Hari Statistik Nasional yang dirayakan setiap 26 September ini merupakan momen yang tepat untuk merenung. Apa fungsi statistik bagi keseharian kita? Apakah kita cenderung mengambil keputusan berdasarkan statistik atau justru menggunakan perasaan kita?
Terus terang, aku bukan ahli statistika. Tetapi mungkin aku punya cerita-cerita menarik soal ini. Jika Teman-teman tertarik, silakan meneruskan membaca.
ISI ARTIKEL
Apa Itu Statistik?
Catatan sejarah, pada tanggal 26 September 1960, setelah menjadi anggota PBB, Pemerintahan Republik Indonesia menetapkan Undang-Undang Statistik untuk menggantikan Statistiek Ordonantie yang dibuat pemerintahan Hindia Belanda pada 1934. Badan Statistik National (BPS) didirikan untuk kebutuhan sensus penduduk secara serentak. UU ini menjadi titik awal perjalanan BPS dalam mengisi kemerdekaan Indonesia di bidang statistik.
Statistik adalah alat yang praktis dan berguna untuk mengukur hampir segala hal di dunia. Orang menggunakan statistik setiap hari, baik secara sadar maupun tidak. Namun bagi yang sadar, statistik dapat menjadi senjata yang ampuh untuk mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidupnya.
Oh, sebentar! Sebelum kita melanjutkan, rasanya penting untuk mengetahui istilah-istilah yang akan dipakai. Terutama perbedaan antara statistika dan statistik. Sudah tahukah kalian?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, statistika adalah sebuah ilmu yang mempelajari cara mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasikan, lalu mempresentasikan data. Singkatnya, statistika adalah ilmu atau pengetahuannya.
Sementara itu, statistik adalah angka, bilangan, informasi, atau data itu sendiri. Jadi, statistik merupakan objek yang dikaji dalam statistika.
Makanya, dalam platform-platform media sosial (medsos), situs web atau blog, YouTube, juga podcast, ada istilah “statistics” yang merujuk pada angka-angka pengunjung atau kunjungan.
Kita butuh statistika untuk menganalisis statistik. Mudah dipahami, bukan?
Penerapan Statistika dalam Keseharian
Seorang ibu rumah tangga ketika membuat kue, misalnya Hong Hak Pia Saking enaknya, sering dipuji oleh suami dan anak-anaknya. Bahkan juga oleh teman-temannya yang kebetulan ikut mengincipi. Tetapi ketika membuat croissant, banyak yang tidak antusias memakannya.
Kalau sang ibu memahami statistik, dia pasti memilih membuat kue terang bulan saat ada acara, alih-alih membuang-buang waktu membuat croissant yang akan mencemari reputasinya.
Contoh lain, seorang penjual toko kelontong suka memperhatikan, pembeli produk A di tokonya, cenderung juga membeli produk X. Dengan statistika sederhana, suatu saat ada pembeli berikutnya yang menanyakan produk A, dengan percaya diri penjual itu akan menawarkan, “Tidak sekalian beli produk X, Pak? Ini kualitas terbaik, cocok buat produk A Anda.”
Maka bisa ditebak, hanya dengan menerapkan statistik di tokonya, penjualannya meningkat. Awalnya hanya laku satu barang, sekarang menjadi dua barang. Ia menganalisis tanpa banyak teori, lalu menginterpretasikannya, dan berhasil.
Cara ini, dalam skala besar, telah dilakukan secara otomatis oleh toko-toko daring besar seperti Amazon, Alibaba, Tokopedia, dan lain-lain. Pengolahan statistik mereka sudah menggunakan teknologi kecerdasan buatan alias Artificial Intelligence (AI).
Dalam bentuk yang lebih canggih, statistik bisa bermanfaat lebih luas. Umpamanya untuk memprediksi volume aktivitas kriminal, pos-pos pengeluaran populer, antisipasi kemacetan lalu lintas pada jam-jam tertentu, risiko investasi saham, pemenang Pemilu, juara kompetisi sepak bola, dan sebagainya.
Statistik memang banyak sekali manfaatnya. Bahkan pemanfaatan ini bukan hal baru. Bukan hanya terjadi di era modern.
Penggunaan Statistika dari Masa ke Masa
Tahukah Teman-teman, data satistik telah dimanfaatkan oleh bangsa-bangsa di Mesopotamia, Mesir, dan Cina sejak periode sebelum Masehi. Mereka memakai statistika untuk menentukan jumlah pajak setiap warga.
Pada masa Yunani Kuno, Plato yang hidup sekitar tahun 360 Sebelum Masehi, dalam bukunya yang berjudul Politea. dimana berisi dialog dengan Sokrates, sudah memakai statistika untuk menjelaskan data tentang ‘negara-kota’.
Kemudian pada abad pertengahan, ilmu statistika berkembang di lingkungan gereja dan digunakan untuk mencatat peristiwa kelahiran, pernikahan, dan kematian.
Pada abad 17, statistik diterapkan di Inggris sebagai aritmatika politik. Istilah “statistika” pertama kali digunakan oleh Gottfried Achenwall (1719-1772), seorang matematikawan dan ekonom Jerman.
Pada abad 18, John Sinclair (1791-1799) ikut memopulerkan istilah “statistika”. Berdasarkan buku bertajuk Statistical Account of Scotland. Ia dianggap berkontribusi luar biasa dalam bidang teknik pertanian ilmiah di Inggris pada abad 19.
Sehingga, pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, statistika semakin banyak digunakan dalam bidang perhitungan matematika.
Pada abad 21, semua bidang ilmu pengetahuan telah menggunakan statistik dan metodologinya. Sebab, sekarang kita memasuki era mahadata (big data), di mana orang yang menguasai data akan mudah menguasai segalanya. Dengan bantuan dari AI, pengolahan statistik tersebut menjadi sangat cepat. Dari data itu, berbagai inovasi pun bermunculan.
Statistik dan Kita
Sekarang, kembali kepada kita. Apakah kita sudah mengambil keputusan-keputusan penting berdasarkan statistik?
Betapa masih banyaknya di antara kita yang takut dengan efek samping vaksin Corona, padahal manfaatnya terbukti secara klinis jauh lebih banyak.
Vaksin Sinovac, misalnya. Efikasinya hanya 52%. Artinya, saat terpapar virus, kemungkinan kita sakit adalah 48%. Memang statistiknya kecil dibandingkan dengan vaksin-vaksin merek lainnya. Tetapi tetap jauh lebih besar ketimbang tanpa vaksin. Ingat, jika kita tidak pernah divaksin Corona dan terpapar virus itu, maka kemungkinan kita sakit adalah 100%.
Orang yang divaksin dan mengalami efek samping parah hingga meninggal memang ada. Berdasarkan statistik, jumlahnya sekitar 1%. Nah, secara statistik, besar mana risiko 48% atau 100%? Fakta ini, tidak perlu profesor statistik untuk menjabarkan jawabannya. Lantas, mengapa kita heboh menolak vaksin, apalagi bila tidak ada indikasi tubuh yang bertentangan?
Contoh-contoh lain? Betapa masih banyak orang yang takut naik pesawat, padahal persentase dan jumlah korban kecelakaan transportasi darat lebih fantastis. Banyak pula orang yang takut hantu, padahal berapa statistik orang dibunuh hantu? Nol!
Sekali lagi, tidak perlu menjadi profesor statistika untuk memilih keputusan atau tindakan yang lebih masuk akal. Cukup menjadi orang yang menerima dan terbuka terhadap statistik, kita akan menjadi orang yang lebih rasional.
Setuju? Tidak setuju? Ingin membantah? Boleh-boleh saja. Namun, tolong tunjukkan data statistiknya dulu, ya.
Referensi
- Wheelan, Charles. 2013. Statistics: Stripping the Dread from the Data, W.W. Norton.
- “Statistika”, Wikipedia Indonesia, diakses 23 September 2021.
- Balai Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia V, diakses 23 September 2021.