Asal Muasal Beras dan Nasi Menjadi Makanan Pokok Kita

Tanggal 16 Oktober adalah Hari Pangan Sedunia. Yuk, kita bahas tentang makanan sehari-hari kita: nasi. Menurutku, ini menarik sekali.

Manusia diperkirakan mulai menanam padi sejak Revolusi Neolitik, masa perubahan gaya hidup berburu dan meramu menjadi menetap dan bercocok tanam. Kita pun sudah biasa makan nasi. Namun, tahukah kalian bagaimana ceritanya nasi menjadi makanan pokok kita? Kenapa harus nasi? Dan bagaimana kebiasaan makan nasi ini menyebar ke seluruh dunia?

Padi, Beras, dan Nasi

Padi, Beras, dan Nasi

Tumbuhan padi berasal dari keluarga Poaceae atau Gramineae. Termasuk dalam keluarga ini adalah gandum, padi, dan jagung. Tumbuhan padi banyak dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis. Karena untuk tumbuh optimal, padi memang membutuhkan banyak air, kelembapan tinggi, serta intensitas cahaya.

Padi memiliki biji-bijian (serealia), yang kemudian kita olah menjadi beras. Umumnya, beras telah melalui proses pengeringan untuk mencegah butir-butirnya saling menempel. Beras kaya akan pati atau tepung, sehingga dapat menjadi sumber karbohidrat kita.

Setelah ditanak, beras akan mengembang dan mengempuk. Inilah yang kemudian disebut nasi. Rasanya hambar atau netral (kecuali beras putih yang cenderung manis karena kandungan gulanya), tetapi mengenyangkan.

Selain beras putih, ada berbagai jenis lainnya, seperti beras merah, beras hitam, beras kuning, beras ungu, beras aromatik, beras basmati, beras ketan, beras pratanak, dan sebagainya. Ada juga beras sekam dan dedak yang biasanya untuk pakan ternak.

Tidak seperti jenis serealia lain, beras menyerap zat dari tanah dan menyimpannya. Beras menyerap 10-20 kali lebih banyak arsenik anorganik daripada tanaman biji-bijian lainnya.

Paparan arsenik yang berkepanjangan dapat menyebabkan keracunan kronis. Efek jangka panjangnya dapat berupa neurotoksisitas yang menyerang sistem saraf, menyebabkan kulit terluka, kerusakan kardiovaskular, kelumpuhan, serta diabetes.

Para ahli menyakini, beras adalah salah satu sumber arsenik anorganik terbanyak setelah air minum. Itulah sebabnya, berbagai lembaga menyarankan wanita hamil dan bayi untuk membatasi asupan nasi, mengingat efek samping kandungan arsenik tersebut.

Gurihnya Sejarah Nasi

Gurihnya Sejarah Nasi

Pada tahun 7000-an SM, padi tumbuh begitu subur di sekitar Sungai Yangtze, Tiongkok. Sementara di India dan negara-negara Asia Selatan yang beriklim serupa, pada sekitar 10.000 tahun lalu, tumbuhan ini sudah banyak dibudidayakan. Dari India dan Tiongkok, beras menyebar ke Asia Tenggara, hingga Indonesia.

Apakah padi tidak tumbuh di Nusantara sebelum itu? Jangan salah. Beberapa arkeolog bidang pangan malah berpendapat, sejak awal, padi merupakan tanaman endemik Nusantara.

Pertanyaan yang lebih tepat barangkali, apakah sebelum datangnya India-Tiongkok (yang sekaligus membawa ajaran Hindu-Buddha), masyarakat Nusantara telah memanfaatkan padi sebagai bahan pangan pokok? Mungkin tidak.

Beberapa sejarawan meyakini makanan pokok masyarakat Nusantara saat itu adalah umbi-umbian. Jadi mungkin saja, pedagang Tiongkok dan Indialah yang menginspirasi mereka untuk menggeser makanan pokok dari umbi menjadi nasi.

Di sisi lain, ternyata Afrika juga menyumbangkan pengaruhnya. Menurut kajian sejarah, diyakini beras yang dimakan masyarakat Indonesia saat ini berbeda dengan zaman Kerajaan Hindu-Buddha dulu.

Beras yang kita makan sekarang, nasi putih alias Oryza sativa, dipercaya dari Tiongkok dan India. Sedangkan beras yang dimakan nenek moyang kita, nasi hitam alias Oryza glaberrima, datang dari Afrika. Warna, nutrisi, dan teknik pembudidayaannya berbeda.

Bagaimanapun, ketika sudah memasuki periode kerajaan, masyarakat Nusantara telah menyantap nasi dari hasil budidaya sendiri. Padi sebagai bahan pangan sudah tercatat dalam naskah kuno Nusantara, salah satunya Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca (1365) pada era Majapahit.

Bukti lain terdapat di Candi Borobudur, Magelang. Sebuah relief menggambarkan nasi tumpeng dalam adegan upacara keagamaan. Hingga kini, sebagian kalangan masih menganggap sakral nasi tumpeng. Tumpeng menyimbolkan gunung, miniatur semesta. Bahkan sebelum ajaran Hindu-Buddha tiba di tanah air, gunung telah diagung-agungkan oleh masyarakat Jawa.

Bukan hanya di Asia, rupanya beras juga dikenal orang Yunani kuno, terutama sejak ekspedisi Alexander Agung ke Persia. Di zaman Kekaisaran Romawi, beras kemudian menyebarkan ke daerah-daerah jajahannya, hingga perlahan-lahan mencapai Afrika Barat pada Abad Pertengahan.

Kenapa Beras Populer Sekali di Indonesia

Kenapa Beras Populer Sekali di Indonesia

Dalam berbagai kajian, budaya Tionghoa terbukti banyak mempengaruhi masyarakat Indonesia. Termasuk makanan, spesifiknya nasi. Jadi wajar bila kebanyakan penduduk Indonesia memakan nasi, sebagaimana penduduk Asia Timur lainnya.

Ditambah lagi, beras tergolong murah. Harganya di pasar saat ini, menurut bincang-bincang ria dengan seorang temanku di Indonesia, beras enak masih ada yang seharga Rp9.000-an per kilogram.

Di Kota Arles sendiri, harga kiloan beras berkisar 1-3 euro. Di sini, banyak variasi beras yang mudah kita beli di pasar, seperti beras Paella Spanyol, beras Risotto Italia, beras Sushi Jepang, dan beras Thai.

Dan jangan salah, wilayah Arles sendiri menghasilkan beras yang sangat terkenal, Riz Camargue. Kalau ada yang berkerut kening, “Memangnya di Prancis ada sawah?” Ah, jangan-jangan kalian belum baca artikelku mengenai kemajuan pertanian Prancis, ya? Hehehe….

Yang menarik, di Indonesia, ada banyak bahan pangan utama selain beras. Misalnya, jagung di Madura, sagu di Indonesia timur, singkong, ubi, sukun, dan sebagainya. Mengapa hanya beras yang diutamakan dari Sabang sampai Merauke?

Ternyata, faktor politik berandil juga. Dulu, presiden Indonesia pertama Sukarno, cenderung melakukan diversifikasi pangan. Bahan pokok apapun, selama khas Indonesia, akan beliau promosikan sebagai makanan kebanggaan. Makanya, muncul istilah “gastrodiplomasi”, yakni diplomasi budaya dengan memanfaatkan makanan untuk memperkuat identitas negara.

Di era Suharto, kebijakannya beda lagi. Sejak 1970-an, orientasi beliau justru penyeragaman makanan pokok, dengan dibungkus program swasembada beras, yang memang sukses pada tahun 1984-1986.

Cuma, lantaran orientasi itu, semua orang jadi makan beras. Sawah padi diperluas gila-gilaan. Daerah-daerah di Indonesia pun mengalami ketergantungan terhadap beras. Bahkan orang Papua sekarang, terutama yang di perkotaan, merasa lebih kenyang kalau makan nasi, bukan makan sagu.

Makanya, di pemerintahan Jokowi, program diversifikasi digalakkan kembali. Dengan harapan, warga dapat kembali memakan bahan pokok yang sesuai daerahnya. Stok beras takkan mudah defisit, dan pertanian pun bisa beragam.

Entah berhasil, entah (sekali lagi) hanya bertendensi politik, yang terpenting adalah tidak ada lagi kelaparan, terutama di Indonesia. Setuju?

Referensi

Yuk, bagikan tulisan ini di...

Leave a Comment