Belajar Memanfaatkan Laverie, Tempat Pencucian Otomatis

Belajar Memanfaatkan Laverie, Tempat Pencucian Otomatis

Sampai hari ini, aku masih tinggal di Hotel Campanile. Selintas, seperti aku sedang bersantai. Nyatanya tidak begitu. Aku harus pintar-pintar menyesuaikan diri tinggal di hotel yang minim fasilitas dan layanan ini. Eh, bukan minim. Lebih tepatnya layanan itu berkurang karena masa pandemi Corona.

Jadi malam itu, aku memulai pengembaraan musim gugur 2020 dengan mencuci pakaian di wastafel. Lalu, mengantung di atas shower kamar mandi yang kebetulan agak tinggi. Kupikir besoknya, pakaian itu pasti sudah kering.

Mencuci di hotel memang gratis, tetapi kurang efektif

Perpaduan baju basah dan pemanas bersuhu maksimum menciptakan suasana sauna di kamar mandi yang sekaligus kamar kecil itu. Kamar tidur yang hanya dibatasi pintu juga terimbas. Terasa lembap di sana.

Sudah begitu, harapan pakaian menjadi kering pada pagi hari tinggallah harapan. Begitu kusentuh, air di ujung tekstil masih menitik seperti hujan gerimis. Padahal, semalam sudah kuperas hingga tetes keringatku yang terakhir. Pemanas juga sudah kumaksimalkan.

Ah, harus kuakui, aku masih hidup dalam nostalgia di istana mini yang penuh fasilitas, di mana pakaian bila dijerang semalaman pasti kering, karena aku menggunakan mesin.

Laverie Pertama: Dekat dan Praktis

Laverie Pertama: Dekat dan Praktis

Setelah eksperimen itu, aku berasumsi bahwa sirkulasi udara kamar mandi hotel kurang optimal. Sehingga, untuk mengeringkan pakaian yang agak tebal, dibutuhkan waktu paling tidak sehari-semalam.

Aku pun mencari jasa pencucian otomatis. Di Prancis, istilahnya laverie. Sambil membawa keranjang cucian, aku berkeliling. Beruntung, aku menemukannya tak jauh dari hotel, yaitu di halaman parkir supermarket Intermarché – Fourchon Cap Arles.

Ramai deru kendaraan yang datang dan pergi mewarnai kesibukanku menekan tombol mesin cuci. Aku senang bisa mencuci pakaian di sana. Karena selain dekat hotel, pembayarannya juga menggunakan kartu, tanpa kontak. Layanannya pun sudah termasuk detergen dan pelembut (softener).

Rata-rata, waktu pencucian berkisar 30-40 menit, tergantung program dan temperatur yang kuinginkan.

Setelah pencucian, aku bisa langsung mengeringkannya dengan alat di sebelah mesin cuci. Waktu pengeringan juga bisa dipilih. Aku memilih 50 menit, supaya pakaian benar-benar kering dan aku bisa melakukan aktivitas lain secara bersamaan atau kembali ke hotel yang jaraknya cuma selemparan kolor.

Pengalaman mengeringkan pakaian yang tadinya sehari semalam pun kini menjadi kurang dari satu jam. Hip hip, huraaaa!

Sayangnya, kemudahan yang kualami di saat pertama seperti masa promosi saja. Sebab, di hari-hari berikutnya, aku sering keduluan pelanggan lain. Sehingga, aku harus menunggu atau kembali lagi.

Yang paling menyebalkan, dua menit sebelum mesin cuci berhenti berputar, ada yang tiba-tiba menggunakan mesin pengering, padahal yang bersangkutan tidak mencuci di situ. Aku memandangnya dengan tatapan penuh protes.

Namun, apa boleh buat. Ini bukan restoran yang dilarang membawa makanan dan minuman dari luar. Ini adalah pencucian umum, tentu berlaku aturan: siapa cepat, ia dapat! Lagi pula, mana ada aturan harus mencuci di sini dulu baru bisa mengeringkannya di situ?

Kombinasi antara keduluan dan harus kembali lagi mewarnai perkenalanku dengan fasilitas mesin pencuci umum.

Aku berasumsi karena lokasinya yang strategis, sehingga bisnis ini tidak pernah kekurangan pelanggan. Sebab, sembari menunggu mesin beroperasi, kita bisa menggunakan waktu penantian itu untuk berbelanja.

Namun, saking larisnya tempat pencucian itu, suatu hari, tepatnya di hari ke sepuluh aku ngekos di Hotel Campanile, mesin ini berstatus out of service alias rusak.

Padahal, persoalan mencuci pakaian bagiku adalah hal vital kedua setelah urusan perut. Sebab, stok bajuku yang agak tebal masih tertimbun di antara tumpukan barang. Sedang di supermarket, pakaian dianggap bukan barang pokok dan ditutup rayonnya, supaya bertoleransi dengan toko-toko kecil senada yang harus tutup lantaran aturan lock down pemerintah.

Jadilah aku berburu mencari mesin pencuci lain di Kota Arles.

Laverie Kedua: Lebih Banyak Pilihan

Laverie Kedua: Lebih Banyak Pilihan

Aku bersemangat sekali ketika menemukan laverie baru. Dengan begitu, aku memiliki alternatif bila mesin pencuci di halaman parkir supermarket dekat hotel itu rusak lagi.

Tempat ini agak berbeda. Ini benar-benar sebuah kios pencucian dengan berbagai ukuran mesin, mulai dari 6 hingga 10 kilogram.

Untuk menghemat waktu, aku segera memasukkan cucian di mesin yang kosong. Namun ternyata, sistem pembayarannya memakai uang tunai dan tidak termasuk detergen.

Mesin cuci dan alat pengering lebih bervariasi

Terus terang, aku tidak tahu cara operasionalnya. Apalagi tombolnya banyak dan membingungkan. Beruntung, ada seorang madame yang juga sedang menunggu. Setelah kujelaskan bahwa aku adalah pendatang baru dalam urusan mesin pencucian otomatis, ia pun berbaik hati membantu.

“Masukan koin di sana,” bimbingnya sambil menunjuk sebuah kotak putih di tembok yang berhadapan dengan mesin.

Tempat koin untuk Laverie

Setelah itu, tanpa bertanya lagi, jari si Madame gesit memencet mesin seperti operator. Tokcer! Mesin pun mulai bergerak dan tertera waktu pencucian selama 40 menit, lebih lama 10 menit dari waktu ketika aku mencuci di halaman parkir supermarket.

Aku mengucapkan terima kasih dan segera menyalakan pengingat di ponsel, kemudian berlalu. Empat puluh menit itu harus kumaksimalkan untuk keperluan lain. Sebab, jarak hotel dan tempat pencucian yang baru kukenal, cukup jauh. Perbandingannya adalah 15 menit dari hotel, bila jalanan tidak macet.

Oh ya, sejak ngekos di hotel, aku juga berbelanja harian, terutama makanan segar. Saat sedang memilih buah, aku baru ingat, bahwa si madame tadi sudah menyalahkan mesin, sementara fasilitas di sana tidak berikut paket detergen.

Aku ini terlalu percaya diri atau memang sifatku yang mudah percaya seseorang? Kontan, aku menjadi resah dan kurang berkonsentrasi ketika berbelanja. Untuk pertama kali, aku mencuci baju tanpa detergen. Bagaimana hasilnya nanti?

Saat aku kembali tiba di sana, mesin telah berhenti. Aku pun memasukkan pakaian yang sudah dicuci tanpa detergen pada mesin pengering.

Asumsiku, setelah melewati pencucian 40 menit dengan temperatur 30 derajat dan mengeringkannya selama 50 menit, cucian itu pasti bersih. Bukankah dulu, ketika manusia belum mengenal detergen, baju hanya digilas di atas batu atau dipukul-pukul pakai kayu, kemudian dibilas dan dijemur?

Bagaimanapun, kita hidup di peradaban yang berbeda.

Selanjutnya, aku tak pernah lupa lagi membawa detergen dan pelembut di keranjang cucian. Bagiku, wangi detergen tetap menjadi aroma yang menyenangkan dan menimbulkan kesan bersih, untuk segala macam cucian.

Detergen dan Softener selalu kubawa

Aku akhirnya menjadi langganan di kios cuci kedua ini. Alasannya, di sana banyak pilihan dan selalu ada tempat kosong.

Pengalaman lain seperti mesin berhenti berputar sementara cucian masih terendam air, salah pencet alias terbalik memberi perintah yang menyebabkan koin hilang, atau terlambat kembali sehingga pakaian sudah terlanjur dikeluarkan pelanggan lain, juga cucian kembali karena kurang lengkap seperti kaus kaki hilang sebelah, pernah kualami.

Seperti Melihat Sisi Lain Arles

Seperti Melihat Sisi Lain Arles

Begitulah aku belajar pengalaman baru. Setelah 16 tahun berkubang dalam zona kenyamanan, inilah sebagian catatanku saat bersentuhan dengan dunia luar yang penuh kejutan.

Lebih dari satu bulan, aku ngekos di hotel, aku telah menjadi mahir dalam urusan menggunakan fasilitas umum. Aku bahagia mengetahui sisi-sisi metropolis Kota Arles yang secara empiris baru pertama kali kualami.

Pesan moralnya, Istana Mini alias si mantan, selama ini telah memagariku dengan zona kenyamanan dan mengaburkanku dari sisi lain kehidupan. Tetapi, aku bersyukur menjalani masa-masa ini secara konkret. Sambil bersabar menunggu renovasi rumah bertampang jelata menjadi vila jelita, hidup nomadenku tetap berlanjut.

Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment