Kau yang terakhir di puber yang tak terencana.
Betapa indah hari ini. Shinta merasa wajib menulis seluruh rasa yang ia alami. Pagi hampir datang, kelelahan bekerja tidak ia hiraukan. Hatinya masih dipenuhi seladang bunga. Sebab, tanpa memelas, Rama menelponnya. Betapa dahsyatnya hati yang bahagia itu.
Setelah berbincang dengan Rama, Shinta bagai memiliki kekuatan ekstra. Serasa ia siap memindahkan gunung sekalipun.
Dapur bersih, setrikaan selesai. Masakan enak. Shinta tidak berkeberatan keluar kota untuk berbelanja berbagai keperluan dapur. Tak lupa ia mampir ke Toko Sephora, berbelanja pemerah bibir. Ia selalu suka memulas bibirnya dengan warna berpigmen. Setiap menyapukan kuas di sana, diingatnya lidah Rama yang pernah menempel di situ. Ia pun tersipu.
Hari ini, mereka berbicara banyak hal. Membiarkan hati yang saling merindu itu meluapkan rasa. Di kuping Shinta, masih tergiang tawa suara Rama. Mereka tergelak bersama, dengan humor masa lalu bertema seribu T, yang didahului Tukang tahu teriak-teriak: “Tahu… tahuuu!!”
Mereka berbincang lebih dari setengah jam. Bersama Rama, Shinta menunda sejenak pekerjaan. Tetapi setelah itu, ia akan bekerja lebih cekatan. Karena Rama telah mengisi energinya menjadi turbo.
Namun, ibarat bunga kaktus, mekarnya hanya sekejab. Paginya mati dan menunggu waktu yang panjang untuk mekar lagi.
Begitulah hubungan Rama dan Shinta. Tiba-tiba, terhenti. Sepi. Rama tak ada kabar lagi. Ya, cinta itu hanya seumur jagung. Singgah, bertamu sebentar, lalu pergi tergesa-gesa.
Dua kali Shinta mengirim pesan dan tak ada balasan. Shinta dapat pula melihat Rama online berjam-jam. Betapa sedih Shinta menerima kenyataan. Kenyataan dicampakkan dengan sengaja, tanpa alasan yang jelas.
Jumat sore itu, Shinta datang ke gereja. Shinta mengadu kepada Tuhan. Di depan api penyucian, batang-batang lilin berkedipan. Di sanalah air mata Shinta jatuh berurai semakin deras. Ia tak sanggup menahan beban batin yang demikian berat.
Shinta tak ingat lagi, kapan terakhir kali ia mengalami rasa ini. Ia mencoba berbagai cara untuk melupakan Rama, melupakan sapaan Rama yang dingin dan hambar. Tetapi tetap belum bisa.
Cinta buta telah merampas semua rasa yang ada di hati Shinta. Tak tersisa lagi riak-riak gelora. Tidak ada yang mampu menggantikan posisi Rama, hanya lantaran Rama pernah memintanya menghapus pemerah bibir, dan di bibir itulah, hingga kini, masih mencatat semua gairah Rama.
Nun, jauh di seberang benua, Rama sudah terlelap. Shinta berharap bayangannya muncul dalam mimpi Rama. Berharap pertemuan yang diberikan semesta pada mereka masih menyisakan kehangatan di dada Rama. Di dada, di mana Shinta pernah mendaratkan pelukan.
Selamat pagi, Rama. Selamat bertugas. Semoga perjalananmu lancar. Semoga di kantor, banyak hal-hal yang menyenangkan dirimu. Jangan lupa membawa bekal jus buah, dan makanlah makanan yang sehat. Kurangi garam, ya. Nasi padang kurang bagus untuk kesehatanmu. Goreng-gorengan juga. Jika ingin ngemil, cobalah kacang-kacangan yang tidak mengandung garam atau buah-buah segar tanpa bumbu.
Selamat siang, Rama. Bagaimana kegiatanmu hari ini? Apakah mesin-mesin yang engkau tangani berjalan dengan sempurna? Jangan lupa makan. Jika capek, tutup ruanganmu. Rebahlah sejenak untuk memulihkan staminamu. Dan jika engkau jenuh, bacalah kembali cerpen kita.
Dalam kesunyian, Shinta menangkap sesuatu yang lain. Seseorang bisa berubah begitu drastis dan melawan kata hati, pasti karena suatu pergumulan yang luar biasa. Shinta tidak ingin bertanya atau menghakimi.
Semoga waktu menjawab semua teka-teki. Tiga bulan telah lewat semenjak pertemuan pertama itu. Hati Shinta masih bergelora.
Ketika memandang ke angkasa. Shinta tersedu. Bukankah, mereka belum pernah saling merindu sebelumnya? Mengapa sekarang hati ini seperti dibelah sembilu bermata seribu?
Déjà vu… Atau true story
Déjà vu… Atau true story
Mau baca ini ah, rekam
Hehe …. ada deh