Hari Jumat, tanggal 8 Januari 2021, aku mendapat telepon dari prefektur Arles. Petugas itu mengatakan bahwa carte séjour atau KTP-ku sudah jadi. Horeeee! Aku sudah memohon perpanjangannya sejak 28 Juli 2020, karena masa berlaku kartu kependudukan sepuluh tahunan itu tertera 20 Agustus 2020.
Pada masa lima tahun pertama di Prancis, setiap tahun, aku berpengalaman antre di prefektur dari pagi buta hingga perlu mengambil cuti ekstra. Aku pernah juga kehilangan seluruh dokumen karena tas tanganku hilang, gara-gara si mantan alias Istana Mini kemalingan. Itu adalah tahun-tahun yang penuh perjuangan.
Di dua tahun pertama, meskipun sudah datang demikian awal, aku tetap kalah cepat dengan pendatang yang sudah mengambil nomor untuk teman-temannya. Sehingga, jarak tunggu itu demikian lama. Sangat lama dan membosankan! Aku tak dapat protes, mengingat penguasaan bahasa Prancisku saat itu belum sampai taraf setengah matang, bahkan seperempat matang pun belum!
Ketika la carte sejour memasuki sepuluh tahun kedua, sebenarnya aku harus mengajukan permohonan perpanjangan enam bulan sebelumnya. Namun, di masa pandemi ini, pihak prefektur mengubah kebijakan. Hal itu menguntungkan aku yang kapok antre.
Menurutku, aku adalah pribadi yang cukup teliti untuk urusan administrasi. Hampir dua jam kubutuhkan untuk mencari, mengurutkan, serta mencetak seluruh syarat yang tertulis di internet.
Aku tak lalai melampirkan apapun yang diminta, seperti pasfoto, attestation de formation civique, attestation session d’information sur la vie en France, diplome initial de langue française, KTP lama, fotocopi Kartu Keluarga, fotokopi seluruh halaman paspor, bukti tagihan listrik, telepon, air, amplop berprangko tiga ukuran, serta biaya fiskal. Dan semua dokumen itu tidak boleh di staples, apalagi terlipat. Pokoknya harus rapi jali dan memakai tinta biru.
Aku sebenarnya sudah datang mengantar berkas itu ke prefektur Arles, tetapi petugas di depanku langsung menolak dan menyuruhku mengirim melalui pos dengan surat tercatat. Padahal, tukang pos pun akan mengirim dokumen ke tempat yang kudatangi ini.
Setelah tiga bulan sejak pengajuan, aku dipanggil untuk menerima recepisse yang berlaku enam bulan. Petugas mengatakan aku akan dipanggil untuk menerima kartu baru.
ISI ARTIKEL
14 Januari 2021
Sekitar pukul 8.15, aku sudah berada di depan pintu kantor prefektur Arles. Aku mengira, setelah mendapat telepon, aku akan dipanggil sesuai waktu yang diberikan. Ternyata, banyak juga yang mendapat panggilan datang pukul 8.30.
Pintu prefektur buka pukul 8.20. Dua petugas, lelaki dan perempuan, segera memanggil pendatang yang mendapat rendez-vous pukul 8.30. Aku bergegas menampakkan diri. Setelah mencocokan nama, aku disuruh berbaris dan mendapat antrean nomor dua.
Selanjutnya, petugas ketiga memberiku cairan sanitasi dan mencocokkan namaku sekali lagi serta mencetakkan nomor antrean. Aku mendapat nomor 301. Tertera satu orang di depanku. Lalu, aku dipersilahkan menunggu.
Tak sampai lima menit, nomor panggilanku tertera di layar. Aku mendatangi loket B. Madame yang melihatku masuk segera berkata. “Disini, Madame!”
Aku pun duduk dan mengucapkan “Bonne Anne, Meilleur Voeux” kepada perempuan itu.
Si madame memintaku memperlihatkan nomor antrean, paspor asli, recepisse de demande de carte de sejour, dan biaya fiskal.
“Biayanya 255 euro, s’il vous plaît.”
“Sudah saya lampirkan, Madame.”
“Oh iya. Tapi ini kelebihan bayar, Madame,” jawabnya.
“Tapi Madame, saya mengikuti ketentuan yang ada di situs web. Tertulis biayanya 269 euro dan sudah saya bayar, terhitung tanggal permohonan.”
“Tapi biayanya hanya sebesar 255 Euro!”
“Tidak apalah, Madame. Saya ikhlas, daripada harus bolak-balik.”
“Oh, tidak bisa begitu, Madame!”
“Jadi, bagaimana?”
“Silakan Anda datang ke Centre des Finances Publiques untuk menukar nilai ini,” instruksi si petugas.
“Tapi, apakah saya akan mendapat kartu saya hari ini?”
“Oke. Bisa saya tunggu. Silakan membayar biaya fiskal yang benar,” si madame tanpak agak risih mengucapkan itu.
“Bagaimana caranya langsung menemui Anda?” cecarku, sambil membayangkan harus antre dari awal lagi.
“Beri tahu saja petugas di depan. Nanti Anda tidak perlu antre lagi.”
“Baiklah kalau begitu, saya akan kembali secepatnya,” janjiku. Ah, ribet! Ribet! Ribet! Sepagi ini, aku harus berolah-raga maraton.
Kantor Keuangan Publik
Untungnya, kantor Centre des Finances Publiques yang kudatangi cukup sepi. Ketika kusampaikan maksud kedatanganku, petugas penerima berkata bahwa mereka tidak lagi menjual timbre fiscal. Namun, katanya lagi, “Untuk lebih jelasnya, silakan tanya ke petugas loket. Ini nomor antreannya.”
Kulirik bagian loket, terlihat seorang wanita muda sedang berargumentasi seru sekali dengan petugas di balik loket. Kutunggu hampir 10 menit.
Di waktu-waktu mepet begini, menunggu menjadi sangat mengesalkan. Untuk mengalihkan rasa resahku, aku mulai menulis. Dan benar saja, begitu pengantre yang banyak keluhan di depanku meninggalkan angin di sampingku, aku merasa waktu terlalu cepat, karena aku baru menulis dua paragraf.
Aku jadi ingat teori Einstein tentang Hukum Relativitas. Bahwa perbandingan waktu antara menunggu hal yang membosankan dan menyenangkan setara dengan duduk bersama si pujaan hati selama satu jam dan duduk di atas kompor panas selama satu menit.
Namun, petugas loket di Finance Publique pun tidak dapat melayani permintaanku. Sudah kuduga. Aku bertanya lagi, misalnya aku membeli fiskal itu di internet lewat ponsel, “Apakah Madame boleh tolong mencetakkan buktinya? Maksudnya, supaya saya bisa langsung kembali ke kantor prefektur?”
“Tidak bisa!” jawabnya tegas.
Apa boleh buat. Kuucapkan terima kasih dan segera pulang untuk mengejar jam tutup prefektur.
Sesampainya di Vila Cantik Bernomor Urut 5. Segera kubeli fiskal dan kucetak buktinya, sekaligus meminta penggantian biaya fiskal yang salah.
Lalu, cepat-cepat aku kembali ke kantor prefektur.
Kantor Prefektur Lagi
Antrean masih mengular. Aku sengaja berdiri di tengah-tengah pintu, agar petugas yang menerimaku tadi pagi mengenaliku.
Gayung bersambut, aku di suruh masuk, tetap dengan prosedur steril tangan. Kulihat para pengantre saling pandang. Aku merasa seperti orang tenar. Tidak sampai lima menit, si kartu sakti pujaan hati sudah kuterima.
Namun, persoalanku belum tuntas di sini. “Madame, saya baru pindah rumah. Apakah saya dapat sekalian mengajukan perubahan alamat?” tanyaku.
“Statusnya sama?”
“Ya, tidak ada perubahan apapun, kecuali alamat!”
“Maaf, Anda harus mengajukan perubahan itu lewat internet,” terangnya. “Tapi jangan khawatir, kartu sejour Anda sudah berlaku hingga 10 tahun.”
“Apakah akan lama prosesnya, Madame?” tanyaku lagi, harap-harap cemas.
“Kurang-lebih dua bulan, sejak tanggal pengajuan.”
“Baiklah, kalau begitu. Terima kasih. Semoga hari Anda menyenangkan.”
Aaaah… untuk masalah kependudukan, pelayanan publik di Prancis memang ribet. Petugas sepertinya hanya bekerja dengan kacamata kuda.
Mengurus Perubahan Alamat
Kupikir, nanti di internet, aku hanya perlu mengetik nomor kependudukan, mencantumkan perubahan alamat, kemudian menunggu panggilan dari prefektur.
Oh, oh, oh, seandainya hanya sesederhana itu, betapa indahnya hidup ini. Faktanya, aku harus mengulang proses dari awal: mengisi formulir, melampirkan pasfoto, serta bukti rekening listrik, telepon, atau air dari alamat baru yang mencantumkan namaku di sana.
Terus terang, aku telah menunda pengurusan itu tiga minggu. Karena pasfotoku terselip entah di mana. Artinya, aku harus membuat pasfoto baru. Padahal, satu-satunya studio foto yang aku tahu di Kota Arles, sedang tutup.
Benar kata pepatah Prancis, “la vie n’a pas un fleuve tranquille!” Hidup selalu bergejolak!
Namun, setelah kuperiksa seluruh lemari untuk yang kesekian kalinya, aku menemukan pasfoto itu. Aku tak lagi menunda sedetik pun. Jumat pagi, tanggal 5 February 2021, aku terburu-buru mendatangi kantor pos.
“Letter recommande avec avis de reception, s’il vous plait, Madame!” kataku, mantap.
“Oke, segera,” jawab staf itu.
Namun hingga tujuh menit menunggu, pengantre di depanku masih melemparkan tanya-jawab kepada si madame. Saat itulah, aku baru sadar ponselku tertinggal di dapur.
Aku menggerutu dalam hati, “Oiiii, cepatan dikit, napee!?”
Akhirnya, ada petugas lain yang selesai melayani pelanggan. Aku melambaikan tangan, lalu mengulangi permintaan yang sama.
Setelah mengisi dengan cermat, amplop itu sudah tercatat di kantor pos dan aku mungkin harus menunggu beberapa bulan untuk mendapatkan KTP dengan alamat baru. Semoga lebih cepat dari itu.