Siapa tak kenal komedian ini. Charlie Chaplin, seorang penulis, sutradara, produser, sekaligus editor film yang perfeksionis. Film-filmnya memiliki karakteristik lelucon kasar yang dikombinasikan dengan patos dan dicirikan melalui perjuangan tokoh Tramp atau Charlot melawan kesulitan.
Film-filmnya selalu mengandung pesan-pesan sosial-politik, serta unsur autobiografi. Namun yang menarik, penyabet penghargaan Academy Awards 1972 ini juga pernah nyasar ke Bali, lo.
ISI ARTIKEL
Charlie Chaplin dan Walter Spies di Bali
Siapa sangka, aktor ikonik ini pernah berkunjung ke Singaraja, Bali, pada 4 April 1932. Saat itu, Indonesia masih bernama Hindia Belanda, dan berada dalam kekuasaan Kerajaan Belanda.
Ini aku juga baru tahu setelah menonton filmnya, suatu malam, di Kanal Arte TV. Film itu berjudul Chaplin in Bali, karya Raphael Millet. Ceritanya waktu itu, Charlie baru saja menyelesaikan tur Eropa untuk mempromosikan film City Lights (1931). Ia ingin sekali berekreasi dan mengunjungi beberapa tempat, salah satunya Bali.
Ya, Bali sejak zaman kolonial memang sudah terkenal. Ini tak lepas dari peran Walter Spies, seorang seniman asal Jerman yang pernah menetap di Yogyakarta dan Bali.
Pada 1930-an, Walter sering dipuji karena menarik perhatian tokoh budaya Barat untuk melirik budaya Timur melalui seni dan drama, terutama budaya Bali. Penggemar gamelan dan tari kecak ini lahir di Moskow, 15 Desember 1895. Namun, Walter Spies beserta rombongan Jerman yang dideportasi pihak Belanda, tewas di bom pesawat Jepang, di laut lepas Sumatra pada 19 Januari 1942.
Walter memang dikenal secara internasional. Selain melukis, ia adalah seorang komposer, musikus, dan kurator primitivis. Ketika tinggal di Bali, tepatnya di Desa Iseh, Spies menjadi tuan rumah bagi para antropolog, aktor, seniman, serta tokoh budaya lainnya, termasuk Charlie Chaplin.
Tak sekadar berlibur di pulau dewata, Charlie juga hendak membuat film. Ia tidak sendirian. Kakaknya, Sydney, dan para kru film juga menemaninya ke Bali. Begitu juga Walter Spies yang berjasa memodernisasi seni Jawa dan Bali. Charlie Chaplin bahkan pernah menawarkan lukisan Walter Spies yang berlatar Desa Iseh itu ke Eropa.
Dalam film Chaplin in Bali, Charlie tampak berinteraksi dengan warga Bali dalam rangka kegiatan seni budaya. Dengan rambut dan pakaian yang tidak seperti saat di film, ia menghibur warga dengan gerakan khasnya.
Sejarah Pantonim, Seni yang Ditekuni Charlie Chaplin
Seni pantomim adalah sebuah evolusi panjang aktor teater. Kontennya disesuaikan dengan waktu dan keadaan. Namun bentuk teater ini banyak dikaitkan dengan penyair Yunani kuno, Sophron dari Syracuse, yang hidup sekitar 430 Sebelum Masehi. Sophron adalah penulis dialog prosa berirama dalam dialek Dorian, Sisilia.
Waktu itu, teater pantomin menampilkan pria atau wanita dengan peran humor yang terisnpirasi dari kehidupan orang Yunani di Sisilia. Dialognya disusun dalam gaya bahasa sehari-hari, disertai ekspresi pidato lisan, parodi, peribahasa serta situasi komikal.
Lakon dipentaskan di depan umum tanpa menggunakan topeng. Mime Yunani ini, direduksi menjadi beberapa tipe sosial. Di antaranya parodi animasi atau mengolok-olok kesalahan orang-orang sezamannya.
Beda lagi di zaman Republik Romawi. Parodi menyindir karakter penguasa, diperluas ke ekspresi perasaan dalam kedok orang bodoh. Atau ejekan kepada atlet, gladiator, prajurit, atau penyair. Tetapi di bawah dinasti Kekaisaran, para pantomim dipaksa menyerah dan membungkam mulut mereka.
Waktu melaju. Gerak pantomim terus diperluas. Bentuk ekspresi akhirnya hanya digerakkan tubuh tanpa bantuan ucapan. Pantomim menjadi argumen yang ditafsirkan oleh aktor dengan kontraksi, berdasarkan mimodrama yang dijiwai para pemainnya.
Pantomim berkembang menjadi tontonan naratif, umumnya diiringi musik, berdasarkan sarana seni ekspresi. Peran ini sulit disensor, karena penafsiran penonton bisa berbeda dengan narasi sebenarnya.
Siapa Sebenarnya Charlie Chaplin
Charlie Chaplin, atau lengkapnya, Sir Charles Spencer Chaplin KBE, lahir di London, 16 April 1889. Ia seorang pelawak, sutradara, dan komposer film dari Inggris yang terkenal pada era film bisu. Perannya besar sekali dalam sejarah industri film. Tercatat, ia berkarier selama lebih dari 75 tahun untuk industri ini, sebelum maut menjemputnya pada hari Natal tahun 1977.
Pamor si kumis Hitler ini melejit setelah berperan sebagai gelandangan Tramp atau Charlot.
Charlie menjalani masa kecilnya di keluarga miskin. Ayahnya menelantarkannya, sehingga ibunya, Hannah, yang harus berjuang menghidupi keluarga. Sayangnya, ibunya juga sakit-sakitan. Akhirnya, Charlie cilik dikirim ke sebuah panti penampung anak-anak kurang mampu, sebanyak dua kali, sebelum berumur sembilan tahun.
Saat Charlie menginjak usia 14 tahun, ibunya harus dirawat di sebuah rumah sakit jiwa akibat malnutrisi dan sifilis. Charlie yang mewarisi darah seni dari orang tuanya mulai belajar menghidupi diri sendiri. Beruntung, sejak usia 5 tahun, Charlie kecil sudah belajar tampil di atas pentas.
Pasang surut kehidupan selaku aktor panggung, penari dan komedian, mewarnai perjalanan karier pria ini.
Pada usia 19 tahun, Charlie bekerja untuk Fred Karno, kelompok komedi bergengsi. Mereka sempat melakukan pertunjukan keliling selama 21 bulan. Saat itulah, Charlie diakui sebagai aktor pantonim terbaik. Peran di grup komedi tersebut membawanya berangkat ke Amerika Serikat.
Pada 1914, Keystone Studios kemudian merekrut Charlie. Ia lantas mengembangkan karakter Tramp si gelandangan, yang akhirnya disukai banyak orang.
Sementara itu, karier Charlie sebagai sutradara dimulai semasa ia bekerja di Essanay Studios, Mutual Film, dan First National Pictures.
Pada tahun 1919, Chaplin menjadi salah satu pendiri dari perusahaan distributor, United Artists (UA), yang memberinya kendali penuh atas film-film bisunya. Film-film ikonik Charlie Chaplin adalah The Kid (1921), A Woman of Paris (1923), The Gold Rush (1925), dan The Circus (1928).
Nah, pada tahun 1930-an, ketika film mulai bersuara, Chaplin menolak untuk beralih ke film dengan audio itu. Ia malah memilih menjadi produser atas film City Lights (1931) dan Modern Times (1936) yang tidak memiliki dialog.
Charlie akhirnya menggarap film bersuara pertamanya yang berjudul The Great Dictator (1940). Di sini, ia mulai berani menyenggol dunia politik, dalam hal ini Adolf Hitler dan Mussolini. Charlie pun dinilai memiliki kesamaan fisik dengan Adolf Hitler, di antaranya dari bentuk kumis dan popularitas.
Redupnya Pamor Charlie Chaplin
Bagaimanapun, setiap masa ada tokohnya, dan setiap tokoh ada masanya. Tak selamanya pamor sang maestro pantomim berkilau.
Pada tahun 1940-an, pamor Charlie meredup, seiring opini publik yang menilainya mendukung komunisme. Selain itu, ia juga digugat oleh Joan Barry, seorang aktris muda Amerika yang berbeda 31 tahun dengannya.
Proses pengadilan dimenangkan Joan Barry. Akhirnya, Chaplin harus membiayai anak hasil perselingkuhan mereka, hingga berusia 21 tahun.
Karena insiden dengan Joan Barry, FBI mulai melakukan investigasi terhadap Charlie Chaplin. Akibatnya, ia pun terpaksa meninggalkan Amerika Serikat dan menetap di Swiss.
Setelah hengkang dari Amerika, Charlie tak lagi memerankan karakter Tramp dalam film-film berikutnya, yaitu Monsieur Verdoux (1947), Limelight (1952), A King in New York (1957), dan A Countess from Hong Kong (1967).
Dari pernikahan terakhirnya pada 16 Juni 1943 dengan putri penulis drama yang baru berusia 18 tahun, Oona O’Neill, mereka dikarunia delapan anak. Charlie, dalam biografinya, menulis bahwa ia telah menemukan cinta yang sempurna, sampai akhir hidupnya.
Referensi
- Fre. 19 Juni 2021. “Video Charlie Chaplin ke Bali Tahun 1932, Hibur Warga dengan Aksi Kocaknya”. Kumparan.com, diakses 27 November 2021.
- “Charlie Chaplin”. Wikipedia Indonesia, diakses 28 November 2021.
- “Mime et Pantomime”. Universalis.fr, diakses 3 Desember 2021.
- “Walter Spies”. Wikipedia Indonesia, diakses 4 Desember 2021.
- “Charlie Chaplin”. Wikipedia Prancis, diakses 4 Desember 2021.