Pohon Ara: Sebuah Hikayat

Pohon Ara: Sebuah Hikayat

Ketika pertama kali aku bertatap muka dengannya, bulan Desember, pohon ini berdiri kaku di depan halaman yang bakal menjadi tempat aku menetap. Hanya ada ranting-ranting yang membisu dalam senyap. Penuh rasa sendu, kutegur dalam diam, udara yang menusuk tulang dan kesunyian panjang, seketika mengintimidasi perasaanku. Kelu.

Hari-hari berkejaran. Aku berjuang melawan berbagai perubahan. Sebab, negara empat musim ini baru pertama kali, aku datangi.

Sampai suatu ketika di pengujung kebekuan, pohon itu bergeliat dengan perubahan. Kudapati tunas-tunas daun menyembul manis dari bilik tangkainya yang kokoh.

Ternyata selama ini, pohon tersebut sedang tidur. Ia memilih terlelap panjang, bersabar menunggu intensitas cahaya. Ia perlu menyerap panas yang cukup agar mampu berfotosintesis.

Inilah pohon Ara, pohon yang dalam catatan Alkitab pernah diriwayatkan kehadirannya sebagai pohon ilmu pengetahuan tentang yang baik dan jahat. Diriwayatkan pula, daunnya yang hijau lebar, oleh Adam dan Hawa dirajut jadi busana saat mereka masih menetap di taman surga.

Pohon yang baik, dikenal dari buahnya. Memahami tamsil tersebut, aku teringat sebuah kisah dari negeri Timur Tengah.

Konon, seorang saudagar yang terkenal arif, mengajak permata hatinya yang hampir bujang berpelesir. Sang putra tampak heran melihat barisan batu memagari jalan yang sedang mereka tempuh. Terbelenggu oleh rasa penasaran, si anak bertanya tentang muasal cerita dari ayahanda tercinta.

Maka si bijak bestari yang khatam ilmu segera beriwayat, bahwa bongkahan tersebut sengaja ditaruh seseorang untuk melindungi bibit pohon Ara supaya tidak dimangsa binatang atau diterbangkan angin.

Sedang bibit yang disemai, lambat laun akan berakar, merambah jauh menghirup sumber mineral bumi. Nantinya, ketika pangkal tersebut sudah kokoh, ia akan keluar dan menggeser batu tersebut. Begitulah kuasa Tuhan mengatur semesta.

Bukan itu saja, selama musim panas datang, saat haus dan panas tak terelakkan, berada di dekat pohon Ara adalah sebuah pertolongan.

Begitu musim gugur tiba, ketika kebekuan perlahan menyerang sebagian semesta, pohon tersebut ikut mengalah, melepas seluruh daun, memberi ruang pada matahari untuk memanaskan bumi. Ini, dalam kamus ilmu botani, kita sebut sebagai tumbuhan hibernasi.

Mengapa berada di bawah pohon Ara adalah berkah?

Sebab, panen buah Ara dapat memberi pertolongan pertama pada lapar-dahaga. Buahnya yang manis dan berkelimpahan mudah dipetik dan rata-rata disenangi semua orang.

Begitu legit buah tersebut hingga dalam Alkitab pun tertulis betapa Yesus sedikit kecewa, ketika dalam lawatannya, tidak menemukan pohon Ara yang berbuah.

Kitab Al-Qur’an pun mencatat, “Demi buah tin dan buah zaitun.” Buah tin sebenarnya adalah panggilan lain dari buah Ara.

Pun, Sang Buddha, mencapai pencerahan sempurna di bawah pohon Bodhi. Pohon Bodhi sebenarnya juga nama lain dari pohon Ara.

Oh ya, tahukah juga kalian? Di mana pohon Ara tumbuh, di sana terdapat isyarat sumber mata air di sekitarnya.

Aku bersyukur bisa mengecap buah Ara langsung dari pohonnya. Memetik sesuka hati, karena ia tumbuh berkelimpahan di depan pekarangan rumah yang aku tinggali.

Senang juga rasanya menyaksikan tetamu yang mampir di musim liburan bergelayutan di kerindangannya. Tak jarang, mereka pulang dengan membawa buahnya untuk bahan camilan.

Lewat pohon Ara, pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, aku memetik hikmah indahnya berbagi.

Suatu hari di musim panas, ketika aku membuka jendela, kulihat penghuni angkasa berjemaah terbang rendah, mematuk ranum buah, dan memberi nyanyian merdu. Pengunjung agung itu begitu gembira, berkicau mensyukuri pahala.

Aku terhanyut. Serta-merta, kupejamkan mata. Ah, benar-benar serasa dekat dengan nirwana.

Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment