televisi Amerika Serikat

Menurut buku Sunny Days, karya David Kamp (2020), televisi awalnya adalah teknologi mewah. Pada tahun 1946, hanya sekitar 8.000 warga Amerika yang memilikinya. Baru pada 1961, sebanyak 90 persen atau 47 juta warga negara adikuasa itu memiliki pesawat televisi.

Saat itu, orang ketagihan menonton “kotak ajaib” ini. Bayangkan, orang dewasa menonton televisi rata-rata enam jam sehari, sedangkan anak-anak menghabiskan waktu menonton lebih banyak dibanding waktu sekolah mereka.

Problemnya, separuh sekolah di Amerika Serikat waktu itu tidak menawarkan program Taman Kanak-kanak. Jadi, keluarga miskin yang memiliki anak usia prasekolah tidak memiliki alternatif kegiatan selain membiarkan anaknya menonton televisi. Padahal, tayangan televisi masih beracuan hiburan murni, belum pendidikan.

Pada tahun 1964, Lyndon Baines Johnson, Presiden Amerika Serikat ke-36, menandatangani Undang-Undang yang mencakup penyiaran publik, hak-hak sipil minoritas serta bantuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Dana pun mengalir ke distrik-distrik berekonomi rendah, merangsang gairah para pemangku kepentingan untuk bereksperimen dengan terobosan-terobosan dalam dunia pendidikan.

Berkat paket kebijakan tersebut, barulah muncul acara yang bagus untuk anak-anak pada tahun 1968. Fred Rogers, pembawa acara anak-anak CBC di Kanada, mengusung proyek yang ambisius. Dan sukses! Public Broadcast System (PBS) AS dan beberapa penyandang dana mendukungnya. Serial Mister Roger’s Neighborhood bersama PBS pun diproduksi sampai 455 episode.

Sesame Street: Usaha untuk Mengurangi Kesenjangan

Sesame Street: Usaha untuk Mengurangi Kesenjangan

Perkenalkan, Joan Ganz Cooney. Wanita yang percaya bahwa program televisi anak-anak seharusnya mengajarkan bagaimana berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan.

Pada 1967, Cooney menerima hibah dari Carnegie, Ford Foundation, plus Departemen Pendidikan AS untuk membuat program televisi pendidikan anak. Ia juga menjadi wanita pertama yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Children Television Workshop (CTW).

Visi Cooney adalah membawa program televisinya ke segmen balita-balita kulit berwarna di kota yang orang tuanya berpenghasilan rendah. Meskipun urusannya pendidikan, Cooney tidak mau mempekerjakan guru untuk diubah menjadi orang TV. Ia lebih memilih menemukan penghibur untuk diubah menjadi guru.

Jadilah program Sesame Street. Acara yang pertama tayang pada November 1969 itu sukses besar dalam semalam. Penontonnya sampai tujuh juta rumah tangga. Dengan beragam pemeran Sesame Street, termasuk tokoh-tokoh berkulit hitam dan Hispanik, anak-anak kota itu menjadi tercerahkan dan bisa lebih memahami kehidupan unik mereka.

Namun, kontroversi tak dapat dihindari. Beberapa politisi mempertimbangkan pelarangan Sesame Street lantaran terlalu mengekspoitasi ras. Linda Francke, seorang penulis kulit putih, berpendapat dalam sebuah artikel di Majalah New York edisi April 1971, bahwa orang kulit hitam tidak menyukai program itu atau menganggapnya merugikan anak-anak.

Bagaimanapun, Sesame Street terbukti sukses mengubah paradigma, menantang ide-ide lama tentang ras dan status sosial. Banyak program televisi untuk anak lainnya yang terinspirasi dari sana.

Pada periode 1980-an, menurut penulis buku Sunny Days, terjadi penurunan kualitas program anak-anak. Dengan dominasi komersialisme, acara TV berdasarkan mainan menjamur. Seperti My Little Pony, Teenage Mutant Ninja Turtles, atau The Transformers. TV Anak-anak jatuh kembali ke dalam marketing berbasis gender.

Memang, tahun 1990-an dan awal 2000-an muncul pertunjukan televisi anak-anak yang lebih baik, seperti Blue’s Clues, Dora the Explorer, atau Bear in the Big Blue House. Orang-orang pertelevisian juga mencoba membangkitkan kembali acara-acara sukses era ‘70-an seperti Sesame Street dan Schoolhouse Rock.

Hasilnya? Ada yang sukses, ada yang tidak.

Si Unyil di TVRI: Kejayaan Acara Anak di Indonesia

Si Unyil di TVRI: Kejayaan Acara Anak di Indonesia

Sekadar informasi, Indonesia adalah negara kelima di Asia dan ketiga di Asia Tenggara yang memperkenalkan televisi. Itu terjadi pada tahun 1962 selama pembukaan Asian Games. Stasiunnya dimiliki dan dikelola oleh negara, namanya TVRI.

Televisi pertama dibawa dari Uni Soviet. Presiden Soekarno berperan penting, terutama untuk liputan langsung HUT 17 Agustus 1962 dari Istana Merdeka. Kemudian televisi itu turut dipamerkan pada Pekan Raya 200 tahun Kota Yogyakarta. Melalui hajatan itu, tanggal 24 Agustus 1962 diperingati sebagai hari lahirnya TVRI.

TVRI memonopoli pertelevisian Indonesia sampai tahun 1989, hingga hadirnya televisi swasta yang pertama, RCTI. Stasiun televisi nasional ini baru mendapat izin siaran pada tahun 1990. Setelah itu menyusul SCTV, TPI (sekarang MNC-TV), AN-TV (sekarang Anteve), TransTV, Indosiar, Lativi (sekarang TV-One), Trans7, dan puluhan lainnya. Aku ingat betapa antusiasnya setiap mendengar kabar stasiun televisi baru.

Namun jika bicara acara anak di Indonesia, Si Unyil-lah jawarannya. Berlatar desa bernama Sukamaju. Suasananya Indonesia banget. Warganya plural. Ada Unyil yang berpeci dengan sarung melintang, memiliki teman bernama Usro dan Ucrit. Ada tokoh anak keturunan Tionghoa Meilani dan tokoh Madura Bok Bariah.

Ada orang gila, Pak Ogah tokoh pengangguran suka menodong, “Cepek dulu, dong!”, dengan teman karibnya, Pak Ableh. Ada juga orang tua yang cerewet, pelit, berkumis melintang bernama Pak Raden, yang encoknya suka kambuh. Pengisi suara Pak Raden adalah kreator di balik program legendaris ini: Drs. Suyadi.

Tayang perdana di TVRI pada 5 April 1981, Unyil dkk. setia menemani hari Minggu anak-anak Indonesia selama 13 tahun. Setelah habis masanya, Unyil coba dibangkitkan kembali pada 2007 oleh Trans7 dengan nama Laptop Si Unyil.

Di masa jayanya, rating film boneka ini tinggi sekali. Sangat digemari anak-anak. Padahal, Si Unyil dibuat dalam keadaan serba terbatas. Drs Suyadi bahkan hampir menyerah ketika tahu mahalnya biaya produksi film dan minimnya SDM pertelevisian kita waktu itu.

Namun bersama Drs. Ghufron, Suyadi tetap bersemangat, terutama setelah melihat tayangan-tayangan anak dari luar negeri semakin mendominasi. Untunglah, pada 1979, Direktur Produksi Film Negara (PFN) saat itu, G. Dwiyapana menawarkan ide untuk membuat acara Si Unyil, menggandeng Drs. Suyadi (pembuat boneka lulusan Seni Rupa ITB) dan Kuranin Suhardiman (penulis naskah).

Cerita Si Unyil mendapat momentum saat Pemerintahan Soeharto sedang getol menanamkan nilai-nilai Pancasila ke masyarakat. Jadilah, cerita Si Unyil dibebani tugas moral menyampaikan pesan-pesan dari Pemerintah. Ya, mungkin itu bisa dianggap edukasi juga.

Bagaimanapun, barangkali lantaran kesederhanaan cerita dan kedekatan dengan keseharian masyarakat, cerita Si Unyil tetap mendapat hati anak-anak saat itu. Sampai hari ini, setahuku, belum ada program anak di televisi Indonesia yang sesukses Si Unyil.

Jadi, Bolehkah Anak Menonton Televisi?

Jadi, Bolehkah Anak Menonton Televisi?

Hari Tanpa Televisi bukan untuk mengharamkan anak menonton televisi. Namun, orang tua harus tahu batasan-batasan waktu tonton itu. Dan yang dimaksud waktu tonton ini bukan hanya berlaku untuk televisi, tetapi termasuk tayangan-tayangan audiovisual lain, seperti YouTube, TV kabel, gim, dan lain-lain.

Bila merujuk American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP), begini aturan menonton untuk anak:

  • Di bawah 18 bulan, anak jangan menonton sama sekali, kecuali untuk video call dengan keluarga. Apalagi selama masa pandemi begini, di mana perjumpaan dengan keluarga luar rumah jadi jarang.
  • Anak 18-24 bulan sebaiknya hanya menonton tayangan edukasi dengan pendamping.
  • Anak 2-5 tahun boleh menonton tayangan TV non-edukasi maksimal 1 jam per hari, dan saat akhir pekan maksimal 3 jam.
  • Anak 6 tahun ke atas, pastikan sudah memiliki pemahaman akan manajemen diri dan kebiasaan baik, terutama dalam membatasi aktivitas menonton secara mandiri.
  • Matikan TV selama waktu makan dan acara keluarga.
  • Hindari memberi tayangan 30-60 menit sebelum tidur.
  • Anak-anak tidak boleh punya akses internet atau jaringan TV kabel sendiri di kamar. Sebab, ini membuat orang tua sulit untuk memantaunya.

Semoga artikel ini berguna bagi teman-teman yang mempunyai anak. Selamat merayakan Hari Anak Nasional! Selamat merenungi Hari Tanpa Televisi!

Referensi

Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment