Prancis baru mengadakan pemilihan presiden putaran pertama. Di antara 12 calon, terdapat empat perempuan perkasa, yakni Natalie Arthaud, Anne Hidalgo, Marine Le Pen, serta Valerie Pecresse. Akankah Prancis dipimpin penguasa perempuan? Aku jadi ingat sejarah enam ratu Mesir kuno yang pernah menggemparkan dunia.
Di Mesir kuno, selama ribuan tahun, perempuan memang cukup sering mendapat kepercayaan untuk memimpin negara. Siapa saja mereka? Bagaimana mungkin kekuasaan mereka langgeng di tengah masyarakat kuno yang patriarkis? Rasanya, tema ini menarik kita renungi di bulan kelahiran ibu kita Kartini ini.
ISI ARTIKEL
Mengapa Sampai Ada Pemerintahan Ratu Mesir
Menurut Kara Cooney, seorang egiptologis cantik sekaligus profesor di Universitas California Los Angeles (UCLA), itu karena sistem kekuasaan di Mesir yang tergolong unik dan mengagungkan kerajaan ilahi.
Setelah konflik berabad-abad sepanjang tahun 3000 SM, Mesir utara akhirnya mengalahkan wilayah selatan. Negara-bangsa Mesir pun berdiri. Dilindungi oleh gurun, laut, dan Sungai Nil, Mesir menjadi salah satu negara paling makmur di dunia kuno. Kekayaan negara ini menjadi salah satu alasan mengapa pemerintahannya relatif stabil selama ribuan tahun.
Dalam iklim pemerintahan yang stabil itulah tradisi kerajaan ilahi Mesir dimulai. Bagi masyarakat Mesir kuno, raja adalah wakil ilahi dengan otoritas yang tak terbantahkan, bahkan ketika raja itu adalah seorang perempuan.
Dalam sistem patriarki dan otoriter, mula-mula, raja perempuan ini mendapat kekuasaannya dari sang ayah yang menjabat sebagai raja. Transfer takhta ini berakar dari mitologi Dewa Osiris, raja purba Mesir, yang mewariskan gelarnya kepada putranya, Horus.
Di lain sisi, mitologi Mesir juga memiliki perwakilan feminin ilahi dalam bentuk istri dan saudara perempuan Osiris, Isis. Dalam teks tertulis di dinding piramida, Dewi Isis digambarkan sebagai ratu, ibu, kekasih, putri, dan pengasuh. Tugas utamanya melindungi kerajaan dan memastikan garis keturunan kerajaan dapat terus berlanjut.
6 Ratu Mesir yang Gemilang
Meskipun para penguasa perempuan di Mesir kuno sering kali memiliki masa pemerintahan yang pendek, beberapa dari mereka mencapai kegemilangan yang sama dengan raja-raja pria. Siapa sajakah mereka.
1. Ratu Merneith
Seorang raja berusia dua tahun? Pasti tidak masuk akal. Ya, itulah mengapa Ratu Merneith mewakili anaknya untuk memerintah Mesir. Batu Palermo, sebuah fragmen prasasti terkenal dari monumen kerajaan Mesir, mencantumkan nama Ratu Merneith sebagai Ibu Raja, tepat di samping raja-raja laki-laki dari Dinasti 1 sampai 5.
Merneith sebenarnya tidak asing dengan kekuasaan. Sebagai putri Raja Djer yang dihormati, ia dibesarkan di istana kerajaan di Memphis. Sehingga, ia mengamati dari dekat bagaimana sang raja bekerja. Setelah ayahnya meninggal, saudara laki-laki Merneith, Djet, naik takhta dan meminangnya. Ya, Merneith kemudian menjadi saudara perempuan sekaligus istri raja.
Ketika Djet tiba-tiba meninggal beberapa tahun kemudian, putranya, Den masih balita. Maka Merneith menggantikan perannya. Tugas pertama sang ratu adalah mengatur pemakaman suaminya.
Selama Dinasti 1, pemakaman seorang raja adalah peristiwa yang mengerikan, karena biasanya disertai pengorbanan manusia di sekitarnya. Seperti pelayan-pelayannya, teman-temannya, atau saudara-saudaranya. Untuk pemakaman Djer saja, 587 orang yang dikorbankan di Kota Abydos.
Pengorbanan ini bukan sekadar ritual, melainkan juga sarana untuk menyingkirkan kerabat yang haus kekuasaan, sekaligus memastikan transisi kekuasaan yang mulus dari ayah ke anak.
Merneith menggunakan strategi “kejam tetapi cerdik” ini, sama seperti Djet. Ia pun ingin memastikan takhta putranya mulus, dengan menyingkirkan calon-calon penguasa yang menurutnya potensial.
Ratu Merneith memerintah selama enam atau tujuh tahun, sampai Den cukup umur. Ia meninggal pada usia sekitar 50 tahun. Mesti tidak pernah secara resmi mengambil gelar ratu, penguburannya dilakukan ala raja, dengan kerangka 120 sekutu dekatnya yang juga dimakamkan di dekat makamnya, di area pekuburan kerajaan Abydos.
2. Ratu Neferusobek
Inses atau kawin dengan kerabat dekat bukanlah hal yang tabu bagi orang Mesir kuno. Bahkan bangsawan Mesir menganggapnya sebagai strategi yang ideal untuk reproduksi sekaligus menjaga kemurnian keluarga. Mitologi Isis dan Osiris benar-benar menginspirasi mereka.
Namun, perkawinan sedarah ini tak urung menimbulkan banyak penyakit dan kelainan yang diderita raja-raja Mesir, bahkan kemandulan. Salah satunya, Tutankhamun dari Dinasti 18 yang memiliki kaki pengkor, mungkin karena cerebral palsy.
Selama krisis “tidak ada keturunan raja”, Neferusobek naik ke tampuk kekuasaan. Putri raja ini lahir menjelang akhir pemerintahan ayahnya, Amenemhat III.
Setelah Amenemhat III meninggal, Neferusobek menikah dengan saudara laki-lakinya, Amenemhat IV, yang menjadi raja baru. Amenemhat IV sendiri merupakan produk dari hubungan inses. Akibatnya, di tahun kesembilan pemerintahannya pun ia belum dikaruniai keturunan dari Neferusobek.
Karena krisis suksesi kerajaan tampaknya lebih meresahkan ketimbang isu raja perempuan, Neferusobek diizinkan naik takhta. Tugasnya adalah menjaga kestabilan negara sampai memiliki ahli waris yang legal.
Sebagai perempuan pertama yang secara resmi mengklaim gelar raja, Neferusobek bertekad untuk melegitimasi pemerintahannya. Ia menyelesaikan pembangunan kompleks kuil di Hawara yang dirintis oleh ayahnya, juga membangun tempat-tempat ibadah baru yang menonjolkan garis keturunan kerajaannya.
Sayangnya, di bawah kepemimpinan Neferusobek, negara mengalami kekeringan dan kelaparan. Ini memicu kerusuhan sosial. Di istana, para elit bersekongkol melawannya. Empat tahun memerintah, Neferusobek pun meninggal secara misterius.
3. Ratu Hatshepsut
Sekitar empat abad setelah Dinasti Neferusobek, Dinasti 18 yang dipimpin oleh Raja Thutmose I memperluas perbatasan Mesir ke Levant, menghancurkan provinsi kaya mineral, Nubia dan Kush.
Putri sulung Thutmose I, Hatshepsut, rupanya mewarisi keterampilan dan kepemimpinan ayahnya. Ketika Thutmose I meninggal, Hatshepsut menjadi istri Kerajaan Agung dari saudaranya yang sakit-sakitan, Thutmose II.
Raja baru Thutmose II meninggal setelah hanya beberapa tahun memerintah. Seorang balita yang lahir dari haremnya kemudian dipilih untuk menjadi raja berikutnya. Namun, ibu kandung Thutmose III lumpuh, jadi Hatshepsut-lah yang dipilih untuk memerintah mewakili anak itu.
Elit Mesir tampaknya tumbuh lebih makmur di bawah pemerintahan Hatshepsut. Kemakmuran ini menunjukkan bahwa Hatshepsut mungkin lihai dalam berbagi. Ia membagikan kekayaan dan pengaruh kepada para elit sebagai imbalan atas dukungan mereka.
Hatshepsut juga secara agresif mempromosikan kekuasaannya sebagai kehendak ilahi dengan mendirikan karya-karya besar seperti Kuil Jutaan Tahun di dekat Thebes, di mana dindingnya digambarkan berinteraksi dengan para dewa.
Ketika Thutmose III berusia sekitar sembilan tahun, ia secara resmi menobatkan dirinya sebagai “raja bersama” di sampingnya.
Sebagaimana ayahnya, Hatshepsut memimpin kampanye militer ke Nubia dan Kush. Ia memperluas perbatasan Mesir, memperkaya elit, membangun kuil dan mendorong usaha-usaha perdagangan.
Namun seperti kebanyakan perempuan, prestasinya dikerdilkan oleh para pria yang menggantikannya. Setelah meninggal pada usia sekitar 50 tahun, keponakannya dan mantan rekan Raja Thutmose III mulai menghapus semua citra dan penyebutan diri Ratu Hatshepsut. Walaupun bukti-bukti kekuasaan sang ratu, seperti Kuil Agung Jutaan Tahun, tetap ada di seluruh Mesir.
4. Ratu Nefertiti
Setiap tahun, setengah juta pengunjung berduyun-duyun melihat patung Nefertiti di Museum Mesir Berlin. Ratu misterius ini begitu dihormati karena kecantikannya. Padahal, Nefertiti lebih dari sekadar wajah cantik.
Alkisah, Raja Amenhotep IV, firaun ke-10 dari Dinasti 18 mengambil Nefertiti sebagai istri ketika ia baru saja berusia sepuluh tahunan. Kerajaan itu sedang dalam masa damai dan makmur. Orang-orang di masa itu belum tahu, bahwa agenda keagamaan Amenhotep akan membuat negara ini kacau balau.
Keyakinannya yang menyeleneh mulai terlihat pada tahun kelima pemerintahannya. Amenhotep IV memerintahkan Festival Sed, sebuah perayaan yang biasanya diadakan untuk tahun ke-30 pemerintahan raja dan didedikasikan untuk dewa matahari kecil Aten.
Mencoba untuk mendirikan agama baru, Amenhotep IV mengubah namanya menjadi Akhenaten, yang berarti “bermanfaat bagi Aten”. Ia mulai membangun kuil-kuil baru, melucuti kuil-kuil tua dan meninggalkan kota pengadilan lama Heliopolis, Memphis, dan Thebes untuk mendirikan ibu kota baru. Amenhotep IV menyuap keluarga elit untuk bergabung dengannya di sana.
Ketika namanya dihapus dari prasasti, para sejarawan percaya bahwa Nefertiti “meninggal” pada tahun ke-12 pemerintahan Akhenaten. Nefertiti dipercaya hanya mengubah namanya sebagaimana rekan raja laki-laki baru Akhenaten, Ankhkheperure Neferneferuaten.
Ketika Akhenaten meninggal setelah 17 tahun memerintah, Neferneferuaten menghilang, dan Ankhkheperure Smenkhkare naik takhta. Diyakini, ia adalah Nefertiti. Dalam satu gambar, raja baru ini mengenakan pakaian feminin di bawah rok maskulinnya.
Sebagai Smenkhkare, Nefertiti berusaha memulihkan negaranya. Perintah pertamanya adalah meninggalkan Kota Akhetaten dan kembali ke Memphis, di mana ia memasang kembali patung-patung pemujaan para dewa lama.
Sebelum meninggal, Nefertiti mulai mempersiapkan raja berikutnya, Tutankhamun yang berusia delapan tahun.
Makam emas raja Tutankhamun yang terkenal ditemukan oleh egiptologis Howard Carter pada 1922. Para arkeolog kontemporer bahkan memiliki bukti bahwa makam ini hanyalah pintu masuk ke ruang yang jauh lebih besar, yakni kuburan mewah Nefertiti.
5. Ratu Tawosret
Pengayaan elit Hatshepsut dan fanatisme agama Akhenaten menyebabkan pergeseran dalam kekuasaan Mesir kuno. Di Dinasti 19 dan 20, politik menjadi lebih terdesentralisasi dan kerajaan menjadi lebih terbuka. Ini memungkinkan keluarga lain untuk menikah dengan keluarga kerajaan.
Terjadi lebih sedikit perkawinan sedarah kerajaan dan lebih banyak persaingan di antara keluarga elit. Pada saat yang sama, orang Mesir mencoba membatasi otoritas perempuan, menghapus pemimpin perempuan sebelumnya dari daftar raja, dan memastikan tidak ada perempuan yang memegang banyak gelar kerajaan.
Itulah mengapa Ratu Tawosret harus menggunakan tindakan yang tidak lazim untuk mendapatkan kekuasaan. Tawosret lahir di Mesir yang terinternasionalisasi, di mana migrasi massal dan pengaruh asing merupakan hal yang lazim.
Sekitar tahun 2000 SM, ia menjadi istri Raja Seti II yang baru saja naik takhta. Masalahnya, di Mesir hilir, seorang pria dari Thebes bernama Amunmesses mengaku sebagai raja juga. Berkat sumber daya militer yang unggul, Seti II terbukti menang dalam perang saudara yang terjadi.
Untuk menguatkan kemenangannya di Selatan, Seti II mengirim seorang perwira bernama Bay ke Thebes. Tetapi Bay tampaknya lebih tertarik mengumpulkan kekuatannya sendiri, dengan mendirikan monumen yang menggambarkan dirinya selayak raja.
Ketika Seti II tiba-tiba meninggal, Bay memasang Raja Siptah yang baru, seorang anak dengan cerebral palsy, dan bupati dari pihak ibu Tawosret, sebagai pion yang mendukung permainan politiknya.
Namun, Tawosret memiliki rencananya sendiri. Di tahun kelima pemerintahan Siptah, Bay menghilang. Prasasti di sebuah desa mengisyaratkan pembunuhan oleh Tawosret. Dua tahun kemudian, Raja Siptah yang berusia 16 tahun juga meninggal.
Tawosret menobatkan dirinya sebagai ratu. Praktis, ia menjadi perempuan pertama yang memerintah Mesir tanpa pendamping, sekaligus perempuan pertama yang berkuasa dengan membunuh pesaingnya.
Siklus kekerasan berulang. Pemerintahan Tawosret hanya bertahan 2-4 tahun. Ia menemui ajal di tangan Setnakht, seorang panglima perang yang menjadi pendiri Dinasti 20. Kemungkinan, Tawosret dihukum karena ambisinya, atau hanya dianggap sebagai penguasa yang tidak sah.
6. Ratu Cleopatra
Ratu terakhir Mesir dan yang paling terkenal, meski sebenarnya bukan orang Mesir, adalah Cleopatra. Ia anggota Dinasti Ptolemeus, keluarga Yunani-Makedonia yang mewarisi Mesir setelah dibebaskan dari kekuasaan Persia pada 332 SM.
Pada usia 14, Cleopatra diangkat menjadi wakil penguasa Mesir oleh ayahnya, Ptolemy XII. Sebelum meninggal, sang ayah menunjuk putranya, Ptolemy XIII, sebagai penerusnya. Tetapi Ptolemy XIII tidak sudi berbagi takhta, kemudian mengasingkan Cleopatra ke Suriah.
Ptolemy XIII bersekutu dengan pemimpin Romawi yang memberontak, Pompey. Ketika pasukan Pompey dipukul Julius Caesar dalam perang saudara Romawi, Ptolemy XIII menghadapi murka Julius Caesar.
Mendengar penderitaan kakaknya, Cleopatra mengatur pertemuan rahasia dengan Julius Caesar di Alexandria. Terpesona oleh kecerdasannya, sang jenderal menekan Ptolemy XIII untuk mengembalikan Cleopatra sebagai wakil penguasa.
Namun Ptolemy XIII tidak terima. Cleopatra dan Caesar pun mengerahkan dukungan dari Suriah dan sekutu lainnya untuk mengalahkannya. Mereka menang, dan Cleopatra naik takhta bersama adik laki-lakinya, Ptolemy XIV. Caesar pun tinggal bersama Cleopatra di istana Mesir. Sang ratu berambut merah itu lalu hamil.
Hubungan Romawi-Mesir ini meresahkan Roma. Bahkan berujung pada pembunuhan Caesar, segera setelah meninggalkan Mesir.
Kehilangan sekutu pentingnya, Cleopatra mulai membangun kekuatannya di Mesir. Ia meracuni saudara laki-lakinya dan menempatkan buah hatinya bersama Caesar, Caesarion, sebagai wakil penguasa di tempatnya. Cleopatra juga mencari “perlindungan” baru di Roma yang juga sekutu lama Caesar, Marc Antony.
Cleopatra dan Antony makin dekat. Hingga akhirnya, Cleopatra melahirkan anak-anak Marc Antony, dan berjanji untuk memperkuat dinasti Mesir-Romawi.
Tetapi orang Romawi belum sreg dengan hubungan politik ini. Apalagi Mesir sepertinya untung banyak. Romawi pun menyatakan perang terhadap Mesir. Cleopatra dan Antony mencoba melawan, tetapi Romawi masih terlalu kuat. Antony akhirnya menikam perutnya sendiri.
Romawi merebut Alexandria, membunuh Caesarion, dan menyandera anak-anak Cleopatra lainnya. Suaminya tewas, rencananya buntu, dan ia enggan diarak ke Roma sebagai trofi kemenangan, sang ratu pun bunuh diri dengan bisa kobra Mesir.
Ratu Mesir: Perempuan pun Layak Memimpin
Banyak nama pemimpin perempuan Mesir yang dihapus dari sejarah, atau dilupakan. Kalaupun diingat, itu hanya kegagalan serta keburukan ambisius mereka.
Bagaimanapun, tidak bisa dipungkiri bahwa orang-orang seperti Hatshepsut, Nefertiti, dan Cleopatra terbukti dapat menjaga keamanan dan memajukan Mesir. Kisah keenam ratu Mesir harusnya mengajarkan kita untuk belajar merangkul kepemimpinan perempuan, karena mereka punya gaya kepemimpinan yang berbeda.
Semoga di momen Kartini ini, kita memperoleh inspirasi baru dan dapat belajar dari negeri yang peradabannya ribuan tahun lebih tua dari kita ini.
Referensi
- Cooney, Kara. 2018. When Women Ruled the World: Six Queens of Egypt. Penerbit National Geographic.
- “Ancient Egypt”, Wikipedia Inggris, diakses 13 April 2022.
- “Kleopatra”, Wikipedia Indonesia, diakses 13 April 2022.