Etnis Pendatang Pun Berandil Mewujudkan Kemerdekaan Indonesia

Etnis Pendatang Pun Berandil Mewujudkan Kemerdekaan Indonesia

Kemarin, kita merayakan kemerdekaan Republik Indonesia dalam keprihatinan Pandemi COVID-19. Bagaimana kita merdeka? Tentu kita sudah tahu. Perjuangan ini bermula bukan atas jasa satu golongan atau satu etnis saja. Bahkan suku-suku pendatang, seperti Tionghoa, Arab, dan India juga memiliki peran yang signifikan. Mau tahu siapa saja mereka? Apa saja andil mereka? Mari menengok ke belakang.

Mengapa Kita Terpecah Belah (Hingga Hari Ini)?

Mengapa Kita Terpecah Belah (Hingga Hari Ini)?

Sebelum menuju ke sana,  ada pertanyaan yang menggelitik. Bagaimana ceritanya ada kesan kita seolah saling membenci, rasis, dan terpecah belah? Bila kita runut akar permasalahannya, mungkin titik awal itu terpantik dari masa kolonial. Tahukah Teman-teman, dulu, Hindia Belanda membagi kasta warga di tanah air menjadi tiga:

  1. Eropa: kaum kaukasian pendatang
  2. Timur Asing: Tionghoa, Arab, dan India pendatang
  3. Bumiputera: rakyat pribumi

Kasta pertama ialah yang paling terhormat, sementara kasta ketiga adalah yang paling lemah. Pengastaaan administratif semacam ini, pada gilirannya, memunculkan organisasi-organisasi yang bersifat eksklusif juga.

Untunglah, pada Desember 1912, muncul sebuah organisasi multikutural, Indische Partij (IP). Pelopornya E.F.E. Douwes Dekker (Indo-Belanda), dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat. Mereka dikenal sebagai Tokoh Tiga Serangkai.

Wadah ini menampung  orang-orang Indonesia dan Eropa di Indonesia. Organisasi tersebut merupakan partai politik pertama di tanah air. Sayang, pemerintahan Belanda, diwakili Gubernur Jenderal Hindia-Belanda waktu itu,  A.W.F. Idenburg membubarkannya pada Maret 1913, karena tujuan IP dianggap ingin memerdekakan tanah Hindia, cikal bakal Indonesia.

Setelah itu, hampir tidak ada lagi organisasi yang benar-benar multikultural. Nyaris semua organisasi masyarakat berdiri mengikuti pembagian kasta yang dirancang oleh Belanda.

Sikap Kaum Tionghoa Waktu Itu

Liem Koen Hian

Pada dasarnya, kalangan Tionghoa tidak tertarik pada nasionalisme Indonesia. Kaum pendatang ini umumnya menyikapi permasalahan berdasarkan tiga aliran:

  • Sin Po. Dinamai sesuai dengan surat kabar kenamaan berbahasa Melayu/Tionghoa yang berafiliasi ke Tiongkok.
  • Chung Hua Hui. Aliran ini mendukung kebijakan kolonialisme Belanda.
  • Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Lahir pada September 1932 dengan tokoh utama Liem Koen Hian, wartawan kelahiran Banjarmasin dari Harian Sin Tit Po. PTI kelak turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

PTI dan Liem Koen Hian, dalam perjalanannya, banyak menemui halangan. Bukan hanya dari penjajah, melainkan juga dari kaum nasionalis Bumiputera dan sesama Tionghoa. Media-media Belanda pun turut memperkeruh suasana dengan menyebut mereka provokator, penipu, pemberontak, dan julukan-julukan minus lainnya.

Menjelang Indonesia merdeka, Liem diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), bersama tiga tokoh Tionghoa lainnya: Chu Teng Ko, Oey Tiang Tjoei, dan Tan Eng Hoa. Namun, memang Liem yang paling lantang, terutama ketika memperjuangkan bayi peranakan Tionghoa yang lahir di negara Indonesia, agar otomatis menjadi WNI.

Sayangnya, usul tersebut ditolak. Kecewa, Liem lalu mengajukan pengunduran diri dari BPUPKI. Setelah Indonesia merdeka, kekecewaan Liem semakin melebar. Hidup dan bisnis apoteknya dipersulit. Ia diduga simpatisan sayap kiri oleh Soekiman Wirjosandjojo. Sampai suatu titik, ia pun melepaskan kewarganegaraan Indonesia yang tadinya ia perjuangkan.

Liem meninggal pada 4 November 1952 di Medan sebagai warga negara Cina. Sebelum meninggal, Liem meninggalkan pernyataan yang heroik:

Sebelumnya saya menyebut diri saya seorang nasionalis Cina… [sekarang] saya menyebut diri saya seorang nasionalis Indonesia. Bukan berarti saya mengubah keyakinan politik saya, saya hanya mengubah objeknya. Karena saya tinggal di Indonesia, saya yakin saya bisa berbuat lebih banyak untuk Indonesia daripada untuk Cina. Namun, isi keyakinan saya tidak berubah, karena isi nasionalisme Tionghoa identik dengan nasionalisme Indonesia.

Selain Liem, kita juga patut mengenang Yap Tjwan Bing, satu-satunya wakil minoritas di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam bukunya Meretas Jalan Kemerdekaan yang terbit tahun 1988, ia berharap ada kesepahaman antara pribumi dan non-pribumi.

Jangan lupakan juga rakyat jelata keturunan Tionghoa, Djiauw Kie Siong. Petani kecil dari Rengasdengklok ini merelakan rumahnya digunakan oleh para pemuda untuk menyembunyikan Soekarno-Hatta menjelang Hari Proklamasi.

Harian Sin Tit Po dan Abdurrahman Baswedan

Abdurrahman Rasyid Baswedan

Kendati berkarakter Tionghoa, Sin Tit Po besutan Liem Koen Hian sangat pluralis. Awak media dan kontennya beragam. Asal Teman-teman tahu, Liemlah yang memasukkan Abdurrahman Rasyid Baswedan ke dewan redaksinya. Melalui koran ini, A.R. Baswedan “memerangi” sikap golongan Ar Rabitah yang tetap setia kepada Yaman sebagai tanah airnya.

Dalam Sin Tit Po edisi 2 Desember 1939, Baswedan menuliskan pengalaman kerjanya di kantor harian tersebut pada 1932-1933, “Sin Tit Po yang demikian hebatnya itu dimasak di kantor redaksi oleh 3 ‘nko dan 2 bung dengan cara seperti main-main.”

Yang dimaksud dengan “3 engko” yaitu Liem Koen Hian, Kwee Thiam Tjing (si Tjamboek Berdoeri), dan Tjoa Tjie Liang. Sedangkan “2 bung” adalah Yunus Syaranamual (Ambon) dan ia sendiri. Sementara, yang dimaksud dengan “main-main” adalah situasi kantor yang senantiasa penuh senda gurau.

Hubungan yang mesra itu masih berlanjut setelah mereka meninggalkan Sin Tit Po. Ketika bekerja di harian Melayu-Tionghoa, Matahari, Baswedan pernah menumpang tinggal di rumah Tjoa Tjie Liang. Banyak tetangganya yang geleng-geleng melihat peranakan Tionghoa begitu akrab dengan peranakan Arab.

Sebaliknya, Baswedan yang beragama Islam taat, santai saja menepis kekhawatiran kawan-kawannya soal hubungan “politisnya” dengan kaum Tionghoa. Selama sebulan, Baswedan pernah menampung Liem Koen Hian dan keluarganya yang sedang diburu tentara Jepang.

Baswedan di kemudian hari membidani Partai Arab Indonesia (PAI) sebagai jalur perjuangan kemerdekaan. Cita-cita mereka adalah menjadikan Indonesia tanah air yang nyaman untuk keturunan Arab. Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab ini diikrarkan secara luas pada 1934.

Ikrar tersebut berhasil menyatukan kelompok Ar Rabitah dengan Al-Irsyad yang sebelumnya berseteru. Sejak saat itu, masyarakat Indonesia keturunan Arab tidak mau lagi dipecah belah seperti pada masa kolonial Belanda.

Berkat kemampuan diplomasi Baswedan pula, kemerdekaan Indonesia diakui oleh Mesir dan negara-negara Arab. Kelak, pada tahun 2018, A.R. Baswedan diangkat menjadi Pahlawan Nasional oleh Pemerintahan Joko Widodo.

Bagi Teman-teman yang belum tahu, Abdurrahman Rasyid Baswedan adalah kakek dari Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta saat ini) dan Novel Baswedan (Komisaris Polisi dan penyidik KPK).

Jejak Kontribusi Keturunan Arab

Para pendiri Jamiat Kheir

Barangkali, telinga kita masih asing dengan perguruan Islam Jamiat Kheir. Padahal, organisasi Islam modern pertama di Indonesia ini berdiri sebelum Boedi Oetomo (BO). BO didirikan pada 1908, sedangkan Jamiat Kheir sudah eksis sejak 1901. Pendirinya antara lain Sayed Ali bin Ahmad Shahab.

Kemunculan Jamiat Kheir mendapat simpati dari tokoh-tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto (Syarikat Islam) dan KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).

Sayed Ali, bersama sejumlah tokoh keturunan Arab, pernah mengirimkan para pemuda ke Turki. Di sana, mereka mendapatkan pendidikan militer. Dengan harapan,  sekembalinya ke Indonesia, pemuda-pemuda ini  dapat turut memimpin perjuangan Jamiat Kheir, melawan Belanda.

Peran signifikan orang-orang keturunan Arab juga terlihat pada usaha mereka mengumpulkan dana sebagai modal Tirtoadisuryo (Bapak Pers Nasional) untuk mendirikan majalah dagang Medan Prijai di Bandung. Inilah cikal bakal Sarikat Dagang Islam (SDI). Kemudian, Tirtoadisuryo diundang K.H. Samanhudi agar bergabung dengan SDI di Solo pada tahun 1912.

Oh ya, tahukah Teman-teman, lagu Syukur dan Hari Merdeka yang demikian populer ternyata diciptakan oleh seorang keturunan Arab, yaitu Sayyid Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Muthahar, atau singkatnya Habib Husein Muthahar. Beliau juga dikenal sebagai Bapak Pramuka dan Paskibraka Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika

Tolong dicatat, tokoh-tokoh etnis pendatang yang berandil penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia bukan hanya yang kutulis di atas. Sebenarnya, masih banyak lagi. Memang, rasanya banyak kisah sejarah etnis minoritas yang belum ditulis di buku-buku resmi.

Hendaklah kita yang mencari tahu sendiri, agar tidak ada lagi kubu yang merasa “paling berjasa” dibanding kubu (etnis atau agama) lainnya.

Semoga negara ini kembali bersatu padu, seperti semboyan indah yang melekat di kaki burung garuda: Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Tujuh puluh enam tahun sudah Indonesia merdeka. Mari bergandeng tangan dalam persatuan dan kesatuan, demi negeri kita tercinta, Indonesia.

Referensi

Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment