Pindah dari Istana Jelita ke Rumah Jelata – Part I

Pindah dari Istana Jelita ke Rumah Jelata - Part I

Seorang sahabat kolaborasi memintaku menulis tentang rumah baruku yang belum beratap. Tidak masalah. Namun, apa yang akan kutulis? Pikir punya pikir, kalau tidak ada atap, air langsung mengguyur ketika hujan, angin mengirim debu, untuk berteduh dari terik pun minimal harus membawa payung atau tenda.

Tanpa maksud mengejek, kukira, siapa yang betah berlama-lama berada di suatu lokasi yang isinya masih kosong-melompong? Jadi, apa menariknya rumah itu?

Ah! Setidaknya, begitulah kegundahan hatiku.

Istana Jelita yang Hendak Kutinggalkan

Istana Jelita yang Hendak Kutinggalkan

Memang, aku termasuk beruntung dalam banyak hal. Selain memiliki sahabat dan keluarga yang penuh pengertian, aku juga mendapat satu rekan baru yang begitu andal, fleksibel, serta profesional diajak bekerja sama. Thanks God.

Halaman depan Le Clos de l'Isle

Dan kalian pasti akan lebih setuju tentang keberuntunganku bila kuceritakan soal rumah yang sudah kuhuni selama 16 tahun ini.

Area parkir Le Clos de l'Isle

Terus terang, tempat ini cukup luas. Aku bahkan tidak tahu tetanggaku siapa. Pohon-pohon rindang di sekeliling seolah-olah mengatakan, aku tinggal di dekat hutan. Jauh dari polusi. Tetapi deru pelan kendaraan yang sebentar-sebentar melintas, mengingatkan bahwa aku juga tak jauh dari peradaban.

Halaman samping

Di balik suara berisik itu, sebenarnya rumah ini lebih banyak diisi kicau satwa dan bisikan angin. Akan tetapi, seluruh suara itu menjadi senyap begitu aku berada di dalam rumah, yang tebal temboknya kufoto sebagai kenangan.

Dinding yang tebal sekali

Partisi ruangan sepenuhnya terbuat dari batu, tebalnya 50-70 sentimeter. Sehingga, meskipun di luar panasnya mencapai 40 derajat, hawa tetap nyaman di dalam rumah.

Di ruang keluarga, buku-buku bermutu berjajar. Perpustakaan mini ini telah banyak menutrisi otakku, supaya rajin mencerna pengetahuan. Terutama cerita tentang peradaban Romawi kuno di Kota Arles.

Ruang baca alias perpustakaan mini

Tak terhitung musim yang kulewati. Setiap tahun, ada saja buah-buahan segar yang kadang dibiarkan matang, bahkan berjatuhan, karena terlambat memanennya.

Halaman samping

Juga bunga-bunga cantik tempat aku bersenda-gurau dan mencari ilham. Bunga-bunga di pekarangan mekar dengan indah, menemaniku melampiaskan euforia maupun gundah gulana.

Tak ketinggalan, tanaman aromatik yang kupangkas tanpa pikir panjang. Lantas berfoya-foya tanpa peduli di luar harganya berapa, untuk kujadikan infusi, supaya staminaku bangkit kembali. Semua kudapatkan sejengkal dari ujung mataku.

Pekarangan yang luas, berjalan-jalan di sini pun aku ngos-ngosan

Pohon ara, almond, cerise, aprikot, olive, sayur-mayur semacam tomat, timun tukini, paprika, cabe, terong, serai, kemangi, daun bawang, persil, romarin, origan, mint, verveine, dan lemon tumbuh subur di kebun. Semua pernah menjadi hidangan siap saji di meja makan properti berhipotek abad ke-18, seperti tahun yang terukir di dinding ini.

Ukiran di dinding

Tak terhitung pula tamu-tamu yang kulayani dengan senyum manis dan kadang berlinang airmata. Juga pesta-pesta, dari skala kecil hingga yang spektakuler, pernah kami gelar di sini.

Kolam renang tempat kami biasa menggelar pesta

Untuk semua kenikmatan ini, aku tidak mengeluarkan biaya sepeser pun. Kecuali, hanya menyalurkan tenagaku, sebagai kompensasi.

Jalan kecil di pekarangan

Dan yang lebih nikmat, ketika kepalaku sudah terlalu penat. Sudut-sudut rumah ini seolah-olah berlomba menghiburku dengan cara mereka. Bisa jadi, aku melihat sesuatu yang sedang tumbuh. Lalu dengan rasa ingin tahu, aku menyimak gemerisik daunnya, sembari mengingat-ingat, bibit apa yang pernah kuletakkan di sana.

Tahun lalu, ada sesuatu yang ajaib. Aku melihat daun tanaman merambat di antara sela batu-batu kecil penghalang tumbuh rumput. Kenapa bisa di situ?

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Fransisca Ripert (@fransiscaripert) on

Sekuntum bunga kuning cantik itu bahkan dengan anggun menyapaku.

Aku begitu penasaran, hingga setiap hari kunyanyikan lagu Sabda Alam, karya almarhum Om Chrisye. Tentu saja, dengan suaraku yang cemplang, yang kalau kuteruskan akan membuat juragan berdeham-deham sembari memintaku agar lebih baik diam. Baiklah!

Dan suatu hari di awal musim gugur, aku mengambil foto ini. Saking senangnya, kuletakkan mekar bunga kamelia di situ. Itulah melon pertama dan terakhirku. Sebab, terhitung 15 Juli 2020, rumah ini telah diambil alih.

Melon mungil tumbuh di halamanku

Ketika Prancis harus lockdown lantaran wabah corona, seluruh tanaman tumbuh lebih subur. Aku merasa, itulah penghiburan yang didedikasikan rumah ini untukku. Untuk seluruh waktu yang kuhabiskan demi menjadikannya bagai sebuah istana.

Pohon palm menghias salah satu sudut taman

Aku harus mengakui umur terbaik dalam hidupku kuhabiskan di tempat ini. Terima kasih, www.leclosdelisle.com!

Tetapi, sebentar….

Bangunan yang eksotik, bukan?

Diminta bercerita mengenai rumah baru yang berukuran sepetak tanpa pekarangan, belum ada atap, penuh ingar-bingar bising kendaraan, serta tak jauh dari sekolah, kenapa aku malah bernostalgia dengan rumah lama?

Ruang makan Le Clos de l'isle

Ya, itulah ironi kehidupan. Kita baru benar-benar terasa kehilangan setelah semuanya telah menjadi kenangan. Bagaimanapun, dengan deskripsi yang kujabarkan tentang istana yang jelita ini, kata seorang sahabatku, “Memang siapa pula yang rela pindah dari penginapan seperti itu?” Menurut beliau yang dari Jawa Timur, ini bahasa ‘Prancisnya’: eman-eman!

Proses Kepindahan yang Panjaaaaang

Proses Kepindahan yang Panjang

Ternyata, begitu rumit urusan pindah rumah. Tak heran, kura-kura, siput, atau keong, merasa perlu selalu membawa serta rumah mereka ke mana-mana.

Mereka yang memiliki rumah kecil kemudian pindah ke rumah lebih besar akan mengalami kelegaan. Sementara aku yang selama 16 tahun tinggal di penginapan yang luas, tiba-tiba harus pindah ke rumah petak, tentu akan mengalami perjuangan.

Rumah luas dengan taman indah ini akan segera kutinggalkan

Aku sudah menyiapkan karton, kantong besar, keranjang jumbo, lakban, gunting, pisau, spidol, serta kertas koran. Kemudian, sebelum dimasukan ke kantong atau karton, aku juga sudah menyiapkan tenaga cadangan untuk membersihkan benda-benda yang akan kupindahkan.

Tempo tiga bulan yang diberikan oleh pemilik baru istana ini berlalu lebih cepat dari dugaanku. Perjuanganku menjadi semakin menggelisahkan karena rumah yang akan kutinggali dalam tiga minggu ke depan, ternyata belum siap.

Penginapan yang selama ini menjadi istanaku

Di sela-sela triple jobs yang membuat kerut di wajahku bertambah, aku tetap harus beradaptasi dengan tamu-tamu penginapan dan tamu-tamu tak terduga, yang masih datang silih berganti. Capek, deh!

Sedang aku termasuk tipe manusia multitasking. Pantang bagiku berpangku tangan atau duduk santai berjam-jam, sementara pekerjaan masih begitu bejibun. Hidup memang sebuah ironi. Peraturan selalu tidak pasti.

Kamar untuk tamu

Penginapan masih berjalan seperti biasa. Tamu-tamu tetap harus ditemani. Jadilah aku yang seharusnya fokus berbenah, malah pergi menonton konser Chico et Les Gypsies dan berlanjut pertunjukan musik lainnya di Minggu yang cerah.

Aku jadi merutuki diriku yang tidak efisien. Antara bolak-balik istana mini dan rumah petak yang baru hendak disiram semen itu dan tuntutan berbagai tugas, perasaanku semakin galau. Untuk mengusir rasa jenuh, aku jadi ingat utang tulisan untuk blog ini. Jadi, tulisan ini beralas konser-konser live.

Sebenarnya, untuk urusan kepindahan ini, teman-temanku siap membantu. Tetapi aku punya pertimbangan tersendiri, lantaran kasus pandemi. Di masa-masa ini, setiap orang menjadi paranoid, antara cemas dan rindu ingin berkumpul. Aku memilih yang pertama. Bagiku, kesehatan teman-temanku lebih utama. Apalagi saat ini, angka warga Prancis yang positif corona melonjak lagi.

Barang-barang menumpuk, semacam penampungan

Aku kembali menandai barang-barang yang akan dipindahkan. Setiap sudut istana kecil ini telah menjadi barak penampungan.

Sudah lima hari, waktu tidurku terkorting sana-sini. Aku terlalu letih malam ini, padahal masih banyak yang ingin kutulis tentang kegiatan boyongan ini.

Namun, sudahlah. To be continued saja. Biar tulisan ini kubuat berseri. Sebab, sekarang aku benar-benar ingin pamit tidur dan pergi bermimpi.

Tetapi sebelumnya, aku ingin mengucap syukur serta terima kasih kepada Sang Pencipta atas segala hal baik yang mengalir untukku. Sehingga, aku masih kuat hingga detik ini. Misteri kehidupan ini kupikir terlampau rumit. Aku hanya perlu menikmatinya, dengan terus berupaya supaya semua menjadi indah pada waktunya.

Yuk, bagikan tulisan ini di...

4 thoughts on “Pindah dari Istana Jelita ke Rumah Jelata – Part I”

  1. No regret, the smaller the better… Less tasks to be done 🙂

    All the beautiful memories happened at le Clos eternally stays in every souls

    Gue juga ga sabar pindah, bebas dari bersih2 the giant house in the prairie

    Happy moving!

    Reply

Leave a Comment