Petunia. Bak titisan cinta, penghangat jiwa. Tidak berduri, kelopak bunganya begitu rapuh, membiaskan warna-warna anggun, sempurna menyulap sudut cantik teras kami, yang entah kapan akan diselesaikan para tukang.
Bukan. Bukan salah para tukang yang cuti berbulan-bulan, kemudian datang dua hari, lantas pamit liburan lagi. Eh, kok malah bercerita soal tukang? Mari kembali membahas si cantik Petunia saja.
Tapak Tilas Petunia di Kebunku
Setelah sebuket Petunia hadir melengkapi koleksi bunga indah di vila cantik bernomor urut 5 yang masih berdandan, setiap pagi aku punya kebiasaan baru. Yaitu berbicara dengan mereka, baik di halaman depan, maupun di teras belakang yang masih penuh tumpukan barang pindahan.
Salah satu bunga yang mendapat perhatian khusus dariku adalah Petunia, si pendatang baru. Bunga ini merupakan hadiah pindah rumah dari sahabat kami, Jeng Esti dan suaminya yang tinggal di daerah Aix-En-Provence.
Menurut Wikipedia, Petunia adalah genus tumbuhan berbunga dari famili Solanaceae yang dicirikan dengan bunga berbentuk terompet. Bunganya ada yang bermahkota tunggal, ada pula yang ganda. Warna bunga-bunganya bervariasi: merah, putih, kuning, biru, dan ungu. Buahnya adalah kapsul bikular yang mengandung banyak biji yang sangat kecil.
Nama Petunia sendiri berasal dari Amerika Latin – Brasil, yang mengambil kata “pétun” (yang berarti “tembakau”) dari rumpun bahasa Tupi-Guarani, dan merupakan tumbuhan perdu.
Tinggi maksimal tumbuhan Petunia antara 16-30 cm. Di seluruh dunia, tumbuhan dari Amerika Selatan ini terdiri dari 20 spesies. Entah, bunga Petunia hadiah dari Jeng Esti ini termasuk spesies yang ke berapa.
Jujur, empat hari setelah datang dari kedai bunga dan menjadi penghias meja tamu kami, bunga Petunia ini seperti kerakap tumbuh di batu: kuyup dan layu. Waktu itu, aku sampai tidak tega memotretnya.
Namun diam-diam, tanpa persetujuan siapa pun, kudekati bunga itu. Kugugurkan semua kelopaknya yang kering. Kugunting dengan hati-hati di setiap sisinya yang sudah layu. Lalu, kurendam pot bunga itu dalam baskom berisi air dingin. Aku biarkan pupuk dan akar di kemasan berelaksasi sejenak menyerap oksigen.
Setelah semua prosesi itu selesai, aku seolah dapat melihat dedaunan hijau Petunia tersenyum. Aku mengeluarkan buket itu dari baskom dan langsung kubaptis dengan nama baru: Bang Ravi.
Kuletakkan ia di bangku kayu teras. Bangku ini adalah satu-satunya tempat strategis yang dapat kulihat dari pintu kaca.
Petunia itu Kupanggil Bang Ravi
Semenjak deklarasi nama baru, aku dan si Petunia, eh… Bang Ravi adalah sejoli yang tak terpisahkan. Kami seperti saling lirik dan bermain mata setiap saat, dalam mendung maupun hujan, gelap maupun terang, dalam kesempatan yang hanya diketahui embun fajar.
Setiap pagi, begitu mendapati matahari, kusapa Bang Ravi dengan siraman air dan bisikan termesra yang belum pernah kulakukan kepada siapapun tahun ini. Hihihi.
Tidak munafik. Dalam perjalananku, tentu saja aku pernah bermesra-mesraan dengan kembang-kembang lainnya, terutama ketika masih tinggal di Istana Mini. Di tempat yang begitu asri dan lega itu, ada buih asmaraku tertinggal di sana. Para mantan itu pasti masih ingat, betapa mereka mendapat tempat istimewa di hatiku.
Ah! Itu dulu. Itu… masa cinta 16 tahun tinggal di Istana Mini!
Tetapi Bang Ravi adalah yang terkini. Aku merawatnya dengan penuh kasih. Bahkan, bila kulihat langit sedang mendung, cepat-cepat kubawa ia masuk ke rumah. Aku begitu khawatir deras hujan akan menyakiti petal bunganya yang setipis kulit ari itu.
Bang Ravi memang tergolong kelompok sensitif. Bagaimanapun, tidak semudah itu mengabaikan keindahannya. Sebab, ia punya kuasa, mempercantik halaman yang masih buruk rupa. DIi sinilah sekarang, istana kami.
Setelah deklarasi yang disertai sumpah saling memberi dan menerima apa adanya, resmilah Bang Ravi aku siram setiap hari. Kusapa pagi, siang, sore, maupun malam, tanpa kecuali. Tak selebar daun kusut, aku ijinkan ia mengganggu ketampanan bang Ravi. Begitu juga, tak ada satu kembang layu pun, yang luput dari pengamatanku. Aku memang memperlakukannya dengan sangat istimewa.
Benar, lo! Kembang pun harus sering diajak bicara. Lewat kemesraan luar biasa, dari hari ke hari, aku dapat melihat betapa cantik, eh… tampannya Bang Ravi.
Apapun kuceritakan kepadanya. Ia pun merespon dengan senyum berupa mekar bunga yang makin lebat, meriah, dan indah. Di setiap petal itulah, tersimpan data antara aku dan ia. Bahkan saking banyaknya rahasia itu, Bang Ravi membiasnya dalam tiga warna: putih pucat, violet muda, dan merah menyala.
Warna putih pucat berkisah tentang cerita kami yang tiada habisnya. Warna merah menyala berceloteh tentang hidup yang kadang berubah warna. Dan warna ungu adalah ketika riak-riak kecil muncul, gara-gara frekuensi kami berganti arah.
Namun, warna ungu yang hadir, semakin mempermanis buket itu. Di sini perlu kutegaskan, perhatianku pada Bang Ravi tidak berubah. Rasa sayang ini tetap seperti ketika pertama aku memanggilnya, saat mengeluarkannya dari celupan air di baskom.