Tanggal 17 Desember 2020, akhirnya resmi sudah aku menempati si Vila Cantik bernomor urut 5. Dengan segala kekurangan di sana-sini yang belum selesai.
Keputusan ini kulakukan secara terpaksa, karena manajemen Hotel Campanile mencutikan seluruh stafnya terkait libur akhir tahun. Sebenarnya, aku masih diizinkan tinggal di sana, hingga si Vila Cantik selesai bersolek. Namun, pengalaman dua kali yang membutuhkan teknisi khusus, yaitu mati lampu dua kali, karena lampu taman konslet, disertai satu kali toilet macet, telah memantapkan langkahku untuk check-out.
Sore itu, Rabu dengan langit kelabu, aku baru saja kembali dari ‘kerja serabutan’ mengurus si Vila Cantik bernomor urut lima yang belum begitu cantik. Rinai di luar bagai ribuan anak panah menari di jendela. Aku berhenti di depan pintu resepsionis untuk mengambil cetakan dokumen. Saat itulah aku bertemu petugas resepsionis hotel.
Staf cantik itu mengatakan bahwa hotel akan tutup secara resmi Jumat sore, serta menanyakan kemungkinan jam aku check-out. Ia pun tampak merana, harus datang pada hari kerja, sedangkan tak ada tamu lain yang mampir di sana.
Aku jadi merasa bersalah. Mungkin karena permintaan mencetak itu, ia jadi harus datang ke kantornya ini dan menunggu. Je suis vraiment désolée, Mademoisselle.
Sebagai satu-satunya tamu setia yang telah menginap di sana selama dua bulan kurang tiga hari, dan sebagai mantan karyawan hotel serta mantan pengelola rumah penginapan yang kurang lebih mirip usaha perhotelan, aku dapat membayangkan tugasnya, kesedihannya menunggu tanpa kepastian, juga kendala bagi pihak hotel. Berapa biaya operasional harian bila hotel ini dibuka, dibandingkan bila hotel itu tidak beroperasi sama sekali.
Memang, itu bukan urusanku. Kurasa, aku juga bukan tamu yang merepotkan selama ini. Toh, dengan syarat dan ketentuan berlaku, mereka bersedia menampungku tanpa banyak cincong. Bahkan juga mempercayakan aku untuk membuka-tutup gerbang sendiri.
Mereka pun sudah mengerti sejak awal, bahwa aku menginap di sana bukan untuk bersenang-senang. Aku memang butuh tempat transit, menunggu para tukang selesai memoles si cantik nomor urut lima.
Awalnya, kukira aku cukup menetap sepekan. Siapa sangka, akhirnya membengkak menjadi lebih dari tujuh pekan! Baik pihak hotel maupun diriku sendiri sulit mempercayai ketidakakuratan prediksi ini.
Untunglah waktu itu aku tidak memakai jasa ‘orang pintar’ untuk melihat tendensi kapan si cantik nomor urut lima akan selesai dikerjakan, sehingga yang malu cuma aku seorang.
Hei, tidak perlu kubesar-besarkan masalah yang memang sudah rumit itu. Yang pasti, baru dua hari tinggal di rumah baru, aku sudah senewen karena kedinginan setengah mati, ditambah rasa mual, meriang, plus panas dingin.
Dengan gejala-gejala yang tidak wajar, hari Sabtu, aku langsung dites usap (PCR).
Perawat yang menusukkan benda sepanjang satu jengkal tangan ke hidungku berkata bahwa aku akan di-SMS dan di-email sore itu oleh pihak laboratorium, bila ternyata hasil pemeriksaannya positif.
Tunggu punya tunggu, hingga sudah hampir Sabtu lagi, tidak ada sepucuk pun SMS, email, atau surat pemberitahuan mengenai hasil PCR. Rupanya, pihak laboratorium keteteran. Sehingga, hanya pasien yang positif yang mendapat perhatian khusus. Dengan kata lain, hasil PCR-ku itu negatif-tif-tif!
Syukurlah kalau begitu.
Lalu kenapa aku terus senewen serta kedinginan dan rasanya ingin muntah? Ternyata… oh ternyata. Tuhan masih sayang kepadaku. Pada titik nadirku, saat membongkar barang, aku menemukan alat pengukur tensi yang mengabarkan berita tak sedap bahwa tensi darahku melonjak!
Mungkin karena aku terlalu asyik menikmati menu siap saji. Ya. Bebas dari urusan memegang wajan, dan dua bulan hanya mengandalkan pihak luar, juga membawa konsekuensi bagi kesehatanku. Tubuhku berontak, tidak sudi diperlakukan dengan asupan seperti itu berturut-turut.
Padahal, makanan yang kupilih pada dasarnya sangat rasional, sudah pula berlabel bio. Tetap saja, kandungan kadar yodium di menu-menu tersebut terlalu tinggi bagi diriku yang sensitif garam.
Ditambah, dari empat titik pemanas di rumah baru, tiga di antaranya tidak berfungsi. Alamak! Nadiku dari kota khatulistiwa. Kalau terus kedinginan, aku bisa binasa!
Tidak berfungsinya pemanas itu bukan karena rusak. Hanya, karena ada pekerjaan kelistrikan yang memadamkan listrik dari sentral, titik-titik pemanas itu mengganti mode dari musim dingin menjadi musim panas. Au secours… Tolong! Bagaimana aku tidak menjadi sakit, lalu senewen dan memicu darah tinggi?
Namun, mengingat pepatah “dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat”, sejak tanggal 20 Desember 2020, aku mulai menyalakan kompor. Aku bertekat memulai hidup sehat kembali. Salah satunya dengan menikmati menu dan sayur-sayur segar yang kupotong sendiri. Benar saja, dua hari setelah itu, aku merasa lebih baik.