Pindah dari Istana Jelita ke Rumah Jelata – Part V

Ringkasan Perpindahan dari Istana Mini ke Rumah Petak

Terus terang, pindah rumah adalah sesuatu yang asing bagiku. Biasanya, aku hanya rajin memindahkan koper. Berdasarkan pengalaman pribadi, isi koper pun berkurang drastis begitu aku mulai membuka kuncinya. Sehingga beban terberatku hanya mengangkatnya.

Aku membayangkan pindah rumah juga begitu. Paling hanya mengepak barang-barang. Kemudian, ketika sampai tujuan, aku tinggal membongkar dan meletakkan barang-barangku ke tempat baru.

Hipotesis di atas seratus persen benar, apabila rumah yang dituju juga seratus persen sudah selesai.

Kilas Balik Perpindahan Rumah

Sesaat setelah menerima kabar tak terduga itu, aku hanya bisa berjalan mondar-mandir. Sukar sekali mendefinisikan perasaanku. Aku belum percaya bahwa aku akan segera pindah dari tempat yang telah menampungku selama 16 tahun ini!

Namun, aku akhirnya berinisiatif menginventaris barang-barang pribadi yang jarang dipakai dua tahun belakangan. Barang-barang itu harus kuhibahkan. Beres!

Setiap hari, kusisihkan waktu. Minimal sebelum tidur. Aku begitu telaten memilah-milah barang dan memasukannya ke kotak-kotak transparan, boks lipat, atau kardus yang sudah kukasih nama.

Kemudian, pekerjaan berlanjut ke segala arah. Dari hari ke hari, semakin banyak tempat yang kujangkau. Aku mulai mengosongkan rak-rak dan laci-laci.

Dari ruang tamu, dapur, lemari-lemari, gudang, hingga sudut-sudut yang selama ini tidak kasatmata. Dari depan, samping, hingga belakang. Dari satu pojok ke pojok lainnya. Setiap penumpukan barang, menandakan hari-hariku begitu tersita.

Hasil ‘kerja rodi’ intensif dibantu seorang madame pengurus kamar bisa dilihat dari kantong, kardus, boks lipat, serta ember plastik yang kusiapkan dengan cepat terisi.

Detoksifikasi total ini menghasilkan emisi entah berapa gerobak. Untunglah, tukang kebun berkolaborsi maksimal mengeksekusi output detoks secepatnya, sehingga tidak terjadi kemacetan di halaman belakang.

Ruang-ruang di istana mini memang terlihat sesak, tetapi tetap tidak menghalangi arus sirkulasi.

Aku cukup rajin mendatangi depot penampungan barang bekas. Bagiku, begitu kantong dan kardus berpindah dari mobil, berkurang bebanku.

Sementara, renovasi rumah petak sudah dimulai begitu calon pemilik terlihat serius memukul gong akan mengakuisisi istana mini.

“Tiga bulan!” begitu bunyi pernyataan yang dibuat di depan notaris tertanggal 28 Juni 2020.

Dan benar saja, jarak tiga bulan yang diberikan calon pemilik atau kupanggil si Pendatang Baru terasa begitu singkat. Rentang waktu itu, tidak cukup bagiku untuk menyeleksi seisi rumah, antara yang akan dipindahkan, dan yang akan ditinggalkan.

Maklum, pekerjaaanku bukan hanya soal pindahan. Aku harus bolak-balik mengikuti perkembangan rumah petak. Ya, kadang-kadang, wacanaku dibutuhkan untuk alasan praktis di sana.

Aku juga menggunakan kesempatan terbatas itu untuk berpesta ria dan rileks bersama teman-temanku bulan Agustus silam. Sekaligus secara resmi memberitahu mereka aku akan segera pindah.

Di samping itu, istana mini tetap menerima tamu penginapan dan aku harus pula menjadi asisten utama si juragan yang semakin tekun memberi instruksi. Tentu saja, selagi bisa, aku pasti mengupayakannya. Selalu kuhibur diriku, bahwa setelah periode tornado ini, semua akan berakhir.

Hari-hari kurasakan bukan berjalan, tetapi berlari. Tak terasa pembangunan rumah petak sudah berjalan lebih dari tiga bulan. Tanggal 12 Oktober 2020, aku sempat mengunjunginya. Namun, aku menjadi semakin pesimistis. Bagaimana mungkin dalam dua hari, jasa angkutan harus memindahkan barang dari istana mini menuju rumah yang bahkan belum selesai dipasang ubin?

Bagaimanapun, aku harus berbaik sangka. Bukankah rumah sakit pasien virus corona berkapasitas ribuan pasien di Wuhan – RS Huoshenshan seluas enam puluh ribu meter persegi selesai dibangun dalam waktu hanya sepuluh hari? Ini, kan, cuma rumah sepetak dan masing-masing pemborong sudah tahu jadwal pindahan? Dua hari pasti bisa!

Detik-detik Pindahan

Tanggal 14 Oktober, pukul 07.30. adalah hari yang tak akan kulupa. Pagi masih berkabut, ketika pemuda-pemuda gagah tampan datang mengangkut barang pindahan.

Aku berpesan kepada mereka, bahwa barang-barang yang diangkut dari kamar nanti tolong ditaruh di kamar, demikian juga yang dari dapur, harap kembali ke dapur. Sisanya, baru di ruang tamu.

“Rebesss… beresss, Madame!” jawab mereka.

Indah rencananya, mantap instruksinya, sempurna jawaban para pemuda gagah berotot yang bekerja cepat dan efisien, yang membuat hatiku adem tenteram.

Aku tersenyum. Supaya mereka lebih semangat, kubuatkan kopi pembangkit stamina. Dan kukatakan pula, aku bersedia membuatnya lagi, bila mereka menginginkannya.

“Terima kasih. Sudah cukup, Madame!” tanggap mereka sambil tergesa menyeruput kopi itu.

Dalam kurun waktu empat jam, tanpa kecuali, mereka berhasil memasukkan seluruh barang yang ditandai tadi pagi ke mobil truk tertutup. Tiga mobil truk tertutup ukuran sedang yang memuat barang-barang itu pun beranjak pelan meninggalkan istana mini.

“Hebat sekali!”

Berkali-kali aku memuji dan berdecak kagum pada tim pengangkut bernama Demenagements Chevallier. Setelah merapikan istana mini yang kini terlihat kosong dan bergema, aku menyusul mereka.

Tetapi, apa yang terjadi di tempat tujuan? Maksudku rumah petak! Apakah dua hari tersisa sejak 12 Oktober 2020, berhasil menjadi motivasi para pemborong untuk menyelesaikan seluruh bagian interior?

Inilah episode pindah rumah paling mendebarkan yang kualami di negeri orang.

Sesampainya di sana, belum-belum, aku sudah jatuh iba melihat tukang-tukang yang seperti baru tercebur di kantong terigu. Ruang utama di rumah petak terlihat baru selesai dicat warna putih. Debu kapur sisa dempul tembok beterbangan dan menjadi permadani di lantai.

Tentu saja, aktivitas yang sedang berlangsung di ruang lain tidak memungkinkan tim pemindah barang menaati pesan yang diemban.

“Jadi, maaf, Madame! Semua barang kami tumpuk di tempat yang tersedia saja!” ucap salah seorang pengantar barang pindahan dengan suara rendah.

Semula, aku melihat karton-karton disusun berdekatan di dinding. Kemudian di susul meja, lemari, sofa, kompor. Lalu, kantong-kantong fleksibel dan boks plastik.

Setelah itu, barang-barang mulai disisipkan semuat-muatnya. Di atas dan kolong meja, di atas dan dalam lemari, di atas dan bawah sofa, di atas dan dalam kompor gas. Juga, di atas mesin pencuci piring.

Semua barang serba tumpang tindih, hingga kursi-kursi pun terlihat tengkurap mendekati langit-langit ruangan. Barang-barang pindahan juga menutupi lubang-lubang lampu yang belum terpasang listrik.

Aku tak lagi bisa membedakan, apakah barang itu berasal dari kamar, gudang, dapur atau ruang tamu. Ruang yang baru dicat putih itu pun, mendadak sumpek seperti barak pengungsi.

Wajar, tempat itu terlalu kecil untuk menampung barang dari tiga truk berukuran sedang, dan sekaligus berbagi sekat dengan material pertukangan yang membutuhkan tempat tidak sedikit.

Sore itu, aku mematung di depan tumpukan barang. Nanar mataku menatap. Aku merasa lebih iba pada diriku sendiri. Berapa banyak lagi tenaga yang kubutuhkan nanti untuk mengevakuasi dan membersihkan barang-barang yang kini kembali bermandi debu kapur?

Dan yang paling menyedihkan, makanan-makanan beku yang seharusnya langsung masuk kulkas frozen, menjadi cair. Tanggal 14 Oktober 2020, listrik ternyata belum terhubung di ruangan.

Petang itu, aku meninggalkan rumah petak dengan hati resah. Apa yang sudah terjadi tak akan bisa kukoreksi. Bergegas, aku kembali ke istana mini. Waktuku tinggal enam hari di sana. Dan hari-hari itu begitu cepat berlalu.

Serah-Terima Istana Mini

Survei 17 Oktober 2020 berlangsung sukses. Sang Pendatang Baru puas dengan kondisi istana mini. Tanpa banyak syarat, transaksi dipastikan berlangsung minggu depan.

Hari yang ditunggu pun tiba. Pendatang Baru hadir lebih awal bersama pujaan hatinya. Mereka kembali mengelilingi istana mini. Kukatakan kepadanya, semua kunci telah tercantel di tiap pintu, berikut duplikatnya.

Lalu, kuserahkan pula remote control gerbang dan kunci sekuritas keamanan yang sudah bertahun-tahun menjadi aksesoris di tasku.

Pukul tiga sore, sang notaris menelpon bahwa beliau terjebak macet dan akan tiba dalam waktu lima belas menit.

Detik-detik bersejarah Serah-Terima Istana Mini datang juga. Sang notaris muda cantik bernama Frédérique Herard, turun dari mobil. Wanita energik ini melangkah anggun. Bunyi sepatu hak tingginya terdengar tegas mengetuk lantai istana mini.

Berkedudukan di ruang tempat aku biasa menjamu sarapan para tamu, aku melirik setumpuk kertas digenggaman sang notaris. Dugaanku, kertas-kertas itu berisi dokumentasi yang akan segera ditandatangani oleh kedua belah pihak. Aku pun duduk manis dua meter dari meja transaksi sebagai saksi.

Sang notaris menyeret kursi dan memulai tugasnya. Suara pembacaan akte notulen dengan tutupan masker agak sulit tertangkap olehku. Namun kulihat pihak pembeli dan penjual pun santai saja memberi paraf dan tanpa kompromi membubuhkan tanda tangan di kertas-kertas yang ditunjuk sang notaris.

Sesaat setelah formalitas di depan notaris usai, seperti perjanjian verbal yang terucap sebelum akuisisi, tertanggal 23 Oktober 2020, istana mini resmi berganti nama properti. Serah terima berlangsung cepat, tanpa pertanyaan, tanpa kendala.

Hari itu juga, si Pendatang Baru menempati istana mini. Tempatnya sudah bersih, dengan seluruh fasilitas yang berfungsi. Lengkap dengan reservasi penginapan bulan November yang datang bertubi-tubi. Tak lupa, kutaruh seikat kembang segar, sebagai ucapan selamat datang!

Bienvenue, Madame, Monsieur!

Aku pun tersedu-sedu. Sehingga Pendatang Baru menjadi sibuk menghiburku. Beliau tidak tahu, linang itu, lebih perih dari sekadar urusan berpisah. Ditambah lagi, setelah hengkang dari istana mini, aku masih belum ada kepastian, kapan bisa menempati rumah petak!

Akhirnya, aku melangkah keluar juga. Kulambaikan tangan pada pepohonan dan mawar yang sedang berbunga. Sampai pula saat aku keluar dari pintu gerbang utama. Kali ini, aku tidak lagi memiliki kunci untuk menutupnya.

Selamat tinggal penginapan yang penuh cerita!

Suaka di Hotel Campanile

Perombakan rumah petak terlihat maraton di awal dan berubah slow motion ketika hampir mendekati garis final. Sekarang, aku berhenti percaya kepada acara realita di televisi yang mampu membangun atau merenovasi rumah dalam beberapa hari.

Ya, mengkhayal itu indah. Begitu kenyataannya tiba, bersiaplah menghadapinya!

Bagaimana pun, aku bahagia bisa menjadi bagian dari timses yang menempati janji, menyerahkan istana mini tepat waktu. Dan aku perlu belajar cara memahami janji, terutama hal itu juga menyangkut pihak ketiga.

Kesabaranku semakin diuji, karena terhitung tanggal 30 Oktober 2020, Prancis menerapkan masa karantina jilid dua selama satu bulan.

Saat ini, aku masih tinggal di Hotel Campanile, berikut barang-barang terakhir yang belum terangkut sejak tanggal 20 Oktober 2020 lalu.

Semula, kubayangkan bisa mengosongkan pikiran di hotel. Ternyata, malah sebaliknya. Hotel ini sungguh berbeda dengan penginapan yang pernah aku kelola. Sekarang, aku lebih paham, mengapa orang-orang lebih memilih tinggal di tempat kami, daripada hotel.

Secara global, di hari terakhir bulan Oktober, kamar di rumah petak sudah selesai. Namun, kendala belum berakhir. Saat ini musim gugur, dan pemanas ruangan belum terpasang di rumah petak. Hingga saat ini, letak barang-barang pindahan di rumah petak kondisinya masih seperti tanggal 14 Oktober 2020.

Kesimpulan, pindah rumah, bisa membuat hati merana. Terutama bila waktunya mepet, berlangsung di masa pandemi Corona, dan pembangunan rumah barumu melibatkan banyak pihak yang masing-masing punya alasan serta kepentingan.

Semoga pengalamanku menjadi bahan refleksi bagi kalian yang kebetulan membaca cerita ini.

Yuk, bagikan tulisan ini di...

2 thoughts on “Pindah dari Istana Jelita ke Rumah Jelata – Part V”

Leave a Comment