Operasi Mengikir Tonjolan Tulang di Kaki

Hallux valgus. Itulah nama ilmiah dari fenomena membengkoknya tulang jempol kaki. Keadaan ini membuat penderitanya sering merasa nyeri di bagian kaki ketika berjalan, berdiri terlalu lama, atau bahkan sedang tidak melakukan aktivitas apa-apa. Dan aku sedang mengalaminya.

Padahal, aku sudah mengenakan sepatu basket, tidak memakai stileto, dan selalu mengenakan dispositif Bunion Corrector silikon di kaki sepanjang waktu. Bahkan, kebiasaan ini sudah kulakukan puluhan tahun atau tepatnya sejak suamiku membelikannya 10 tahun lalu.

Mengapa Kakiku Harus Dioperasi

Mengapa Kakiku Harus Dioperasi

Belakangan, tulang di bawah jempolku makin menonjol saja. Jempol kanan-kiri itu terlihat menyamping, seperti sedang bermusuhan. Kuduga, ini akibat dari masa kecilku yang sering mengenakan sepatu kekecilan atau terlalu dini bersepatu hak tinggi supaya terlihat lebih jangkung.

Maka karena sakitnya kian mengganggu, pada 5 Januari 2023, aku berkonsultasi dengan dokter ortopedi di Kota Arles. Singkat cerita, ia memintaku melakukan pemeriksaan radiologi.

Kemudian pada konsultasi kedua, 12 Januari 2023, dokter ahli tulang itu menyarankanku menjalani operasi. Jadwalnya 6 Maret 2023. Namun, pada 22 Februari 2023, aku harus bertemu dokter anestesi dahulu untuk menentukan jenis anestesi atau pembiusan yang tepat.

Praoperasi Kaki

Tongkat jalan, sebagai persiapan praoperasi Kaki

Makin dekat dengan Hari H operasi, aku makin deg-degan. Aku belum memutuskan nanti meminta dokter membius total atau lokal kaki saja.

Namun, terus terang, agak ngeri juga membayangkan aku (pasti akan) mencuri-curi lihat kakiku saat sedang dibedah, dikikir, dan diobok-obok dengan alat-alat kedokteran. Barangkali juga harus menyaksikan pemandangan darah yang muncrat ke sana-kemari. Iiiih, sereeem!

Jadi, aku mantap memilih bius total saja. Meskipun pascaoperasi, dampak dari bius yang menghilangkan kesadaran ini tentu lebih sistemik berpengaruh ke seluruh tubuh. Entah apa tepatnya efek samping itu ke depannya. Yang jelas, aku tidak mau larut dalam pemikiran negatif.

Jadi, maju perut pantat mundur… eh, maju terus pantang mundur!

Untuk mengalihkan otakku dari bayang-bayang rasa cemas, aku jalankan saja rencana-rencana yang sudah tersusun di kepalaku, antara lain:

  • Latihan memakai kursi roda
  • Latihan berjalan menggunakan tongkat
  • Membersihkan rumah
  • Mengganti seprai
  • Membuat jus dan sup sayur untuk jatah tiga hari
  • Pergi ke pasar untuk berpamitan dengan para pedagang

Pada masa-masa itu, aku juga menerima banyak dukungan dari sahabat-sahabatku. Salah satunya Mbak Tuti yang juga pernah dioperasi. Beliau memberiku tips-tips berguna.

Sebelumnya, Darling Dyah, Uni Putri, Jeng Esti dan Mbak Jane beserta suami, juga berkenan datang ke Arles, memberi kejutan ulang tahun untukku. Tak lupa dengan berbagai titipan dari teman-teman dengan semua restu terbaik mereka. Maaf, ya, Teman-teman, aku belum merangkum hari kejutan itu.

Selanjutnya, aku berusaha menghibur diri dengan membuat konten-konten edukatif yang (menurutku) lucu di kanal YouTube-ku. Kalau kalian belum tahu balada Miss Word dan Bang Ravi, silakan mampir, ya, ke Kanal Fransisca Ripert dan berikan dukungan.

Tibalah Hari H yang Mendebarkan Itu

Hari H operasi kaki yang mendebarkan

Tanggal 6 Maret, pukul 6.30, aku berangkat ke Rumah Sakit Jean Imbert, Arles. Sonia berbaik hati mengantarku. Operasinya sendiri pukul 8.15 pagi.

Di rumah sakit, setelah melalui beberapa prosedur, seperti menyerahkan berkas surat dari dokter, kartu kesehatan dan tes PCR dari labolatorium, aku langsung diantar ke kamar khusus pasien yang tidak dirawat inap.

Pukul 7.45 aku sudah dibawa ke sebuah bangsal. Di sana, aku ditangani oleh dokter anestesi yang menurutku agak gagap dengan alat-alat kedokteran modern. Beliau memang terlihat sudah uzur.

Aku merasa waktu berjalan lamban. Misalnya, untuk mencari lokasi penyuntikan obat, dokter anestesi mengeser-geser kursor di depan monitor pemindai. Setelah mencari sekian lama, tiga dosis suntikan pun berpindah di bagian betis dan tumitku. Kakiku pun perlahan kebas.

Sementara itu, perawat lainnya memasang jarum di tanganku untuk keperluan infus, serta menempelkan kabel-kabel dengan alat pemantau jantung.

Brankarku kemudian didorong ke ruang operasi. Aku mulai merasa kedinginan. Mungkin karena aku sudah berpuasa sejak pukul 8 malam di hari sebelumnya. Setelah menayakan nama dan alamat lengkapku, aku dipindahkan ke meja operasi berpenghangat.

Para perawat mulai memasang masker di hidungku dan mulai mengoleskan cairan betadine di kakiku. Detik-detik berikutnya, aku tidak ingat apa-apa lagi.

Siuman dari Biusan

Kondisi kaki setelah siuman dari biusan

Sayup-sayup, kudengar namaku dipanggil. Kesadaranku perlahan memulih. Ada di mana aku? Sudah selesaikah operasinya?

Aku melirik ke jam dinding. Hari sudah menunjukkan pukul 11. Setelah mendapat jawaban dari perawat, aku tahu, aku telah siuman dari tidur nyenyak selama tiga jam.

Mereka lalu memindahkanku ke kamar pemulihan. Di sana, aku dibawakan teh panas dan kue madelaine. Namun, aku telah membuat sari buah apel dan membawa air minum sendiri. Aku begitu senang diizinkan makan. Dengan lahap, kuhabiskan semua bekal.

Setelah mengirim pesan ke suamiku, aku mulai tertidur. Kali ini, bukan pengaruh bius. Rasanya pun tidak lama. Tahu-tahu, aku terbangun oleh rasa sakit di kakiku.

Aduh! Obat biusnya habis? Bagaimana ini? Spontan, kupencet bel dan kuceritakan kekhawatiranku kepada perawat yang bertugas. Perawat itu kembali dengan sebutir obat penahan sakit. Meskipun, rasa sakit itu tidak kunjung mereda.

Pukul 4 sore, dokter yang tadi mengoperasiku mengunjungiku. Ketika ia menyentuh kakiku, aku menjerit. Dokter lalu menyarankan aku kembali masuk ke ruang operasi untuk anestesi tambahan di bagian kaki. Aku pun kembali bertemu dengan dokter anestesi tadi pagi.

Jam menunjukkan pukul 17 ketika rumah sakit itu kutinggalkan. Sonia menjemputku. Beliau juga membawakan tongkatku. Berkat suntikan tambahan dan sepatu ajaib yang dipakaikan di meja operasai, aku bisa berjalan menuju area parkir tanpa rasa sakit.

Dalam perjalanan pulang, kami mampir ke farmasi. Jalanan yang begitu macet membuat kami baru tiba di rumah pukul 18.30. Suamiku meminjamkan kursi rodanya. Aku pun duduk manis, sementara beliau mendorongku ke meja makan.

Kehidupan Pascaoperasi

Kehidupan Pascaoperasi

H+1 Operasi

Suamiku yang juga tidak begitu sehat membantu menghangatkan makanan yang aku masak sendiri. Setelah bercerita sebentar, aku meminum antalgik, parasetamol, dan magnesium (Ketoprofene 100 mg, Doliprane 1000, Inexium 20 mg).

Kemudian, aku beristirahat di kamar. Di ranjang, aku menempatkan kaki ke posisi yang lebih tinggi. Tak lama kemudian, aku tertidur pulas.

Aku terbangun tengah malam, dengan sakit tak tertahankan. Sesuai nasihat dokter, bila tidak mampu lagi menahan nyeri, aku boleh mengonsumsi obat penahan sakit tambahan, yaitu Tramadol 50.

Maka dengan tertatih-tatih dibantu tongkat, aku menuju dapur. Efek obat itu tidak bekerja seketika. Rasa sakit baru mereda pukul 4 pagi. Akhirnya, aku bisa tertidur kembali.

Meski demikian, aku harus segera bangun, karena ada perawat yang datang.

H+2 Operasi

Seperti yang sudah kuprediksi. Meskipun baru saja menjalankan operasi, aku tidak bisa ongkang-ongkang kaki (yang sedang diperban itu).

Pada hari kedua pascaoperasi, aku sudah harus masuk dapur dan berjibaku dengan alat-alat masak. Aku merasa bersalah melihat jamur dan sayur yang tadinya masih segar satu per satu menjadi layu. Karena itu, aku menyulapnya menjadi nasi goreng spesial (pakai telur!). Inilah menu paling gampang dan sesuai dengan keterbatasanku. Semua pekerjaan itu kulakukan sembari duduk di kursi kecil.

Apakah suamiku membantuku? Niat beliau memang begitu. Misalnya, membantu mengangkat piring ke dapur. Namun, baru melakukan sesuatu yang sebenarnya ringan saja beliau sudah ngos-ngosan. Sehingga, tetap akulah yang harus mengerjakan semua pekerjaan di rumah.

Begitulah aktivitasku di H+2. Karena pekerjaan rumah umumnya memang harus dilakukan setiap hari, kupikir sudah tidak begitu berbeda dengan keadaan praoperasi. Kecuali saat mandi, karena luka kaki tidak boleh terkena air sama sekali. Aku membalut kakiku dengan tiga lapis plastik.

H+3 Operasi

Aku sudah berani bersih-bersih rumah. Puji Tuhan, kondisiku sudah lebih baik di hari ketiga. Pengaruh obat penahan sakit cukup membuat tidurku menjadi nyenyak. Kaki memang terasa kesemutan, tetapi tidak berdenyut-denyut sakit lagi.

Aku tidak mengonsumsi obat penahan sakit tambahan jika tidak benar-benar sakit. Namun, tetap meminum obat pembunuh nyeri yang diresepkan selama 10 hari, termasuk vitamin C dosis tinggi.

Satu minggu kemudian, aku mendapat surat kronologi operasi dari dokter Hachem MAHJOUB. Di sana tertulis:

“Telah dilakukan koreksi bedah kaki depan kanan dengan gestur Triple, menggunakan sekrup M1 ukuran 20 mm – diameter 3 mm, sekrup 16 mm – diameter 2,2 mm, dan sekrup P1, ukuran 20 mm – diameter 2,2 mm. Tonjolan tulang kaki dikikir dengan gergaji berosilasi. Prosedur bedah osteotomi P1 untuk memperbaiki varus phalangeal sambil mempertahankan engsel lateral diikuti osteosintesis dengan sekrup. Realisasi perban elastoplas. Operasi berlangsung 40 menit dan sukses.”

Selanjutnya, karena musim semi segera tiba, aku banyak menghabiskan waktuku di kebun. Tetap berbelanja mingguan. Memasak dan berbenah setiap hari. Aku selalu menggunakan tongkat, terutama saat bepergian, supaya dapat berjalan dengan stabil di tempat yang tidak rata.

Harus kuterima, dengan adanya anggota badan yang sakit, aku telah menjadi cacat dalam banyak gerakan. Lamban dan harus berhati-hati, supaya kakiku tidak tersenggol.

30 Maret 2023: Hari Membuka Perban

Setelah tiga pekan lebih menjauhkan kaki kanan dari air, menahan rasa nyeri yang tak pernah benar-benar pergi, kadang-kadang juga tersenggol sesuatu (atau seseorang di pasar), membuatku sering menjerit-jerit sendiri, akhirnya… hore!

Perban setebal bantal itu boleh dibuka sekarang! Inilah hari pertama aku melihat sendiri bagian mana dari kakiku yang disayat pisau. Perawat yang bertugas mengumumkan hitungan jahitan. “Delapan simpul,” ujarnya.

Lalu, setelah dokter memeriksa dan memberi restu, benang yang menempel di kakiku digunting.

Jahitan tersebut dibuka dengan santai oleh sang perawat, seolah aku tidak ada di tempat. Padahal, setiap kali benang digunting, aku berteriak kesakitan. Ampun, deh!

Cukup ngeri melihat penampakan kakiku yang “baru”. Kaki yang babak belur! Namun, dokter mengatakan, itu hasil yang bagus.

Beginilah kondisi kakiku setelah perban dibuka

Dengan teknik operasi terbaru, kita tidak lagi bolak-balik mengganti perban. Perban dibuka setelah tiga minggu. Kita sudah diizinkan berjalan pascaoperasi. Tentu saja dengan menggunakan sepatu khusus dan tongkat. Sampai artikel ini ditulis, aku masih harus mengenakan sepatu khusus.

Namun, tanggal 6 April 2023, kakiku tiba-tiba terasa perih. Terlihat ada tonjolan merah. Apakah sekrupnya terlepas atau bergeser, karena aku berdiri terlalu lama setiap hari? Entahlah!

Yang kurasakan juga, kedua kakiku sama-sama sakit sekarang. Satu karena bekas operasi, satu lagi karena memang tonjolan di kaki kiri makin menyamping, mungkin karena aku berjalan dengan sepatu yang tidak seimbang.

Sedangkan jadwal konsultasi berikutnya masih tanggal 20 April 2023, pukul 9.00, sekalian untuk pemeriksaan ulang radiologi.

Dengan kondisiku saat ini, untuk bisa mengemudi, aku masih butuh 2-3 bulan lagi. Oh, tidak. Mungkin 6 bulan lagi. Sebab, setelah kaki kanan sepenuhnya pulih, aku berencana mengoperasi hallux valgus di kaki kiriku sekalian. Untungnya, tidak ada pantangan makanan pascaoperasi ini.

Sementara, itu dahulu yang dapat kubagikan terkait pengalaman mengikir tonjolan tulang kaki. Jaga kesehatan masing-masing, ya. Tidak ada umur ideal untuk sakit. Ingat, mens sana in corpore sano!

Perbedaan kondisi kaki kanan dan kiri (yang belum dioperasi)

Yuk, bagikan tulisan ini di...

2 thoughts on “Operasi Mengikir Tonjolan Tulang di Kaki”

  1. My dear Sisca,
    aku turut merasakan apa yang Sisca alami dari sebelum, sepanjang dan sesudah operasi kaki. Pertama-tama aku kasih tepuk tangan buat Sisca atas semangat dan motivasi Sisca untuk melewati masa-masa krisis selama penyembuhan yang lama. Waktu aku bertemu pertama kali dengan dokter bius, kata-katanya tak pernah kulupakan: “Rasa sakit di badan yang paling parah satu adalah bila tulang di potong”. Jadi dalam hati aku siap mental seperti Sisca. Bedanya pasca operasi kita, aku di bius lokal selama 3 hari di rumah dengan perawat yang berkunjung 2 kali sehari selama aku di bius lokal. Pada hari ke 4 lah aku boleh berpijak di lantai dengan sepatu khusus yang Sisca juga pakai. dans seterusnya… sampai pemulihan selama 2 bulan. Setelah periode ini aku kembali bekerja. Itu 8 tahun yang lalu dan sejak itu aku merasa nyaman dengan kakiku yang “baru” 🙂
    Selalu semangat Sisca dear. Ini masa-masa sulit memang… Semoga Sisca tetap kuat dan pantang mundur karena pemulihan dan kanyamanan Sisca akan datang…. Peluk sayang selalu <3

    Reply
    • Dear Mba Tuty yang baik hati,

      Apa yang ditulis mba Tuty di sini, semoga menjadi masukan berharga bagi pembaca yang kebetulan mencari infomasi operasi ini.

      Pengalaman adalah guru terbaik. Sekal ilagi, Sisca berterima kasih. Berkat petunjuk dari mba Tuty, Sisca lebih siap secara mental.

      Benar kata dokter, tindakan yang menyangkut tulang, meskipun cuma dikikir beberapa inci, itu bukan perkara sederhana; karena untuk mencapainya, ada bagian dari tubuh kita yang disayat dan apalagi dalam operasi ini, tulang dipasangkan sekrup . Untuk melewati prosesi itu, kita berhadapan dengan rasa sakit yang akan menjadi manifestasi penawarnya.

      Sisca sempat ke UGD tepat satu bulan pasca operasi ( 6 April 2023), karena kaki terasa sakit lagi; Sisca khawatir sekrupnya bergeser. Kata dokter, itu bagian dari adaptasi tubuh. Alamaaaak! Berjuta rasanya deh!

      Pepatah berkata, bersakit-sakit dahulu. bersenang-senang kemudian. Sisca masih belum memutuskan untuk operasi kaki kiri; Sementara, biarkan kaki kanan sembuh dulu dari luka,

      Sambil menunggu saat kita bertemu dan bernyanyi lagi, Sisca mengirimkan mba Tuty pelukan hangat dan bunga bunga rindu. Jauh di mata dekat di kalbu.

      Reply

Leave a Comment