Sepak Terjang Nyamuk, Tentara Terkuat yang Mengubah Sejarah Dunia

Nyamuk memang menyebalkan. Tetapi karena kecil, cukup kita tepuk, semprot antiserangga, atau setrum dengan raket listrik, mereka pasti mati. Sayangnya, nyamuk tidak semudah itu dikalahkan. Inilah tentara terkuat dalam catatan sejarah.

Ada yang mengatakan, “Nyamuk itu sedikit, tetapi temannya banyak.” Sepintas, pernyataan ini terdengar seperti kelakar. Kita mungkin spontan tertawa. Namun setelah membaca tulisan ini, barangkali tawa itu perlahan-lahan akan sirna.

Menurut Timothy C. Winegard, profesor sejarah Universitas Colorado Mesa di Amerika Serikat, serangga ini telah mendatangkan malapetaka bagi berbagai jenis reptil, unggas, mamalia, dan tentu saja, manusia.

Nyamuk: Sang Pengantar Penyakit

Nyamuk: Sang Pengantar Penyakit

Dengan mengantarkan penyakit-penyakit yang mematikan, nyamuk telah ikut mengubah sejarah manusia. Bahkan sepak terjangnya bisa ditelusuri sejak zaman prasejarah.

Dari 108 miliar orang dalam 200.000 tahun terakhir, diperkirakan 52 miliar di antaranya meninggal karena penyakit yang dibawa oleh nyamuk. Pada 2018 saja, setidaknya 830.000 nyawa di Afrika dan Asia Tenggara melayang.

Padahal, hanya nyamuk betina yang menggigit dan menyedot darah kita. Beberapa hari setelah menggigit, nyamuk akan meletakkan sekitar 200 larvanya di permukaan kolam, rawa, atau sekadar genangan kecil bekas air hujan.

Suhu juga memainkan peran penting dalam siklus hidup nyamuk. Mereka lebih suka suhu antara 10-41 derajat Celsius. Makanya, di daerah subtropis, mereka hanya muncul pada musim semi, musim panas, dan musim gugur. Sedangkan di daerah tropis, mereka bisa aktif sepanjang tahun.

Setidaknya ada 15 penyakit manusia yang ditularkan oleh nyamuk. Berasal dari tiga jenis patogen: virus, cacing, dan parasit. Penyakit itu antara lain:

  • Kaki gajah (disebabkan oleh cacing filarial dengan perantara semua jenis nyamuk)
  • Demam berdarah (perantaranya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus)
  • Zika (perantaranya nyamuk Aedes sp.)
  • West Nile (perantaranya nyamuk Culex)
  • Demam kuning (perantaranya nyamuk Haemagogus dan Aedes
  • Malaria (perantaranya nyamuk Anopheles)

Namun, yang terparah memang malaria. Penyakit ini ditengarai mulai menyerang nenek moyang kita sejak enam hingga delapan juta tahun lalu. Saat ditularkan bolak-balik antara manusia dan nyamuk, parasit malaria bermutasi beberapa kali selama siklus reproduksi multitahap.

Ketika tertular malaria yang terganas, Plasmodium vivax (malaria tertiana) dan Plasmodium falciparum (malaria tropika), penderita bisa mengalami demam hingga 41 derajat Celsius dan kejang-kejang. Peluang kematiannya mencapai 50 persen.

Lantaran terus bermutasi, sulit bagi para ilmuwan untuk mengembangkan vaksin yang efektif. Tetapi perang melawan nyamuk dapat dipastikan masih berlangsung hingga hari ini.

Sepak Terjang Pertama Nyamuk: Afrika

Afrika: Sepak Terjang Pertama Nyamuk

Mari kembali ke 8.000 tahun silam, ketika para petani berbahasa Bantu di Afrika Sub-Sahara mulai menetap di sepanjang delta Sungai Niger. Daerah itu sangat bagus untuk membudidayakan ubi dan pisang raja. Sayangnya, lokasi tersebut juga surga bagi kawanan nyamuk yang terinfeksi malaria.

Namun, gen orang-orang Bantu ini kemudian bermutasi. Mutasi tersebut menyebabkan hemoglobin dalam darah mereka berbentuk seperti sabit, bukan oval atau donat sebagaimana manusia pada umumnya. Parasit malaria pun tidak dapat menempel pada bentuk baru hemoglobin ini.

Mutasi gen ini turut memutus siklus reproduksi penyakit malaria. Hasilnya, orang dengan sifat sel sabit menjadi kebal malaria hingga 90 persen.

Ketika populasi suku berbahasa Bantu mulai menyebar ke selatan dan timur melintasi Afrika antara 5.000 sampai 1.000 SM, kekebalan ini memberi mereka keunggulan signifikan terhadap kelompok pemburu-pengumpul lainnya.

Sekarang kita melompat ke tahun 1652, ketika Belanda mulai menjajah Afrika. Pada awalnya, mereka bertemu Suku Khoisan yang tinggal di pesisir pantai. Belanda dengan mudah dapat menduduki daerah itu.

