Hari Minggu kemarin, 13 Agustus 2017, seperti biasa, pagi-pagi aku sudah sibuk mengurusi tamu penginapan yang pamitan. Juragan berkata, “Siang ini, kamu enggak usah masak, deh.”
Aku langsung melonjak kegirangan. Lumayan. Hari ini, pekerjaanku sangat banyak, berhubung semua tamu keluar bersamaan. Hingga pukul 11.00, aku masih membantu melepaskan seprai, mengingat ada tujuh tempat tidur yang harus beres sebelum tamu berikutnya datang.
Tiba-tiba, juragan memanggil lagi, “Kamu ganti baju, jangan sampai kalah cantik dengan teman-temanmu hari ini,” katanya.
“Apa? Teman-teman?” Belum sempat aku bertanya ini-itu, juragan sudah keluar dari pintu dan menghilang.
Paniklah aku. Cepat-cepat, kumasukkan tumpukan cucian kotor ke kantong. Segera, aku berlari ke kamar. Lalu, kuraih telepon dan SMS ke nomor pengaduan darurat. “Bu RT, gimana toh? Ada pesta di rumahku, tapi aku enggak diundang?” SMS terkirim, lengkap dengan ikon sedih untuk menuduh sekaligus menyalahkannya!
“Loh, aku juga enggak diundang!” jawab Bu RT, Santi Silas, dengan ikon wajah cemberut.
Lalu, menyusul satu SMS lagi, “Selamat berpesta, ya! Aku lagi mau ke Toulouse, nih!”
Yah! Mau bilang apa lagi? Aku menjawab dengan ikon jempol dan kecupan sayang, mencabut suuzon yang terlanjur bersarang di dada.
Kutatap kaca dengan tatapan nanar! “Wahai cerminku yang antik, bisakah hari ini aku tampil cantik?”
Oh, oh! Sudah pukul 11.50!
Sungguh kejutan yang kejam, apalagi tanpa kehadiran Bu RT. Siapa yang akan memandu kami yang sudah terbiasa dengan “bentakan kasih sayang”-nya. Sementara Mbak Ari yang terbiasa mengatur pesta masih di Italia, dan baru kembali ke Prancis akhir Agustus.
Hatiku bertanya-tanya, apakah grup arisanku tersayang hadir? Karena mereka adalah juru selamatku.
Biasanya, bila ada acara kumpul, kami semua bahu-membahu, baik menyumbang makanan, tenaga, atau berbagai peralatan. Asal pesta meriah! Biasanya juga, ada pemberitahuan dress code, sehingga aku tinggal mencomot warna yang diminta. Dan pasti aku geladi resik berulang-ulang, hingga benangnya kusut.
Tetapi hari itu?
Demikian tersiksa aku menentukan performa, lalala…
Ini adalah kali kedua dalam sepuluh tahun terakhir, aku didatangi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kalau sudah begini, rasanya ingin menenggak air segalon saja.
Sementara aku masih terpaku di depan lemari, di luar, jasa katering yang dikoordinasi juragan sudah datang. Tumben pula, beliau demikian berinisiatif dan kooporatif. Jangan-jangan, semuai ini sudah diatur sangat rapi dari jauh-jauh hari. Hmmmm….
Tak lama kemudian, datanglah Bu RT, rombongan yang mengakunya tadi akan ke Toulouse. Disusul teman-teman lainnya, berikut suami masing-masing: Putri, Fany, Susi, Jeng Esti, sungguh kompak. Begitu bertemu, mereka langsung menjerit-jerit girang dan ketawa-ketiwi tanpa dosa. Sungguh membuatku gemas!
Tidak hanya datang, mereka juga membawa sejumlah sesajen ala Indonesia. Ada bakwan, lumpia, gado-gado, kue pandan, kue jeruk mandarin, kue pâtisserie, bunga, selai buah, keju dan es teler nangka duren.
Melihat lezatnya menu-menu yang akan masuk ke perutku siang ini, aku lupa bahwa aku tidak diundang hari ini.
Es teler nangka duren telah diujicobakan kepada beberapa bule, termasuk juragan yang dulu melihat durian dari jarak 5 kilometer saja sudah mual. Sekarang? Mereka tidak ragu untuk menyendok ulang.
Lumpia dan bakwan diserbu hingga tetes tepung penghabisan. Demikian juga dengan gado-gado yang asli lekker. Tak lupa sambal botol edisi terbaru, isinya berkurang drastis dalam beberapa menit saja. Kue-kue juga laris manis. Dipikir-pikir, memang hebring makanan nusantara kita, ya!
Sementara itu, pihak katering menyediakan plateau appetisser, nasi merah-putih, terung caponata, ikan, cumi, udang, daging ayam, bebek, semuanya ala plancha. Ditambah buah melon dan semangka. Minumannya berupa wine, kola, jus jeruk, serta air soda.
Meskipun enak-enak, tetapi tetap kalah pamor dengan menu sepenuh cinta yang dibawa teman-temanku.
Dan asyiknya, semua kemewahan yang kusantap di pesta ini, aku tidak campur tangan sama sekali. C’est super! Mau bilang ketagihan, tetapi takut ditimpuk juragan.
Sayangnya, tingkat kriminal teman-temanku hanya sebatas makan-makan. Paling imbasnya hanya bertambah berat badan, jadi kasus ini tidak bisa disidangkan.
Akhirnya, operasi bungkus-bungkus “dari kita, oleh kita, untuk kita” berlangsung damai. Ini sudah menjadi tradisi tak resmi dari perut kami.
Demikianlah, teman-temanku bersekongkol dengan juragan untuk mengkhianatiku… supaya aku tidak usah repot-repot membuat persiapan “open house” yang biasanya berlangsung pada Agustus di penginapan ini. Terlalu!
Konon, setelah dikontak sebanyak 100 orang, 60 orang sedang liburan, 5 orang sudah ada acara di tempat lain, 4 orang pulang kampung, dan 3 orang berhalangan.
Moral cerita: Jangan meremehkan kekuatan teman-temanmu. Karena bila diperlukan, mereka sanggup bersekongkol untuk “mengkhianatimu” sewaktu-waktu, supaya kamu bersyukur telah memiliki mereka.
Sekali lagi, terima kasih, semuanya! Tanpa perhatian kalian, di tanah rantau ini, hidupku pasti merana.