Tahun lalu, Mark Zuckerberg, pendiri perusahaan Facebook (sekarang bernama Meta), mengumumkan rencananya merilis metasemesta (metaverse). Dengan platform ini, warganet dapat membangun kehidupan virtual secara daring. Termasuk berjual-beli sesuatu, baik barang maya (digital) maupun produk-produk nyata yang bisa disentuh.
Zuckerberg sebenarnya bukan yang pertama datang dengan ide ini. Dunia virtual sudah ada selama lebih dari dua dasawarsa, terutama setelah Linden Lab merilis Second Life pada 2003. Sekarang, platform multimedia itu masih memiliki 600.000 pengguna aktif setiap bulannya.
ISI ARTIKEL
Apa Itu Metasemesta
Metasemesta atau metaverse adalah ruang virtual yang dapat diciptakan dan dijelajahi dengan pengguna lain tanpa bertemu di ruang yang sama. Meskipun hanya melalui gawai virtual reality, kondisi di dalamnya dibuat semirip mungkin dengan dunia nyata.
Pengguna atau pemain hadir di metasemesta melalui avatar, perwakilan tiga dimensinya.
Alih-alih sekadar menikmati, pengguna dapat sekaligus mengalami apa yang ada dalam metasemesta tersebut. Teknologi ini memungkinkan pengguna melibatkan tiga indranya sekaligus: penglihatan, pendengaran, dan peraba. Tidak terlepas kemungkinan, indra pembau dan pengecap akan menyusul.
Bagaimanapun, metasemesta berbeda dengan multisemesta (multiverse). Metasemesta adalah semesta digital atau ruang kolektif virtual bersama yang sengaja diciptakan untuk meniru realitas fisik. Pengguna dapat mengaksesnya melalui peranti-peranti yang disediakan oleh sang kreator.
Sementara multisemesta, sebagaimana namanya, adalah kumpulan dari semesta-semesta lain yang kadang tidak saling berhubungan, tetapi kemungkinan nyata. Gagasan tentang banyaknya semesta ini sebenarnya sudah ada sejak abad 6 SM. Teori multiverse pertama kali diutarakan oleh filsuf Yunani kuno, Anaximander dari Miletus.
Sejarah Metasemesta
Aku tidak berani menjelaskan secara teknis terkait tema metaverse ini. Teman-teman pasti lebih paham soal ini. Jadi, aku yang gaptek ini hanya akan membahasnya secara umum. Atau setidaknya, dari sisi sejarahnya.
Istilah “metaverse” pertama kali muncul dalam novel fiksi ilmiah Neal Stephenson, Snow Crash (1992). Di sana, manusia sebagai avatar berinteraksi satu sama lain dalam ruang virtual tiga dimensi. Stephenson menggunakan istilah “metaverse” untuk menggambarkan realitas maya di internet.
Sebelum itu, konsep yang mirip dengan metasemesta, meskipun belum menyebut istilah tersebut secara gamblang, juga sudah ada. Seperti dalam novel True Names (1981) karya Vernor Vinge, cerpen Burning Chrome (1982) karya William Gibson, dan sebagainya.
Selama periode itu, banyak bermunculan novel, komik, film, dan gim bertema metasemesta. Ya, termasuk film The Matrix (1999) yang kondang itu!
Lalu, para kreator bukan lagi membuat karya bertema metasemesta, tetapi mulai membuat metasemesta itu sendiri. Sebelum Linden Lab dan Meta, ada beberapa perusahaan teknologi yang bereksperimen, bahkan sejak 1978. Namun, yang bisa dibilang berhasil memang Second Life tadi.
Sekadar catatan, Linden Lab merupakan perusahaan Amerika yang dibuat tahun 1999 di San Francisco oleh Philip Rosedale. Linden Lab menjadi penerbit dan pengelola dunia virtual Second Life di internet.
Setelah Second Life, pada 2017, Linden Lab meluncurkan platform baru bernama Sansar, untuk menciptakan pengalaman sosial dalam realitas virtual. Platform ini memungkinkan ruang tiga dimensi tempat pengguna membuat dan berbagi pengalaman sosial interaktif, seperti bermain gim, menonton video, dan melakukan percakapan di VR.
Setiap peserta Sansar diwakili oleh avatar terperinci yang merupakan representasi grafis dari pengguna, termasuk animasi dengan wajah atau tubuh bergerak yang disertai ucapan.
Tantangan Pengembangan Metasemesta
Apakah metasemesta besutan Meta akan lebih revolusioner dari Second Life dan Sansar? Rasanya, tidak semudah itu.
Seorang jurnalis sekaligus pengamat tren Second Life selama 20 tahun, Wagner James Au, mengatakan bahwa ia sudah melihat kesalahan Meta di masa-masa awalnya, yaitu tidak berorientasi pada komunitas.
Au melihat ratusan ribu orang di Horizon Worlds (platform realitas virtual Meta) mencoba platform itu dan pergi begitu saja. Ia menduga, itu karena komunitasnya tidak dibangun dengan baik. Alat-alatnya (creator tools) pun terbatas.
Padahal, improvisasi dari komunitas pengguna sering secara tidak terduga bisa jauh lebih menarik dari fitur-fitur perusahaan penciptanya sendiri. Kreativitas pengguna akan mendorong interaksi yang lebih mengasyikkan dalam metasemesta.
Di metasemesta Second Life, umpamanya, seorang ahli matematika berhasil menciptakan “hiperkubus empat dimensi”. Au kagum ketika memasuki rumah virtual pengguna yang kreatif itu.
Namun, kreativitas bukan hanya berujung pada decak kagum. Untuk menghasilkan uang pun bisa! Metasemesta Second Life sempat heboh ketika para pengguna mulai menghasilkan uang nyata. Seorang perempuan tunawisma, misalnya, menjadi kaya dengan membangun dan menjual barang-barang virtual.
Setiap tahun hingga hari ini, menurut Au, sebanyak 1.600-an orang masih menghasilkan lebih dari 10.000 dolar Amerika di Second Life. Penghasil tertinggi mereka bisa jutaan dolar.
Orang-orang yang menghasilkan uang itu cenderung memanfaatkan platform dengan lebih kreatif, bahkan dibanding programmer perusahaan pencipta metasemesta.
Buktinya, pada 2008, Linden Lab sempat menggelontorkan jutaan dolar untuk membangun ruang virtual bermerek di Second Life. Namun akhirnya, ruang komersial tersebut kurang mendapat sambutan.
Berdasarkan pengamatan itu, Au berkesimpulan komunitas perlu diberi kebebasan untuk mengeksplorasi kreativitas, supaya mereka betah. Sebab, bila tidak begitu, bisa jadi warganet hanya login, mengobrol sebentar dengan teman-temannya di sana, lalu dengan mudahnya berpindah ke platform lain.
Jika ingin sebuah metasemesta berhasil dalam jangka panjang, Au menyarankan untuk fokus mengembangkan komunitas dahulu.
Siapkah Kita dengan Metasemesta?
Aku sendiri belum pernah mencoba masuk ke dalam metasemesta. Sebab, peranti-perantinya tidak bisa sembarangan. Sependek pengetahuanku, kita akan perlu komputer dengan prosesor dan memori superbesar, VR headset (gawai realitas virtual), sarung tangan sensorik, dan tentunya koneksi internet 5G.
Peranti dan infrastruktur semacam ini, cepat atau lambat, memang mampu kita kejar. Namun, siapkah kita dengan dampak sosialnya?
Menurutku, kita sebenarnya sudah melihat fenomena metasemesta dalam bentuknya yang paling sederhana, bahkan jauh sebelum era Second Life. Tidak percaya?
Lihatlah anak-anak yang keranjingan main video gim multipemain (multiplayer game). Dari pagi sampai pagi lagi, mereka bermain, menghabiskan uang nyata mereka untuk membeli item-item digital pelengkap avatar, sampai lupa makan, tidur, apalagi mandi.
Seolah mereka hidup dalam metasemesta itu sendiri. Padahal, semua itu mereka lakukan dengan peranti yang apa adanya.
Nah, bayangkan apa yang akan terjadi nanti, saat harga peranti-peranti canggih seperti itu makin terjangkau. Pasti akan ada jauh lebih banyak konsekuensi negatif dari inovasi ini.
Kita, misalnya, juga harus bersiap untuk menghadapi tantangan-tantangan yang mirip dengan dunia nyata, seperti praktik rasisme, pelecehan seksual, dan sebagainya. Jangan salah, itu semua sudah terjadi di Horizon Worlds.
Namun, teknologi selalu memiliki dua sisi. Ada negatifnya, pasti ada positifnya. Bagaimana menurut Teman-teman?
Referensi
- “Lessons From 19 Years in the Metaverse”. TheAtlantic.com, diakses 28 Mei 2022.
- “Metasemesta”. Wikipedia Indonesia, diakses 28 Mei 2022.
- “Sansar (video game)”, Wikipedia Inggris, diakses 29 Mei 2022.