Tetapi saat Belanda, dan kemudian Inggris, mencoba memperluas wilayahnya  ke pedalaman, mereka bertemu dengan orang-orang Xhosa dan Zulu yang kebal malaria. Penjajah Eropa menjadi kalah dan terusir, karena keadaan lawannya yang lebih kuat.

Peran Nyamuk di Perang Yunani-Persia

Peran Nyamuk di Perang Yunani-Persia

Di kawasan Mediterania, dua kekaisaran besar sedang bersaing memperebutkan supremasi. Mereka adalah Persia dan Yunani. Pada saat itu, Yunani terbelah dua, yaitu Sparta dan Athena.

Namun, sepanjang perang Yunani-Persia periode 499 sampai 449 SM, Sparta dan Athena sepakat bersatu untuk menghadapi musuh bersama. Meskipun tetap saja mereka kalah jumlah dengan pasukan Persia. Peradaban agung Yunani pun terancam musnah.

Tak dinyana, datanglah balabantuan. Ya, nyamuk! Ceritanya, saat Persia hendak mengepung kota-kota Yunani, mereka harus berkemah di dekat rawa-rawa. Pasukan nyamuk beraksi. Kombinasi mematikan malaria dan disentri pun sukses membunuh 40 persen pasukan Persia.

Akibatnya, pada klimaks Pertempuran Plataea, tahun 479 SM, Persia loyo duluan. Yunani pun dapat mengalahkan Persia, sekaligus mengakhiri perang.

Musuh bersama lenyap, Athena dan Sparta kembali saling menyerang. Ini kita sebut dengan Perang Peloponnesia.

Selama kurun 460-404 SM, sekali lagi, nyamuk menunjukkan kekuatannya. Ketika Athena berada di ambang kemenangan pada 430 SM, wabah mengerikan melanda kota mereka dan menewaskan hingga 100.000 penduduknya. Kemungkinan, itu adalah malaria atau demam kuning.

Sparta beruntung. Sekali lagi, nyamuk berada di pihaknya. Pada 415 SM, Athena memulai pengepungan dua tahun di Syracuse, sekutu Sparta. Lokasinya juga dikelilingi oleh rawa-rawa yang dipenuhi nyamuk.

Hingga 413 SM, tak kurang 70 persen dari 40.000 tentara Athena tewas, atau minimal tidak layak melanjutkan perang gara-gara terserang malaria.

Athena limbung. Tidak menyangka dengan kekalahan ini. Akhirnya, mereka menyerah kepada Spartan. Perang Peloponnesia pun berakhir pada 25 April 404 SM.

Alexander Agung pun Terkapar oleh Nyamuk

Alexander Agung pun Terkapar oleh Nyamuk

Pasca kekalahan Athena, sebagian besar Yunani hancur lebur. Diperparah dengan endemik malaria yang terus-menerus menggerogoti penduduknya.

Pada saat Athena lemah itulah, sebuah kerajaan yang masih segar bugar berpikir untuk memanfaatkan situasi. Namanya Makedonia. Kita tahu, kerajaan ini akhirnya dipimpin seorang raja belia, Alexander Agung.

Rupanya, Alexander pemimpin bertangan dingin. Metodenya yang merupakan campuran antara perang dan diplomasi, mampu menyatukan sebagian besar Yunani.

Tidak puas hanya sebagai jago kandang, ia pun menggiring pasukannya ke timur untuk ekspansi menaklukkan Kekaisaran Persia dan sebagian besar Asia Tengah. Sukses, mata Alexander lalu tertuju kepada India dan Pakistan.

Namun saat memasuki lingkungan yang basah dan hangat di Lembah Sungai Indus, rombongan penakluk dari Makedonia bertemu dengan penantang terberatnya. Ya, lagi-lagi nyamuk!

Lelah oleh perjalanan jauh dan pertempuran selama bertahun-tahun, pasukan Makedonia akhirnya porak poranda oleh wabah penyakit. Mereka pun mundur.

Alexander memutuskan berhenti di Babel, untuk memulihkan tenaga sekaligus merencanakan penaklukan berikutnya. Tetapi ini tak pernah terwujud. Pada 323 SM, kondisi jenderal perang berusia 32 tahun itu makin melemah. Dan akhirnya, meninggal karena sebuah penyakit misterius. Kemungkinan besar malaria.

Sang penakluk yang begitu gagah ternyata takluk oleh serangga berdenging yang besarnya tidak lebih dari biji anggur yang biasa disantapnya.

Padahal, jika nyamuk tidak lancang mengusiknya, Alexander dapat melanjutkan invasi ke Timur Jauh. Dengan begitu, untuk pertama kalinya, kekuatan Timur dan Barat akan terhubung. Ini terjadi 1.500 tahun sebelum pedagang Eropa seperti Marco Polo menjalin hubungan dagang ke negeri Cina.

Kebangkitan dan Kejatuhan Romawi karena Nyamuk

Kebangkitan dan Kejatuhan Romawi karena Nyamuk

Roma pada dasarnya adalah kota yang dikelilingi oleh Rawa Pontine. Rawa seluas kurang-lebih 80.000 hektare itu jelas ideal bagi tempat menongkrong nyamuk, beberapa di antaranya membawa malaria.

Antara 390 SM dan 429 M, pasukan serangga itu membantu memukul mundur satu per satu penyerangnya. Mulai dari Galia, Kartago, Visigoth, Hun, sampai Vandal. Tanpa bantuan nyamuk-nyamuk itu, Kekaisaran Romawi mungkin umurnya tidak sepanjang catatan dalam sejarah.

Namun, nyamuk tidak bisa diajak kompromi. Kelakuannya sulit diatur, apalagi disuruh konsisten melindungi satu pihak.

Pada awal abad pertama Masehi, saat Kekaisaran Romawi mencoba ekspansi ke Eropa Tengah dan Timur melalui timur Sungai Rhine, suku-suku Jermanik memberi perlawanan. Dengan cerdik, mereka memaksa Romawi berperang dan berkemah di daerah rawa-rawa.

Di sana, nyamuk malaria sekali lagi menunjukkan taring gatalnya. Sehingga, suku-suku Jermanik berhasil mengusir serdadu Romawi, walaupun kekuatan militernya sebenarnya lebih lemah.

Suku-suku yang sama terus mencoba menjatuhkan Kekaisaran Romawi beberapa abad kemudian. Invasi-invasi itu menggerus keperkasaan Romawi dari luar. Sementara dari dalam, kelaparan, berbagai epidemi, dan wabah malaria belum terkendali sepenuhnya.

Jadi, meskipun tidak pernah dicatat dalam sejarah, nyamuk sebenarnya memiliki andil besar dalam menghancurkan Kekaisaran Romawi.

Orang Eropa Membawa Malaria ke Amerika

Orang Eropa Membawa Malaria ke Amerika

Pada tahun 1492, Christopher Columbus berlayar ke barat untuk mencari jalan pintas menuju Asia. Hanya, secara tidak sengaja, Columbus menabrak sebuah pulau di lepas pantai Amerika Utara. Demikian pula tokoh utama kita dalam tulisan ini: nyamuk malaria.

Sebenarnya, nyamuk sudah beterbangan di belahan bumi barat sebelum tahun 1492. Tetapi jenisnya bukan Anopheles. Baru ketika orang Eropa dan budak-budak yang mereka bawa dari Afrika mendarat di tanah Amerika, nyamuk-nyamuk berpenyakit itu turut menyebar.

Kurang dari setahun setelah kru Columbus berkemah di pulau Karibia Hispaniola, nyamuk-nyamuk berpenyakit menginfeksi nyamuk-nyamuk pribumi dengan patogen mereka. Wabah influenza dan cacar menyebar. Akibatnya, penduduk asli Taino pun menderita penyakit malaria dan flu yang mengerikan.

Pada awal tahun 1520-an, penyakit yang disebabkan nyamuk terus menyebar dari penduduk pribumi satu ke penduduk pribumi lainnya. Malaria, cacar, dan penyakit lainnya mungkin telah mencapai jauh ke utara sampai Great Lakes dan jauh ke selatan sampai Cape Horn.

Penyakit-penyakit ini bertindak sebagai garda depan bagi serangan orang-orang Eropa. Buktinya, di tenggara dan barat daya dari tempat yang sekarang menjadi Amerika Serikat, seluruh komunitas adat telah dihancurkan oleh malaria, jauh sebelum serangan yang sebenarnya dari pasukan Eropa.

Kombinasi malaria dan cacar juga menghancurkan peradaban Aztec dan Inca yang perkasa pada periode 1520-1530. Penakluk Spanyol Hernan Cortes dan Francisco Pizarro pun menang mudah melawan masyarakat maju yang berkekuatan jutaan orang ini dengan ratusan tentara.

Boleh dibilang, nyamuk dan penyakitnya bertanggung jawab atas salah satu tragedi terbesar dalam sejarah. Nyamuk jugalah yang membantu membuka jalan bagi kolonisasi Eropa di Amerika.

Sebenarnya, masih banyak catatan campur tangan nyamuk dalam penghancuran dan pembangunan peradaban. Ini membuktikan bahwa makhluk ini tidak bisa diremehkan. Sejarah telah membuktikan, merekalah tentara terkuat yang tidak pernah diakui di muka bumi ini.

Referensi

  • Winegard, Timothy C. 2019. The Mosquito: A Human History of Our Deadliest Predator , Dutton Books, New York: 2019.
  • “Mosquito”, Wikipedia Inggris, diakses 11 Januari 2022.
  • Evani, dr. Saphira. “Etiologi Malaria”, AloMedika.com, diakses 12 Januari 2022.
Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment