Integrasi Warga Imigran di Prancis

Integrasi Warga Imigran di Prancis

Hari ini, aku ingin bercerita tentang pembauran alias integrasi. Aku mencoba menceritakannya dengan berkaca pada diriku dan dari sejarah Prancis itu sendiri. Melalui paparan ini, silakan pembaca menilai bagaimana kehidupan di Prancis.

Kuawali tulisan ini dengan meminjam semboyan negara kita yang menggarisbawahi perbedaan sebagai satu kesatuan: Bhinneka Tunggal Ika. Kita menghafalnya bagai sajak saat di sekolah. Saat dewasa, kita melebur semboyan itu dalam bentuk toleransi dan kerjasama. Baik, kita mulai dari sana.

Sekilas tentang Prancis

Negara Prancis yang kita kenal sebatas bentuk heksagonal di peta, sebenarnya memiliki departemen dan teritorial seberang lautan yang luas. Sebagian merupakan hasil koloni pada abad kelima belas. Sebagian lagi berupa wilayah koloni setelah abad kedelapan belas.

Selain itu, Prancis memiliki konsesi dengan perjanjian hak terbatas untuk beberapa kota di dunia. Ada batas laut dan kepulauan yang dikuasai oleh negeri berbentuk segienam ini, membuatnya diakui sebagai negara adidaya. Ini diperoleh dari ekspansi geopolitik sejak berabad silam.

Sebagai negara penakluk, bahasa Prancis menempati urutan ketiga dari bahasa yang paling banyak digunakan di dunia, setelah bahasa Inggris dan bahasa Spanyol. Bahkan, bahasa Prancis menjadi bahasa resmi diplomatik.

Negara Prancis menganut sistem asas kelahiran (Ius soli – droit du sol) dan asas keturunan (Ius sanguinis – droit du sang) dan memperbolehkan rakyatnya memiliki multi kewarganegaraan.

Negara berasas Liberté, Égalité, et Fraternité (Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan) ini adalah negara sekularisme, dengan ideologi yang memisahkan institusi dari agama dan kepercayaan. Namun, tetap memberi kebebasan umat beragama untuk menjalankan ibadah yang diyakininya.

Prancis menganggap semua manusia adalah sama di mata hukum. Mereka lebih menginginkan setiap pendatang berintegrasi dengan kedaulatan mereka.

Aku sendiri memiliki pengalaman yang menakjubkan soal ini. Ketika secara resmi mengajukan izin tinggal. Setelah mengisi formulir berlapis-lapis, sebagian dilegalisasi oleh Konsulat, dengan biaya bea cukai yang tertera, aku datang ke perfektur.

Pagi itu, ayam jantan yang suka berkokok pun masih tertidur, aku sudah datang. Tepatnya, pukul empat subuh.

Namun, aku tidak sendiri. Di depanku sudah ada sepuluh orang. Alamak! Dan sebentar saja, antrean sudah mengular hingga luber ke jalan, padahal pintu terobosan tersebut baru buka praktik jam setengah sembilan.

Mulailah aku berinteraksi dengan pendatang dari seluruh kolong bumi. Berbaur dengan berbagai ras dan warna. Dari yang gelap gulita hingga yang kinclong aduhai. Dari yang bermata indah, hingga yang terlihat sendu. Dari yang paham aturan hingga yang terlunta-lunta, berebutan mengantre di pintu gerbang.

Kami semua mengadu nasib, atau tepatnya mencoba memperbaiki nasib. Apabila beruntung, permintaan kami akan diproses untuk mendapat kartu sakti. Dan kami akan mendapat tunjangan sosial setara dengan penduduk asli. Itulah mengapa semua pendatang sangat antusias.

Apa yang terjadi setelah mereka keluar dari kabin, tidak semuanya mendapat kabar gembira. Banyak yang kurang melengkapi persyaratan dan harus mengantre lagi. Ada juga ada yang menangis, berteriak, memaki, membuat hatiku semakin miris dan panik.

Setelah bersabar selama lima jam, berdesak bagai ikan pepes menunggu giliran, namaku dipanggil juga.

Diintimidasi oleh keadaan dan melihat mimik beberapa dari mereka yang duluan keluar, hatiku bukan hanya berdebar-debar, tetapi detaknya sudah seperti salah asuhan. Buru-buru, kularikan pikiranku kepada Tuhan. Berdoa, berdoa, dan terus berdoa. Menerawang jauh. Kacau-balau. Teringat seluruh puji-pujian dan semua madah yang memuliakan nama Allah di surga.

Kalau kuringkas, begini bunyi permohonanku, “Ya Tuhan, mudahkanlah setiap langkahku. Butakanlah si pewawancara apabila berkasku ada cela. Kasihanilah hambamu. Berikanlah kesempatan padaku. Ya, Allah, Engkau yang memiliki sembilan puluh sembilan nama kebaikan yang tiada terkira.…”

Belum selesai aku membaca secara lengkap daftar iba dan merayu Yang Mahakuasa, apalagi mengucap “amin”, aku sudah diseret juragan masuk ke satu ruangan.

Seorang wanita muda, cantik, dan elegan menerima kami dengan ramah. Entah cuap-cuap apa yang mereka perbincangan. Kami berpindah tiga kabin. Bagai kerbau dicocok hidungnya, aku hanya mengekor. Walhasil, keluar empat dokumen penting:

    1. Surat Keterangan berkas telah diterima.
    2. Undangan mengikuti penataran Cara Hidup di Prancis
    3. Formasi sipil tentang negara Prancis
    4. Surat bahwa aku telah terdaftar untuk mengikuti pelatihan bahasa Prancis di daerah tempat aku tinggal.

Cukup dengan membawa selembar kertas yang dikeluarkan departemen imigrasi ini, aku boleh mengikuti pelajaran. Semuanya gratis!

Kami yang mengajukan izin tinggal di Prancis diharapkan bisa berbahasa Prancis. Pun, kami diwajibkan mengikuti pelatihan dari Kementerian Imigrasi. Aku yang masih sangat culun mendapat jatah 27 jam seminggu.

Seperti saat mengantre di perfektur, hari-hariku menjadi berbeda. Seyogianya seorang murid, jam delapan pagi aku sudah harus mengisi daftar hadir. Persis seperti orang kantoran. Sepanjang hari, aku rajin sekali mengikuti pelajaran, hingga selesai pukul empat sore.

Empat kali seminggu. guru-guru mencatat kekurangan dan kelebihan kami. Kemudian menempatkan setiap murid pada kelas yang tepat, supaya lebih mudah menerima pelajaran.

Aku sungguh bergembira bisa kembali mengecap bangku sekolah. Kami seperti anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, masing-masing membawa bendera dan kebanggaan menjadi duta di kelas, memperkenalkan budaya, kebiasaan, adat, makanan serta keunikan negeri masing-masing.

Setelah paket “kejar tayang” yang kuikuti sepenuh jiwa raga dinyatakan selesai, kami diwajibkan ikut Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh Menteri Pendidikan.

Dalam ujian ini, ada soal pilihan ganda, dikte, mengarang, dan tanya-jawab. Tentu saja semua disesuaikan dengan formasi yang kami terima dan dalam bahasa Prancis. Tak tanggung-tanggung, sertifikat ini terdaftar dan disahkan oleh Menteri Pendidikan.

Aku bersyukur bisa lulus. Berbekal tiga sertifikat (sipil, kehidupan di Prancis, dan tanda tamat belajar bahasa Prancis tingkat pertama), akhirnya izin tinggal yang aku ajukan dapat keluar.

Hikmah dan Kesimpulan

Ketika memilih tinggal di Prancis, bukan serta-merta kita datang dan menetap. Namun, kita diharapkan benar-benar berbaur dan hidup seperti mereka. Negara Prancis memberi kami kesempatan mempelajari cara hidup dan berintegrasi tanpa melupakan dari mana kami berasal.

Hujan emas di negeri orang. Sebagai seorang pendatang, aku merasa negara ini memiliki itikad baik terhadap semua imigran. Para imigranlah yang terkadang kurang memahami aturan di sini, sehingga terjadi kesenjangan sosial.

Andai semua orang tahu diri dan mempraktikkan ajaran nenek moyang kita “di mana rumput diinjak, di sana langit dijunjung”, tentu bentrokan dan rasisme yang sering kita baca tidak terjadi.

Namun, manusia memiliki ego yang lebih tinggi. Bila saja mereka yang kurang setuju dengan kebijakan negeri ini, dikembalikan ke tempat asalnya, apakah keangkuhan itu masih ada?

Filsafat Lao Tzu berkata, jarak seribu mil dapat ditempuh melalui langkah pertama. Namun, apabila semua prosedur telah kita ikuti, dan itu pun membuat kita masih bimbang dan resah, maka berdoalah, mintalah kekuatan pada Tuhan.

Ia mengabulkan setiap permintaan yang benar. Ia adalah ladang, padang, sabana, samudra, dan sumber seluruh kegembiraan.

Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment