Indonesia memperingati Hari Pahlawan setiap 10 November. Namun, secara spesifik, siapakah pahlawan yang dimaksud dalam perayaan tersebut? Lebih lanjut, apa yang memicu pertempuran Surabaya? Siapa saja yang terlibat dalam perang perdana pasca lahirnya Republik Indonesia itu?
Mari kita bahas sejarah singkat pertempuran Surabaya. Semoga ulasan ini, dapat menyegarkan ingatan kita, agar senantiasa menghargai pengorbanan para pahlawan. Selanjutnya, mengisi kemerdekaan dengan berkarya, bekerja, atau melakukan hal-hal lain yang bermanfaat bagi orang banyak. Karena setiap manusia adalah pahlawan bagi diri dan lingkungannya.
ISI ARTIKEL
Harta yang Dipertahankan dalam Pertempuran Surabaya
Kisah keteladanan para pahlawan telah lama menghias buku-buku pelajaran sekolah. Sosok-sosok panutan itu memberi kita gambaran yang jelas tentang tekad baja. Semboyan “pantang menyerah” dan “maju tak gentar” berhasil membakar semangat kita agar menjadikan perjuangan mereka bagian dari diri kita.
Kisah kepahlawanan 10 November itu, berawal dari rentetan peristiwa ini.
Dengan kekuatan Poros yang memuncak di masa Perang Dunia II, pada 1 Maret 1942, pasukan Angkatan Laut Jepang datang ke Pulau Jawa, tepatnya di Pantai Eretan, Indramayu. Lalu, satu per satu, pos-pos pertahanan Belanda di Indonesia pun, berhasil mereka rebut.
Tujuh hari kemudian, pemerintah kolonial Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang melalui Perjanjian Kalijati. Jepang pun resmi menguasai Jawa, dan Indonesia.
Namun, keadaan berbalik dalam tiga tahun. Terutama setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Jepang. Gantian Jepang yang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945.
Belanda sudah hengkang, Jepang dalam kondisi tak terdaya, Soekarno-Hatta (atas provokasi para pemuda) pun memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Hari baik itu adalah 17 Agustus 1945, bertepatan dengan hari Jumat, 9 Ramadan 1364 H. Tonggak baru perjalanan bangsa Indonesia benar-benar dimulai.
Kemerdekaan dan kebebasan. Inilah harta berharga yang sejak awal didamba-dambakan rakyat Indonesia.
Urusan Belanda yang Belum Selesai di Indonesia
Saat rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang, tentara Inggris (Sekutu) mendarat di Jakarta pada 15 September 1945. Tujuannya untuk merontokkan persenjataan Jepang.
Logika pihak Inggris, karena Sekutu adalah pemenang perang, Jepang sang pecundang tidak berhak lagi atas Indonesia. Tanah-tanah jajahan aliansi Poros, termasuk Indonesia, otomatis jatuh ke tangan negara-negara Sekutu.
Namun, bagaimana bila tanah jajahan itu sudah mendeklarasikan kemerdekaannya?
“Jangan bercanda, itu jelas tidak sah!” mungkin seperti itu komentar Inggris dan Belanda. Ya, Belanda juga membonceng rombongan Inggris sebagai Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Mereka pikir, tanah ini masih bernama Hindia Belanda. Apa itu Indonesia?
Untuk menegaskan klaim tersebut, di Surabaya, tepatnya di tiang atap Yamato Hoteru (sekarang Hotel Majapahit), bendera Belanda dikibarkan sejak 18 September 1945 pukul 21.00. Pengibaran bendera merah-putih-biru ini atas instruksi W.V.Ch. Ploegman, wali kota Surabaya versi NICA.
Kedaulatan negaranya dilecehkan, arek-arek Suroboyo murka. Namun, mereka masih mengutamakan pendekatan persuasi. Residen Soedirman, Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya, menemui Ploegman. Sidik dan Hariyono mengawalnya.
Mereka meminta bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.
Tentu saja, Ploegman menolak. Perundingan itu memanas. Ploegman sampai menembakkan pistolnya, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik. Tentara Belanda yang berjaga di hotel yang terusik karena bunyi letusan pistol, kemudian kemudian menembak mati Cak Sidik.
Hariyono segera mengungsikan sang residen keluar dari Hotel Yamato, sambil mengabarkan gagalnya Rencana A.
Rencana B pun dijalankan. Para pemuda memanjat hotel untuk menurunkan sendiri bendera Belanda, di sela-sela hujan tembakan dari tentara Belanda. Bersama Koesno Wibowo, Hariyono berhasil menurunkan bendera Belanda, menyobek bagian birunya, dan mengereknya kembali ke puncak tiang sebagai bendera dwiwarna: Sang Saka Merah-Putih.
Penyebab Meletusnya Pertempuran Surabaya 1945
Pada 27 Oktober 1945 terjadi perang terbuka antara Indonesia melawan tentara Inggris yang dibantu Gurkha (pasukan bayaran dari India). Korban jiwa berjatuhan di kedua belah pihak, sampai-sampai Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Soekarno untuk meredakan situasi.
Setelah perjanjian gencatan senjata Indonesia-Inggris ditandatangani pada 29 Oktober 1945, pertempuran mereda, meski tidak berhenti total. Bahkan kembali memanas setelah Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur, terbunuh pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30.
