Geliat 3 Perantau Indonesia Mengenalkan Budayanya di Grospierres Prancis

Bagi para perantau, ada banyak cara untuk menunjukkan rasa nasionalisme. Salah satunya, dengan mengenalkan kekayaan budaya asal di tanah rantau. Seperti masakan, seni, dan olahraga Indonesia kepada warga natif. Itulah usaha yang coba direalisasikan oleh Susiana Bongso, Esti Haryani Georges, dan Eldo Elias di Grospierres.

Kebetulan, ketiganya adalah sahabatku. Mereka sepakat mengadakan festival seni dan budaya di wilayah Grospierres, Kota Ardèche, Prancis. Mendengar kabar gembira itu, sejak jauh hari, aku langsung menyatakan diri: HADIR!

Cikal Bakal Acara Découverte Indonésie di Grospierres

Cikal Bakal Acara Découverte Indonésie di Grospierres

Susiana Bongso sudah memikirkan acara ini sejak 3 tahun lalu, tetapi pandemi COVID-19 membuyarkan semuanya. Maka ketika wabah mereda, pada awal 2022, Dik Susie–demikian aku biasa memanggilnya–langsung tancap gas lagi.

Susie menghubungi wali kota Grospierre, Madame Denise Garcia, dan pihak konsulat, Mbak Windi (Christina Windiyani Messina), untuk mematangkan rencananya. Kedua belah pihak antusias. Mbak Windi lalu meminta Susie membuat proposal resmi untuk atasannya, Bapak Arief Muhammad Basalamah, Konsul Jenderal RI di Marseille.

Gayung bersambut. Sesuai namanya, Pak Konsul bertindak arif. Beliau berkenan hadir bersama rombongan Tim Ekonomi yang dipimpin Bapak Erie Bawono. Pihak Konsul juga mengikutsertakan Glarane, platform yang menfasilitasi warga Indonesia untuk menjalankan bisnis, baik dari Indonesia ke Prancis atau sebaliknya.

Dengan menggandeng Association Amical Laïque Grospierres (Asosiasi Orang Tua Murid), pameran budaya dan gastronomi yang digagas Susie pun sepakat diadakan pada 4 Juni 2022. Kemudian pada 5-6 Juni 2022, seniman serbabisa Eldo Elias bersama pelukis Esti Haryani Georges menyambungnya dengan pameran foto dan lukisan.

Aku bangga sekali dengan pencapaian mereka bertiga. Namun yang kacau, Susie kemudian menyeretku untuk berkontribusi jadi peragawati (gadungan) di sana! Hahaha…

Tak pelak, makin dekat dengan Hari H, makin berdebar-debarlah jantungku. Grogi sekali! Tetapi tak apalah, hitung-hitung ikut mendukung acara tiga kawanku yang sesama perantau.

4 Juni 2022: Festival Budaya dan Gastronomi di Grospierres

4 Juni 2022: Festival Budaya dan Gastronomi di Grospierres

Rencananya, acara dimulai pukul 18.00. Namun sejak jam 14-an, aku dan Jeng Esti–panggilan sayangku kepada Esti Georges–sudah sampai lokasi. Balai Kota Grospierres masih sunyi senyap dan tertutup kala itu. Sementara, hotel yang kami pesan di Vallon-Pont-D’Arc baru mau menerima reservasi pukul 16.00.

Sepuluh menit kemudian, Eldo tiba membawa kunci ruangan. Sambil menunggu waktu check-in di Hotel Le Clos Charmant, aku menawarkan diri membantu menurunkan barang-barang Jeng Esti dari mobil, juga membantu Eldo memasang tali pengait bingkai untuk disandingkan ke dinding.

Situasi mulai hidup dengan datangnya staf dari konsulat. Mereka menggeber geladi resik musik. Tetapi yang punya gawe, Dik Susie, belum tampak.

Sekadar tahu, Susiana Bongso adalah warga Indonesia yang sudah 17 tahun tinggal di kota kecil Ardèche. Sejak 2008, bersama suaminya, Florian Lys, mereka memiliki bisnis kuliner bernama Asia HuangLys di Grospierres.

“Di wilayah tempatku tinggal, banyak yang belum tahu Indonesia. Karena itu, aku ingin mempresentasikan negaraku melalui sebuah acara spesial. Sejauh ini, acara-acara semacam ini hanya diselenggarakan di kota-kota besar,” terang Susie ketika ditanya mengapa mengadakan acara di Grospierres, wilayah yang penduduknya hanya 911 jiwa menurut data tahun 2019.

Susie tiba setelah lewat pukul empat sore. Ia segera meminta kami untuk berganti baju daerah.

Alamak! Aku dan Jeng Esti jelas tidak mungkin check in ke hotel sebagaimana rencana awal. Lagi pula, kami khawatir jalanan macet. Maklum, tempat perhelatan dan hotel yang kami pesan berjarak 23 kilometer. Kami tidak ingin mengambil risiko.

Untungnya suami Jeng Esti, Jean Claude Georges, berkenan berangkat ke hotel membuat konfirmasi untukku.

Acara di Balai Kota Grospierres Pun Dimulai

Acara di Balai Kota Grospierres Pun Dimulai

Suhu Grospierres saat itu di atas 30 derajat. Semilir angin dari jendela membuat udara terasa lembap. Persis di tanah air. Dalam keadaan lepek, aku dibantu Mbak Septiyani, berganti baju di sebuah gudang yang dialihfungsikan sebagai ruang ganti.

Lalu seorang madame cantik berbaju putih, Maud de Lisle, membantu kami merias muka. Belakangan, aku tahu beliau juga bertindak sebagai pembawa acara, menemani Mbak Windi.

Kenapa aku harus dirias segala? Mau tampil juga, dong! Nah, tetapi lantaran untuk menyanyi suaraku terlalu di bawah standar dan untuk memeragakan pencak silat tulang-tulangku bisa melintir, maka aku ditunjuk untuk defile saja. Peragaan busana semacam ini tergolong masuk akal buatku, meskipun sama saja, ini juga bukan bakatku.

Begitu tamu dan undangan berkumpul, acara segera dimulai dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kami menyanyi penuh khidmat, lalu dengan tertib kembali ke ruang belakang. Rangkaian acara Découverte Indonésie pun resmi dimulai.

Seorang gadis kecil, Susie, dan aku keluar dengan mengenakan busana khas Suku Dayak. Disusul “model-model” lain berbaju Sunda, Betawi, Bali, Nusa Tenggara, dan lainnya.

Dengan iringan lagu Wonderland Indonesia dari Alffy Rev ( ft. Novia Bachmid), para model dadakan dari beragam usia ini muncul berpasangan. Sementara, Mbak Windi membacakan narasi dan sejarah di balik kostum-kostum daerah itu. Sungguh mewakili semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda, tetapi tetap satu!

Para sukarelawan, baik WNI maupun bule Prancis, ikut berlenggak-lenggok memamerkan aneka busana tradisional Indonesia. Warga Indonesia yang berpartisipasi termasuk Jeng Esti, Eldo, Rini Krasoussky, Rini Coffre, dan Dina Mardiana (Sekretaris Konsul). Baju-baju daerah itu sendiri disediakan secara cuma-cuma oleh pihak Konsulat.

Setelah itu, anak-anak Grospierre menyanyikan lagu Naik-naik ke Puncak Gunung.

Susie: Superwoman dari Grospierres

Susie: Superwoman dari Grospierres

Acara dilanjutkan dengan sambutan ibu wali kota, Denise Garcia. Lalu, pidato Pak Konsul. Bahasa Prancisnya sempurna, sehingga para undangan asing pasti dapat jelas memahami bagaimana geliat dan program pemerintah Indonesia di wilayahnya.

Aku masih mampu menahan emosi ketika melantunkan lagu Indonesia Raya. Akan tetapi, mataku mulai berkaca-kaca ketika nama Dik Susie disebut berkali-kali. Puncaknya, ketika ia memberi kata sambutan. Dadaku ikut bergemuruh kencang.

Setelah Dik Susie menghilang ke bilik panggung, aku memeluknya erat sebagai ungkapan kagumku. Bagaimana tidak, selain sebagai penggagas acara, Susie juga berdedikasi melatih anak-anak di desanya bernyanyi Indonesia. Belum lagi membuat publikasi, menerima reservasi, dan melayani interview dengan para jurnalis.

Ibu kandung Nathan dan Aaron ini juga yang menyiapkan sendiri menu malam itu, yaitu bakwan sayuran, martabak daging, nasi goreng, rendang daging, dan hidangan pencuci mulut. Sungguh, hanya superwoman yang mampu menyelesaikan tugas-tugas itu.

Namun, andil rombongan Konsulat juga besar sekali. Selain umbul-umbul, mereka juga menggotong peralatan musik untuk menghibur tetamu. Mereka pun ikut aktif mengisi acara.

Aku serasa bernostalgia menonton sinetron Indonesia saat Ibu Siti Fatimah (Kepala Protokol Konsuler) menyanyikan lagu Andai Kau Datang Kembali milik Ruth Sahanaya. Kemudian, Mbak Septiyani (Staf Protokol dan Konsuler) ikut menari dengan sanggul yang membuatnya tampak makin anggun.

Secara refleks, aku mendatangi Pak Konsul dan Bu Wali Kota. Kujabat tangan mereka untuk menghaturkan terima kasih. Berkat dukungan mereka, Acara hari ini terlaksana dan mendapat apresiasi yang meriah dari warga Prancis setempat.

Oh ya, selain sebagai peragawati gadungan, Dik Susie juga memintaku untuk membantunya menyendokkan makanan. Kalau bagian ini, aku jelas ahlinya! Kami memang perlu bekerja tangkas dan multifungsi untuk mengisi perut kurang-lebih 200 undangan yang hadir.

Tragedi Mengharukan di Sudut Balai Kota Grospierres

Tragedi Mengharukan di Sudut Balai Kota Grospierres

Sesuatu di luar dugaan lantas menimpa. Nasi goreng dari Susie ternyata rusak. Semua orang di dapur panik. Aku dapat membayangkan bagaimana perasaan Dik Susie.

Beberapa menit lalu ia menangis karena terharu, tetapi sekarang air mata itu kembali menetes dengan alasan yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Kami para relawan pun harus rela melihatnya balik ke rumahnya untuk memasak ulang.

Namun, Tuhan Mahaadil. Ketika memberi cobaan, Ia pasti juga menyediakan jalan keluarnya. Panitia dan sukarelawan langsung bertindak kreatif. Bagaimanapun, tamu undangan tidak perlu tahu apa yang terjadi di balik layar.

Untuk membuat mereka betah menunggu waktu makan, susunan acara pun dibalik. Asosiasi Amical Laïque membebaskan biaya minuman untuk tamu-tamu. Tim penari, dengan sigap, mengadakan latihan kilat. Demikian pula grup pemusik. Ingar bingar acara hiburan berlanjut.

Tamu-tamu undangan keluar-masuk ruangan untuk menghirup udara segar. Mereka menunggu makanan tiba dengan sabar.

Satu jam kemudian, aku melihat dapur kembali mengepul. Para anggota asosiasi mulai menata bakwan, martabak, dan selada untuk hidangan pembuka. Sesuai tugas yang diberikan, aku segera membantu mendistribusikan camilan pembuka itu kepada para tamu. Susie datang dengan nasi goreng, mi goreng, dan nasi putih. Syukurlah! Menu utama pun dapat dibagikan. Apakah kalian dapat membayangkan bagaimana memasak dalam waktu sesingkat itu, untuk 200 orang? Kami semua benar-benar salut!

Air mata Susie tidak berhenti tumpah. Kami semua berusaha menguatkan hatinya. Memahami situasi itu, pembawa acara memanggil Susie ke ruangan. Aku segera menggantikannya menyendokkan daging. Tak lama, terdengar tepuk-tangan membahana di ruang sebelah. Aku ikut sesenggukan.

Panci-panci isinya berangsur-angsur habis. Makanan-minuman laris manis. Aku mengambil sepiring yang tersisa untuk mengisi perut. Aku makan di teras, bersama Eldo, Yoyo Jewe dan istrinya Clara, Jeng Esti, dan Rini Coffre.

Alunan lagu belum berhenti berdendang. Senam Poco-poco tampaknya masih asyik mengajak tetamu bergoyang. Demikian pula dengan lagu Gemu Fa Mi Re.

Beberapa saat kemudian, kulihat Rini Coffre masuk, mengambil mikrofon untuk menyenandungkan suara emasnya. Setelah itu, kami menyerahkan sebuket bunga buat Susie.

Nasionalisme dalam Seni dan Budaya

Nasionalisme dalam Seni dan Budaya

Demikianlah. Melalui sebuah ide sederhana, gebyar hari ini telah menjadi percikan api untuk perhelatan tahun-tahun mendatang.

Susie, dengan segala usahanya, telah mencatatkan sejarah Indonesia di desa kecil Grospierre. Dalam bayanganku, anak-anak yang menyanyikan lagu Naik-naik ke Puncak Gunung tadi akan terus mengingat Indonesia di hati mereka.

5-6 Juni 2022: Pameran Lukisan dan Fotografi Grospierres

5-6 Juni 2022: Pameran Lukisan dan Fotografi Grospierres

Tak kalah gemilang dengan acara Susie, pada 5 Juni pukul 14.00-21.00, dan disambung keesokan harinya pukul 9.00-19.00, giliran Esti dan Eldo yang unjuk kebolehan. Dua seniman humanis penuh bakat itu menggeber lukisan-lukisan dan foto-foto terbaik. Karya-karya mereka itu pekat dengan sentuhan Indonesia.

Sama seperti hajat sehari sebelumnya, acara ini juga didukung rombongan Konsul. Mereka bahkan hari ini membuka Warung Konsuler.

Warung ini melayani kebutuhan warga terkait rekam biometrik paspor RI, legalisasi Surat Keterangan, Amandemen Paspor RI, lapor Diri Online, Portal Peduli WNI, serta Konsultasi Kekonsuleran.

Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk memperpanjang pasporku yang memang sudah habis.

Jeng Esti in Action

Setelah itu, terus terang, aku hanya hadir sebentar dalam pameran. Sebab, aku tidak bisa meninggalkan rumah terlalu lama. Jean Claude, suami Jeng Esti, berkenan mengantarku pulang ke vila cantikku di Arles.

Beruntungnya lagi, Eldo dan Esti berbaik hati mengirimkan foto-foto dan video-video eksibisi mereka. Melihat isi foto dan video itu, sekali lagi, dadaku bergemuruh. Sensasi yang sama. Rasa bangga yang kembali membuncah.

Kami cinta Indonesia. Di mana pun kami berada, cinta itu tetap berkobar untuk negara yang telah mengesahkan kami sebagai warganya ini.

Demi Indonesia, aku datang, berjalan tegak dada, bertelanjang kaki, dan berpanas-panas. Kontribusiku memang tidak seberapa dalam acara-acara ini, tetapi semua itu sepaket dengan kesuksesan acara mereka. Terima kasih, Tuhan!

Melalui tulisan panjang ini, aku juga ingin berterima kasih kepada semua teman-teman yang berpartisipasi, khususnya kepada Jeng Esti dan suaminya, yang memungkinkan aku menikmati acara ini, hingga pulang ke rumah dalam keadaan letih tetapi bangga dan bahagia. Terima kasih untuk kalian semua.

Foto bersama di acara Pameran Lukisan dan Fotografi

Referensi

Yuk, bagikan tulisan ini di...

2 thoughts on “Geliat 3 Perantau Indonesia Mengenalkan Budayanya di Grospierres Prancis”

  1. Très beau article..terima lasih banyak lagi buat dukungan ce Sisca..
    Semoga di Tahun selanjutnya,kita bisa mengadakan acara seperti ini lagi…bisous

    Reply
    • Terima kasih dek Susie. Cici hanya menuliskan sejarah hari itu. Kurangnya mohon dimaafkan.
      iya. Semoga usaha yang sudah Susie lakukan, dapat berkesinambugan. Amin
      Bisous

      Reply

Leave a Comment