Setiap ada peristiwa terkait hotel yang mirip dengan yang pernah kualami, nostalgiaku dengan si mantan segera terbayang.
Tak terasa, aku akan segera mengucapkan selamat tinggal kepada Hotel Campanile yang telah menampungku selama hampir dua bulan. Selalu ada kenangan tak terlupakan dalam tiap persinggahan. Begitu juga masa transisiku di sini.
Sebelum aku berpamitan, Hotel Campanile mengalami mati lampu dua kali. Lampu padam pertama pada 6 Desember 2020, sekitar pukul sembilan, saat aku sedang mengeringkan rambut. Aku spontan terteror rasa bersalah. Kukira pengering rambutku yang bermasalah, hingga satu kompleks hotel menjadi gelap gulita.
Begitu tidak ada tanda-tanda lampu akan segera menyala, aku menghubungi pihak manajemen hotel. Tentu saja, perkara aku sedang mengeringkan rambut tidak kusebutkan.
Resepsionis kemudian melihat ke monitor kontrol dan berkata, “Oh ya! Di kompleks belakang, keadaan gelap total. Oke. Kami akan menghubungi bagian pelayanan, Madame.”
Bertambahlah rasa bersalahku. Jangan-jangan, memang karena pengering rambutku. Oh, tidak!
Tiga puluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda lampu akan menyala. Aku menelepon. Si resepsionis menjawab, “Sedang kami usahakan. Tolong bersabar, Madame!”
“D’accord, Madame. Desolee. Bon courage,” jawabku dengan suara rendah, masih sambil memikirkan pengering rambutku.
Aku sendiri tidak berani menggunakan ponsel lebih lama. Sebab, tanda baterai di layar tinggal sedikit. Aku harus berjaga-jaga. Bila ternyata pemadaman listrik berlangsung lama, paling tidak, masih ada tenaga baterai untuk mengirim SMS.
Setelah bersabar lebih dari satu jam, akhirnya lampu menyala. Perasaan bersalahku pun sirna. Berarti tidak ada masalah dengan alat pengering rambutku.
Namun tak lama kemudian, lampu kembali padam. Lalu menyala lagi. Begitu terus sampai lima kali. Setelah nyala lampu stabil, jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas malam.
Aku menghubungi pihak resepsionis. Si resepsionis kaget setengah mati. Ia mengira ada masalah lain lagi. Padahal, maksudku untuk mengucapkan terima kasih.
Menurut si resepsionis, ada problem teknis yang akan mereka tangani lebih lanjut keesokan paginya.
“Baiklah, Madame,” kataku, “selamat beristirahat dan terima kasih.”
Lampu padam yang kedua terjadi pada 11 Desember 2020, pada jam yang kurang-lebih sama.
Memori Hotel Hilton
Insiden dua kali mati lampu ini tak urung membuatku teringat semasa masih bekerja di Hotel Hilton. Persoalan listrik dan kanalisasi memang sangat serius dalam dinamika pengelolaan hotel dan penginapan.
Meskipun kontrol dilakukan secara berkala, seiring waktu, ada saja kejadian tidak terduga yang kemudian kami sebut “masalah teknis”. Misalnya, listrik disambar petir, korsleting akibat hujan besar, tegangan meninggi, faktor alam, melonjaknya voltase, sampai pemadaman bergilir.
Namun, pemadaman bergilir dari PLN bukanlah hal yang rumit bagi kami. Sebab, Hotel Hilton memiliki genset. Tidak sampai satu menit lampu mati, atas bantuan generator tersebut, lampu-lampu dijamin sudah menyala. Lagi pula, lampu-lampu darurat juga selalu dicas saat tidak digunakan.
Kejadian lain yang kuingat adalah kabel putus digigit tikus. Celakanya, generator secanggih apa pun tidak bisa apa-apa bila kabelnya tergerogoti. Kabelnya harus diganti! Soal tikus lapar yang kurang etika itu memang sulit diantisipasi, padahal racun-racun tikus tak pernah absen ditebar di tempat-tempat strategis.
Contoh lain, masalah kanalisasi. Ini menyangkut pengadaan air bersih dan tempat pembuangan, alias garong-gorong. Seingatku, air PAM harus dikasih perlakuan khusus supaya bebas dari kalkir dan kerak tar-tar. Lubang-lubang pembuangan harus sering dibersihkan, minimal seminggu dua kali, supaya rambut dan kotoran lainnya seperti daun-daun rontok tidak menyumbat saluran tersebut.
Namun yang lebih parah adalah saluran tangki septik. Seringkali saluran pembuangan vital ini tersumbat pembalut dan gumpalan kertas tisu. Ini murni masalah manusia. Di setiap toilet, jelas telah tertulis peringatan dilarang membuang pembalut di kloset. Aku berpikir, kemungkinan orang yang membuang secara ngawur itu buta huruf, tidak membaca larangan, atau menyangka yang diperingatkan bukan dirinya.
Itulah masalah-masalah serius dalam urusan pemeliharaan gedung ketika aku masih bertugas di hotel.
Namun, kejadian padam lampu di Hotel Campanile yang kualami agak berbeda, walaupun masih tergolong faktor alam, dalam hal ini, suhu udara. Akibat depresi tekanan udara dari perubahan musim, malam itu, suhu di luar menurun hingga 5 derajat.
Penurunan suhu yang mendadak menyebabkan lampu-lampu taman berembun. Akibat gesekan panas, kondensasi air di bohlam meleleh dan titik air mengalir masuk ke sela-sela arus listrik yang sedikit merenggang itu.
Sesedikit apapun, rembesan air di arus listrik adalah musuh bebuyutan. Setelah kontak tersebut air dan listrik, lampu mengalami korsleting, dan menyebabkan kompleks yang listriknya terhubung jalur kabel itu padam.
Bagi penduduk Eropa, musim dingin tanpa listrik adalah mimpi terburuk. Apalagi bila mereka tidak memiliki perapian.
Memori Perapian di Istana Mini
Ya. Perapian mengingatkan aku pada si mantan pujaan hati, belahan jantung, alias Istana Mini. Betapa tidak, di ruang keluarga penginapan lama, terdapat dua unit perapian. Dan kenangan-kenangan bersamanya mencuat seketika.
Dulu, di Istana Mini, saat mati lampu di musim dingin, kami tak perlu terlalu cemas. Malah, kami punya kesempatan berkumpul di depan perapian. Selain menghangatkan badan, percikan api yang melahap kayu-kayu itu kami manfaatkan untuk memasak.
Seringkali juga tetangga terdekat kami, anggota Gipsy Kings, Canut Reyes, dengan sukarela datang berkumpul dan menyumbang suara emasnya, hingga lampu menyala. Betapa kenangan itu kembali menghangat di pikiranku.
Tak terhitung kenangan 16 tahun bersama si mantan. Bahkan dalam keadaan gelap gulita sekalipun ia menyumbang sebuah cerita manis.
Terakhir, tanpa dituntut si pengering rambut yang sudah kudakwa dengan tuduhan bertubi-tubi, aku sudah melayangkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya. Peace!
Begitulah, kejadian mati lampu dan kenanganku bersama si (para) mantan.