Awalnya, mobil Buick yang ditumpanginya berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia saat akan melewati Jembatan Merah, di dekat Gedung Internatio.
Terjadilah tembak-menembak. Senjata memang tidak bermata. Pistol seorang pemuda Indonesia, yang sampai sekarang belum diketahui identitasnya, menewaskan Brigjen Mallaby. Mobil Buick juga meledak karena granat, sehingga jenazah Mallaby sulit dikenali.
Omong-omong, mengapa terjadi pertempuran saat kedua belah pihak sudah sepakat gencatan senjata? Kemungkinan hanya karena kesalahpahaman.
Kelak pada 20 Februari 1946, anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris, Tom Driberg, dalam perdebatan di Parlemen Inggris meragukan bahwa bakutembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Menurutnya, peristiwa itu diduga kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak. Mereka tidak tahu bahwa gencatan senjata sedang berlaku, karena komunikasi mereka dengan pusat terputus.
Inggris marah. Pengganti Mallaby, yaitu Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, segera mengeluarkan ultimatum yang mengimbau pihak Indonesia, terutama di Surabaya, supaya menyerahkan persenjataan dengan tangan di atas. Tenggat penyerahannya 10 November 1945 pukul 06.00.
Pamflet ultimatum itu disebarkan melalui udara oleh tentara Inggris. Sekali lagi, rakyat Surabaya menolak tunduk.
Mereka sepakat mempertahankan kemerdekaan dan tidak lagi menuruti pemerintah asing. Pilihannya: Merdeka atau Mati! Takbir bergema di mana-mana. Dikumandangkan dengan berapi-api oleh tokoh-tokoh seperti Bung Tomo, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, dan lain-lain.
Hasil dari Pertempuran Surabaya 1945
Inggris seperti sudah menduga penolakan itu akan terjadi. Maka pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan, di darat maupun udara.
Milisi Surabaya kocar-kacir. Sebagai negara kemarin sore yang baru saja memiliki angkatan bersenjata sendiri (namanya TKR atau Tentara Keamanan Rakyat) mereka belum memiliki strategi militer yang mumpuni. Tetapi, makin hari mereka makin terkoordinasi, hingga mampu mengimbangi gempuran Inggris.
Indonesia memang akhirnya kalah dalam pertempuran 3 minggu 3 hari itu (terhitung sejak 27 Oktober 1945 sampai 20 November 1945). Sementara korban dari pasukan Inggris dan India sekitar 600-2.000 tentara, di pihak Surabaya tercatat 6.000-16.000 korban jiwa dan 200.000 warga sipil mengungsi.
Harus diakui, Indonesia kalah taktik, pengalaman, dan persenjataan. Memang, arek-arek Suroboyo tidak mau harga dirinya diinjak-injak. Secara teknis mereka cuma bondo nekat (bermodal nekat). Meskipun kenekatan mereka tetap bernilai tinggi bagi Indonesia, karena:
- Inilah pengalaman perang pertama pasukan Indonesia melawan pasukan asing setelah berdirinya Republik Indonesia.
- Daerah-daerah lain di seluruh Indonesia jadi terinspirasi untuk turut berjuang mempertahankan kemerdekaan dan melawan kolonialisme.
- Mata dunia terbuka terkait siapa penjahat perang yang sesungguhnya. Makin banyak negara yang bersimpati kepada Indonesia.
- Belanda jadi berpikir seribu kali kalau mau menyenggol kedaulatan Indonesia lagi.
- Inggris mulai netral dalam memandang permasalahan Indonesia-Belanda, dan beberapa tahun berikutnya malah berbalik mendukung republik baru ini di forum PBB.
Hari tenggat ultimatum Inggris yang diabaikan warga Surabaya, yaitu 10 November, akhirnya diperingati sebagai Hari Pahlawan. Dalam catatan sejarah, Hari Pahlawan disahkan dalam Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional Yang Bukan Hari Libur.
Tidak ada figur pahlawan yang secara spesifik dirayakan hari itu.
Pahlawan itu adalah para pejuang di lapangan, perawat, relawan penyedia makanan-minuman, penyokong dana, pemuka agama yang membantu mengoordinasi milisi, pekerja media yang menggelorakan semangat perjuangan lewat media, dan siapapun yang berandil dalam mempertahankan kemerdekaan.
Mereka semualah pahlawannya! Dan jangan lupa, bahkan kotanya pun (Surabaya) mendapat julukan Kota Pahlawan hingga hari ini.
Referensi
- Raditya, Iswara N. 12 Maret 2021. “Sejarah Pertempuran Surabaya: Latar Belakang, Kronologi, & Dampak”, Tirto.id, diakses 7 November 2021.
- “Pertempuran Surabaya”, Wikipedia Indonesia, diakses 7 November 2021.
- Yanuar, Bobby. 28 Oktober 2020. “Pertempuran 28 Oktober: Arek Suroboyo Hancurkan Pasukan Gurkha di Gedung RRI”, RRI.co.id, diakses 7 November 2021.
- Wirayudha, Randy. 19 September 2018. “Meluruskan Peristiwa Insiden Bendera di Surabaya”, Historia.id, diakses 8 November 2021.