Pontianak ke Prancis: Bias Kenangan Suatu Ketika

Pontianak ke Prancis: Bias Kenangan Suatu Ketika

Aku menyimpan kenangan indah tentang Pontianak. Kota kelahiranku itu juga urat nadiku. Ia menyimpan berjuta kisah.

Masa kecilku pernah diisi dengan berendam di tepi kali. Memang, lebar kali itu tidak seberapa. Akhirnya, kali tersebut ditiadakan untuk meluaskan jalan utama. Namanya, Jalan Tanjung Pura.

Dalam perantauanku di Prancis, acap kali bila ada pertanyaan bagaimana aku menghabiskan masa kecil, dengan mata berbinar, aku kembali tersedot ke era tersebut.

Aku lupa, saat itu umur berapa. Samar ingatan mencatat, bahwa saat kecil, selayaknya anak perempuan, aku sering menjalin karet gelang. Atau bercengkerama dengan bola bekel dan bermain cangkang rumah keong. Juga sering menggendong boneka.

Sesekali, aku bermain petak umpet. Entah berapa kali aku hompimpa dan kalah, beradu mulut karena merasa dicurangi, bersungut-sungut, merajuk, ngambek, menangis, dan tertawa.

Kadang dalam permainan, kami bermusuhan. Waktu itu, seolah dunia bakal kiamat. Tetapi tidak, kami segera bermain lagi. Tiada dendam, tiada benci. Itulah cara kami bersosialisasi.

Apabila di antara kami berselisih, membandel, bersengketa, atau bertikai, aku tidak serta-merta melaporkan insiden tersebut kepada orang tua.

Bisa-bisa, bila ibu sudah marah. Maka rotan ikut berbicara. Waktu itu, komisi perlindungan anak belum ada. Tak terhitung garis rotan pernah aku terima.

Sebenarnya, tidak ada yang fatal. Hanya kenakalan khas anak kecil. Kami bercanda, lalu saling mencela, terus ribut, dan berujung saling mencakar. Upppsss!

Tentu saja kebandelan itu kami pentaskan di luar pengawasan orang tua. Seluruh lakon itu membimbingku dalam memaknai proses kehidupan. Dan kini, aku mengenangnya sebagai sesuatu yang bersahaja dan penuh makna.

Dunia kanak-kanak bagiku adalah dunia senda gurau dan pembelajaran. Semua terbungkus hangat mewarnai masa bermainku yang singkat.

Kota Pontianak bagiku adalah kota dengan air yang indah. Masih kukenang gaung teriakan girang, bermain bersama saudara dan sepupu sebaya. Pernah, kami menelusuri pinggiran Sungai Kapuas di Jalan Barito, mengagumi kapal-kapal besar yang berlabuh di dermaga, hingga sore pun tiba dan kami semua kembali ke rumah.

Pontianak bagiku adalah kemarau dan hujan. Saat hujan besar, kami menadah anugerah dari langit, mengisi air di tong-tong besar penampungan atau tangki bawah tanah di dalam rumah.

Dan ketika kemarau berkuasa, air tersebut menjadi berkah bagi tetangga sekitar yang kekurangan air minum. Bagiku, itu adalah sebentuk solidaritas yang hangat. Jernih, tanpa pamrih.

Pontianak membenam masa kecilku. Seorang gadis cilik dengan rambut dikepang kuda, menanti musim pasang tiba, di halaman rumah mereka berdatangan ikan-ikan kecil yang berenang di tepian tangga.

Dengan gembira, gadis berkepang kuda itu segera meringkus ikan-ikan kecil yang berdatangan. Jari-jemarinya yang mungil mengambil wadah plastik bekas kemasan sabun. Namun, tanpa ia sadar, itulah kriminal pertama yang ia lakukan. Sebab, ikan ikan nahas tersebut mati dalam beberapa jam, karena keracunan aroma deterjen dan kehabisan oksigen.

Ya. Di masa itu, air pasang bagiku adalah impian. Airnya begitu jernih, datangnya hanya musiman. Surutnya pun demikian cepat, sehingga aku harus menunggu sangat lama untuk menangkap ikan lagi.

Lambat laun, air pasang menjadi identik dengan banjir. Artinya, bencana. Tak ada lagi ikan-ikan kecil di sana. Lumpur kecokelatan telah menyamarkan apapun yang sedang dilintasinya.

Pontianak membujur di garis tengah dunia. Kota khatulistiwa, disebutnya. Tempat di mana pada suatu hari, gravitasi bumi mencapai titik didih. Dan bayang diri seolah menyatu dengan bumi. Ini adalah sebentuk ketakjuban akan kebesaran ilahi.

Saat senja datang dan lampu temaram mulai membias jalan, waktu itulah jajanan terenak sejagat raya mulai bermunculan. Boleh dikata, di setiap sudut Kota Pontianak terdapat lapak kudapan. Tak terhitung jumlahnya. Pernah tinggal di sana memberi aku kesempatan merasakan apa yang disebut surga makanan dunia.

Namun, Pontianak yang aku kenal kini telah berevolusi.

Biarlah kukenang saat bercumbu di sana dalam nurani, dalam mimpi-mimpi panjang, dalam bentuk cerita verbal yang selalu kubagikan kepada warga asing di sini. Supaya mereka larut dalam masa keemasanku di sana.

Pada langit biru, kutitipkan doa. Semoga Kota Pontianak tetap bersahaja. Semoga ia senantiasa dibungkus cinta, dan tak akan terpecah belah. Semoga kiprahnya semakin menggelora. Tetap memberi sumbangsih untuk tanah air kita tercinta dan tetap menjadi sebuah pulau paru-paru dunia.

Meski sebenarnya, lewat kekayaan alam luar biasa yang dimilikinya, ia bukan hanya pulau. Ia adalah elemen yang turut memperkaya peta dari Negara Persatuan dan Kesatuan Republik Indonesia.

Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment