Virus corona telah menjadi nama baru dari sebuah sindrom epidemi. Dari epidemi, sekarang virus Corona telah menjadi pandemi. Meneror setiap negara. Setiap hari, jumlah negara yang terinfeksi semakin bertambah.
Pendemi adalah pertanda adanya ketidakseimbangan terkait perubahan sosial dengan lingkungan.
Bila kita melihat ke belakang, berbagai episode mematikan pernah meneror umat manusia. Di antaranya, penyakit pes, cacar, campak, antraks, malaria, flu burung, sapi gila, ebola, AIDS, dan masih banyak lagi.
Uniknya, gejala epidemi yang melekat pada nama-nama beken itu sama-sama destabilisasi suhu badan, alias demam. Entah setelah demam berakhir, pasien menjadi imun, cacat, abnormal, perilaku berubah atau sebaliknya menyerah. Semua tergantung pada ketahanan fisik seseorang.
Atau, dengan kemajuan dunia kedokteran, kita dapat melakukan imunisasi awal sebagai usaha pencegahan.
Intinya adalah, manusia berjuang mendapatkan kembali stabilitas suhu badan normal.
Dan bila kita melihat secara epistemologi, epidemi dan pandemi berasal dari bahasa Yunani. Kata ini, populer pertama kali dari sekitar tahun 500 sebelum Masehi, di mana pandemi tifus merajarela di Athena.
Tifus menjadi momok paling mengerikan, setelah berbagai kemajuan yang dicapai pada peradaban purba. Wabah tersebut melenyapkan begitu banyak populasi, termasuk Perikles, sang Bapak Demokrasi.
Bencana itu ikut melunturkan keperkasaan mitos-mitos negeri para dewa. Padahal, warga Yunani baru saja membangun kuil Parthenon untuk memuja dewa-dewi mereka.
Kembali ke virus Corona, sebenarnya rantai infeksi ini semakin mudah terdeteksi, seiring kemajuan teknologi. Kita lebih beruntung, telah dibekali ilmu untuk mengerti cara pencegahan. Yang lebih utama adalah menerapkan pola hidup sehat dan lebih bijak lagi dalam menjaga keseimbangan alam.
View this post on Instagram