Inovasi Pertanian Prancis yang Bisa Ditiru Indonesia

Sebelum membicarakan inovasi pertanian Prancis, tahukah, Teman-teman, bahwa sejarah pertanian manusia muncul sekitar 9000 tahun Sebelum Masehi. Sejak era itu, dunia pertanian telah menjadi Revolusi Neolitik. Pada masa sebelumnya, yaitu zaman batu Paleolitik, kita tahu manusia hidup sebagai pemburu dan pengumpul makanan.

Sayang, munculnya ilmu pertanian juga memicu perubahan sosial. Karena manusia mulai menetap, transisi ini menyebabkan tingginya angka kematian dan kelahiran. Namun berangsur-angsur, pertanian menjadi kegiatan penting dari peradaban. Hingga hari ini, di negara-negara maju sekalipun.

Mungkin Teman-teman menduga, Prancis adalah negara industri yang sudah tidak memiliki lahan untuk mengembangkan pertaniannya. Itu tidak tepat. Justru pertanian Prancis begitu maju, sepengamatanku. Pameran pertanian dan peternakan digelar tiap tahun. Pertanian dan perkebunan di sini begitu rapi, efektif, serta efisien, karena menggunakan pendekatan teknologi dan ilmu modern.

Prancis adalah negara yang kuat, baik di bidang pertanian, perkebunan, maupun peternakan. Negara “kecil” ini merupakan produsen pangan nomor lima di dunia, lo! Maka, Indonesia sebagai negara agraris sebaiknya jangan malu-malu untuk mencontohnya. Apa saja inovasi-inovasi bidang pertanian yang perlu ditiru?

Prancis Memfasilitasi Lahan Pertanian dan Teknologi

Prancis Memfasilitasi Lahan Pertanian dan Teknologi

Luas Prancis kurang-lebih 55 juta hektar. Lebih dari 58 persennya, atau sekitar 32 juta hektar, merupakan lahan pertanian. Lahan untuk pangan membentang 19,8 juta hektar (62%), sedangkan lahan untuk pakan ternak merentang 10,88 juta hektar (34%). Sementara lahan untuk produksi anggur 0,64 juta hektar (2%).

Jadi, wajarlah bila hasil bumi di Prancis lebih dari cukup untuk memberi pangan 68 juta penduduknya. Swasembada pangan Prancis begitu produktif, sehingga negara heksagonal ini rutin mengekspor hasil pertaniannya.

Hasil pertanian Prancis yang utama adalah gandum, jagung, kentang, gula, mustard, bit gula, hazelnut, apel, anggur, akar chicory, unggas, susu, daging, dan masih banyak lagi.

Bukan hanya soal lahan yang memadai, pengelolaan lahan pertanian di Prancis pun menggunakan peralatan-peralatan canggih. Pemerintahannya bekerja sama dengan Uni Eropa menyubsidi sektor agrikultur hingga belasan miliar dolar.

Ini adalah inovasi dasar yang tidak boleh ditawar-tawar. Memang beginilah caranya bila menginginkan hasil pertanian yang lebih banyak dan lebih cepat (dibanding cara pertanian tradisional).

Pertanian Urban di Atap di Kota Besar Prancis

Pertanian Urban di Atap di Kota Besar Prancis

Agripolis, perusahaan agrikultur Prancis, mengembangkan proyek pertanian perkotaan di atap Paris Exhibition Centre. Luasnya 4.000 meter persegi, dan akan ditambah menjadi 14.000 meter persegi pada 2022. Ambisinya, pertanian tengah kota ini menghasilkan setidaknya satu ton buah dan sayuran setiap hari.

Dengan begini, orang kota tidak perlu jauh-jauh mencari pasokan hasil pertanian untuk konsumsi harian. Krisis pangan dapat dihindari, bahan makanan lebih sehat (ada jaminan bebas pestisida), biayanya pun bisa ditekan jauh lebih murah.

Setidaknya, dua puluh petani telah dilibatkan untuk mendukung proyek ini. Bahkan penduduk setempat Paris diperbolehkan menyewa ruang di atap, untuk menanam buah dan sayuran mereka sendiri.

Hm, sepertinya ini ide genius, daripada masing-masing warga harus menyediakan lahan sendiri di rumahnya. Dengan pertanian yang terkonsentrasi seperti ini, pasti pengelolaannya jadi lebih mudah dan produktif.

Tentu, ide sederhana ini sangat bisa diterapkan juga di kota-kota besar Indonesia. Namun, persoalannya selalu kembali kepada pejabat di daerah-daerah Indonesia. Mau, tidak, Pak? Bu?

Anjungan untuk Jual-Beli Hasil Pertanian Prancis

Anjungan untuk Jual-Beli Hasil Pertanian Prancis

Saat awal pandemi corona melanda, penjualan sayuran dan makanan melalui mesin anjungan mandiri (seperti ATM tetapi tidak hanya untuk urusan uang) di Prancis seperti menemukan momentumnya.

Mesin ini biasa diletakkan di dekat swalayan, kafe, rumah makan, pemukiman penduduk, pinggir jalan raya, dan tempat-tempat strategis penjualan lainnya.

Barang yang disediakan di lokernya meliputi sayuran, buah, telur, susu, jus, wafel, dan lain-lain. Siapapun yang mau produk-produk segar langsung dari lahan pertanian, perkebunan, atau peternakan tinggal membelinya tanpa perlu bersentuhan dengan sang penjual.

Praktis, bukan?

Semua pihak diuntungkan dengan inovasi ini. Petani dapat langsung menjangkau pembeli 24 jam sehari, tanpa harus mengikuti jam buka-tutup pasar. Dan yang paling penting, semua sesuai protokol kesehatan.

Produsen penjual otomatis ini membuat mesin anjungannya berpendingin yang terhubung ke internet. Ruang pendingin berfungsi untuk membuat barang dagangan bertahan lama, sedangkan keterhubungan dengan internet dibutuhkan supaya konsumen dapat membayar dengan kartu elektronik.

Dengan kartu pembayaran, konsumen tidak perlu membawa uang tunai. Selain itu, tugas pengelola juga berkurang, karena mereka tidak perlu mengisi anjungan ini dengan koin kembalian. Fokus mereka tinggal mengisi mesin otomatis itu dengan barang dagangan, agar pembeli tidak kecele atau menemukan stok barang yang diincarnya kosong.

Memang, harga mesin penjualan otomatis ini mahal, sekitar 600-800 juta rupiah. Namun, omzetnya juga besar, yaitu 150-250 juta rupiah per bulan. Jadi, dalam kurang-lebih setahun, mereka diprediksi sudah bisa pulang modal.

Hemat Bukan Berarti Melarat

Hemat Bukan Berarti Melarat

Bukan hanya inovasi dalam bidang produksi, inovasi setelah hasil pertanian pun diatur secara hukum.

Prancis telah mengambil langkah penting untuk memaksa supermarket berhenti membuang-buang makanan yang tak terjual. Contohnya, sebelum masa kedaluwarsa makanan berakhir, beragam bahan pangan tersebut diberi diskon khusus. Pembeli bisa mendapatkanya setiap hari di gerai khusus di dalam supermarket.

Lalu, untuk mendukung program antilimbah, Prancis juga membolehkan rumah makan membungkuskan makanan yang tidak dihabiskan oleh pelanggan untuk dibawa pulang (kebijakan anti-gaspillage).

Asal tahu saja, Organisasi Pangan dan Pertanian di PBB (FAO) menyatakan, sepertiga dari seluruh pangan yang diproduksi di dunia, atau 1,3 miliar ton per tahun, dibuang sia-sia.

Kebiasaan semacam ini sungguh disayangkan, mengingat ratusan juta orang di belahan dunia lain masih berkutat dengan masalah kelaparan hingga hari ini. Timbunan sampah makanan yang membusuk pun dapat mengeluarkan gas yang dapat menaikkan suhu Bumi (global warming).

Jadi, kebiasaan membuang makanan sebenarnya menimbulkan dua masalah, yakni moral dan environmental. Maka berhematlah dengan (bahan) makanan!

Apakah inovasi-inovasi pertanian Prancis seperti di atas bisa berhasil bila diterapkan di Indonesia? Tentu, perlu analisis teknis dan bisnis yang mendalam untuk menjawab pertanyaan sederhana ini. Di samping itu, perlu juga dipertimbangkan dampak sosialnya. Jangan-jangan, inovasi semacam ini malah menimbulkan pengangguran.

Namun, bagi konsumen sepertiku, inovasi-inovasi di atas sangat ditunggu demi ketahanan pangan Indonesia. Mari jadikan 21 Juni, Hari Krida Pertanian di Indonesia, sebagai momentum untuk mengkaji ulang sistem pertanian negara kita.

Referensi

Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment