Pindah dari Istana Jelita ke Rumah Jelata – Part III

Pindah dari Istana Jelita ke Rumah Jelata - Part III

Sepulang dari menengok rumah petak, aku bergegas kembali ke istana mini. Seluas mata memandang, setiap sudut istana mini ini sudah dijajah barang yang akan dipindahkan atau dihibahkan.

Saat bekerja, ada saja hal-hal tak terduga yang membuatku teringat slogan yang terletak di balik map itu, bahwa aku melakukan pekerjaan ini karena kewajiban, bukan profesi.

Efek-efek pertama dari peralihan rumah mulai terasa. Internet mati. Lemari sudah kukosongkan. Otomatis baju harian yang kukenakan menjadi itu-itu saja, alias cuci-kering-kenakan lagi, supaya praktis.

Di tengah kelelahan, aku sempat memecahkan botol. Bertambahlah pekerjaan yang seharusnya sudah banyak. Tetapi tak ada waktu bagiku untuk membaca primbon, apakah ada maksud tertentu dari kejadian pecah botol.

Apakah ada rezeki nomplok semacam seorang pangeran ganteng dari negeri seberang yang datang dengan sekarung berlian, lalu memaksa-maksa supaya aku menerima harta itu sebagai ganti botol pecah atau sejenisnya, yang kalau tidak salah, bahasa Jawanya impossible.

Tetapi yang datang dengan tergesa-gesa setiap kali pintu terbuka justru tagihan-tagihan berlapis dan biaya operasional harian yang terus meningkat.

Bunyi suara petir dan air yang menampar tembok-tembok rumah begitu jelas, memasuki gendang kedua telingaku. Sejak awal Oktober, langit Arles memang seperti sedang bocor.

Le Clos de L'Isle diguyur hujan

Saat hendak membongkar bagian perpustakaan mini, aku menjadi sentimental. Rasanya berat berpisah. Meski aksara-aksara di dalamnya belum mampu kucerna. Tetapi aku terlanjur jatuh cinta dengan fisiknya.

Perpustakaan mini di ruang keluarga

Di ruang keluarga ini, di satu waktu dalam pengembaraanku, buku-buku ini pernah kubebaskan dari debu. Dan aku berharap dengan sendu, bahwa suatu hari aku mampu membedah ilmu yang tercetak di situ, serta membuat esensinya dengan kata-kataku sendiri.

Di setiap pagi, setelah urusan dapur dan hal-hal lain yang bukan main banyaknya selesai kukerjakan, aku memulai pekerjaan jilid dua. Di dalam ruangan, kegiatan memilih dan memindahkan barang terus berlangsung. Bagiku, kegiatan mengemas barang menjadi acara harian yang semakin mendesak.

View this post on Instagram

A post shared by Fransisca Ripert (@fransiscaripert) on

Hiburan paling menyenangkan adalah menyalakan kembali momen-momen kenangan yang pernah kulewatkan bersama teman-temanku. Tawa lepas mereka serasa masih mengudara di rumah ini.

Dulu, ketika lelah bekerja, aku dapat serta-merta berendam di air wangi bersuhu tetap 35 derajat. Dengan semprotan pijat air yang bisa diatur, dijamin dalam setengah jam, aku dapat rileks kembali. Namun, acara mandi spa kini tinggallah cerita. Airnya sudah lama kami keringkan.

Jakuzi untuk menenangkan diri itu kini telah kukeringkan airnya

Mandiku sekarang begitu biasa, tidak istimewa, bahkan seringnya dilakukan dengan tergesa. Saat menguyur air di sekujur badan, baru kusadari, ada luka goresan yang terasa perih. Benturan-benturan dengan tumpukan barang membuat kulit tipis ini membiru di beberapa bagian.

Aku mengeringkan bagian terlukan itu dengan hati-hati. Sekecil apapun luka atau lebam akibat benturan akan kukenang sebagai tanda perpisahan dari istana mini ini.

Ya, perpisahan! Akhirnya, dengan berat hati aku harus mengucapkan adieu. Sebelum batas akhir meninggalkan istana mini, aku menyempatkan diri mengitari setiap sudut dan ruang, sekadar untuk bernostalgia.

Aku juga ingin mengucapkan terima kasih secara personal, sekaligus berpamitan kepada tempat-tempat bisu yang telah menjadi sahabat karibku semenjak pandemi Corona ini.

Lara, gundah, sendu, pilu, rindu, bercampur aduk menjadi satu. Bagaimana tidak, enam belas tahun aku tinggal di sini. Selama itu pula, tempat ini belum pernah sepi dari tamu. Memang, tempat ini sudah ramai, bahkan jauh sebelum kehadiranku.

Hingga Pemerintah Prancis mengarantina warganya dan memberiku kesempatan berleha-leha sepuasnya. Saat itu, aku sungguh terlena, merasakan bagaimana nikmatnya seandainya memiliki rumah seperti ini.

Aku begitu bahagia bisa mengitari kebun dengan santai, atau bercumbu dengan pepohonan yang baru terbangun dari hibernasi dan menikmati mekar bunga musim semi yang indah. Juga menikmati hari-hari manis, bisa terbangun tanpa bunyi alarm.

Aku pun tidak perlu terburu-buru menghitung detik-detik yang harus kukejar setelah terlalu asyik berdiskusi dengan tamu-tamu penginapan.

Puji Tuhan, penantian telah mendapat tambatan. Segala sesuatu pasti ada waktunya. Begitulah Tuhan menjawab setiap doa. Rumah ini telah menemukan pujaan hati baru.

Selamat tinggal, Le Clos de L’Isle! Enam belas tahun bersamamu bagai mimpi kemarin senja. Maafkan segala keterbatasanku dalam mengurusmu.

Bagaimanapun, aku tak dapat melupakanmu begitu saja. Aku telah jatuh cinta kepadamu ketika datang, dan aku masih sangat mencintaimu ketika berpamitan. Tetaplah menjadi rumah yang hangat dan ramah. Berilah kebahagiaan maksimal bagi penghuni baru yang telah bersedia melamarmu.

Semoga suatu hari, aku bisa datang sebagai tamu, atau membawa tamu, dan melepas rindu kepadamu.

Bon continuation, ma maison adorée. Je t’aime pour toujours. Adieu!

Yuk, bagikan tulisan ini di...

2 thoughts on “Pindah dari Istana Jelita ke Rumah Jelata – Part III”

  1. Wahhh, itu tas2 kanvas kotak2nya… Sama’an Luar biasa lelahnya pindahan.

    Botol pecah tanda kamu akan mulai bebas dari timbunan rutinas. Kamu kan selama ini utuh kaya bentuk botol ga gerak

    Stay solid and courageous…

    Reply

Leave a Comment