Tahun 2022 telah tiba. Ada yang berkata, “Yang lalu biarlah jadi sejarah. Tak perlu ditengok lagi. Fokuslah pada masa kini dan masa depan!” Menurutku, itu kurang bijak juga. Karena bagaimanapun, kita adalah pelaku dan bagian dari sejarah. Maka kita perlu terus mempelajari sejarah, baik lokal maupun global. Lagi pula, belajar sejarah itu asyik!
Herodotos, Bapak Sejarah yang hidup sekitar abad 5 SM, dalam buku tentang Perang Yunani-Persia yang berjudul Historia, berpesan agar sejarah manusia tidak luntur oleh waktu. Termasuk cerita-cerita tentang tindakan besar yang menakjubkan, baik dari orang Yunani maupun bangsa barbar, serta apa yang menyebabkan mereka saling berperang.
Berkat ketelatenan para sejarawan, kejadian-kejadian di masa lalu sampai kepada kita, untuk diambil hikmahnya. Memang, ada banyak alasan kenapa sejarah itu penting. Apa saja?
ISI ARTIKEL
Belajar Sejarah untuk Menyemai Nilai-nilai Lama
Ketika belajar sejarah, kita digiring ke masa lampau. Tidak harus masa lalu yang jauh dari sekarang. Bahkan satu menit yang lalu sudah dapat dianggap masa silam. Sejarah hanyalah sebutan. Kejadian dan implementasinya sendiri bisa bermacam-macam.
Di bidang disiplin ilmu ini, wawasan kita tentang budaya serta norma-norma dibentuk. Sejarah membantu manusia memahami mengapa suatu tindakan dilakukan.
Sebab, sejarah adalah bagian dari etnografi, atau ilmu yang mempelajari perilaku suku-suku dalam masyarakat dunia. Etnografi menyangkut kelompok dan formasi etnis, berikut ragam komposisi budaya, tempat tinggal, agama, serta kehidupan sosial mereka.
Nilai-nilai dalam suatu kelompok budaya ini gampang berubah. Contoh sederhana, dahulu, ketika lewat di depan orang yang lebih tua, kita membungkuk, atau minimal mengangguk hormat. Sekarang, banyak anak muda tidak melakukan sopan santun itu lagi. Mereka hanya lewat tanpa berusaha meminta permisi, bahkan dalam sebentuk gestur tubuh sekalipun.
Dalam etnografi, nilai saling menghormati semacam ini disebut tata krama. Bila sudah terbiasa sejak dini, tata krama termasuk warisan berharga dari nenek moyang kita untuk memudahkan seseorang bersosialisasi. Sungguh disayangkan, bila tradisi itu perlahan luntur, hanya karena kita lupa akan sejarahnya.
Belajar Sejarah Membuat Kita Pintar
Sejarah ibarat berita media massa. Ditulis bukan hanya oleh seorang penulis, dari satu narasumber, lalu disebarkan begitu saja ke publik. Standar penulisan media harus memenuhi kaidah 5W + H. Harus jelas siapa melakukan apa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana kejadiannya.
Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis membutuhkan referensi dari narasumber atau data dari penulis lainnya. Jika permasalahannya pelik dan bersifat pro-kontra, narasumber harus ada beberapa, masing-masing mewakili pihak yang bertentangan (cover both sides), agar penjabarannya nanti tidak memihak (netral).
Dari sisi narasumber pun tidak bisa hanya seorang. Ada narasumber yang melakukan (pelaku), melihat kejadian (saksi), ada pula narasumber ahli (tidak mengalami dan bukan pelaku tetapi pakar di bidang yang dibahas). Beda kejadian, beda pula narasumbernya.
Maka untuk menyajikan fakta yang objektif, tak jarang penulis atau wartawannya lebih dari satu. Mereka akan berbagi tugas dan berdiskusi. Pun, pada akhirnya, tulisan akan diperiksa lagi oleh editor atau redaktur. Jika ada kelemahan logika, perdebatan sangat mungkin kembali digelar.
Demikian pula penulisan sejarah. Untuk memahami rantai peristiwa penting yang kompleks, banyak referensi harus dibaca, ditonton, disimak, dan ditelaah. Banyak pakar, saksi, pelaku sejarah, penulis, serta penguji dilibatkan. Setelah itu, jadilah wacana sejarah matang yang siap disampaikan ke publik.
Itu pun tetap tidak bisa dibilang fakta yang seratus persen benar. Selalu terbuka peluang untuk diuji kembali kebenarannya. Misalnya, dua puluh tahun lalu, Presiden Soeharto disanjung-sanjung. Sepuluh tahun lalu, tokoh yang sama dihujat-hujat atas nama reformasi. Lantas saat ini, sebagian kembali memuji-muji Pak Harto.
Contoh lain, Kapal Van der Wijk pernah dianggap tenggelam karena kelebihan muatan. Saat ini, mungkin ada fakta-fakta baru yang, bisa jadi, berujung pada kesimpulan yang berbeda.
Sejarah bukanlah matematika yang 1 + 1 = 2. Sejarah itu kompleks dan dinamis. Mempelajarinya membuat kita mengetahui banyak hal. Dengan kata lain, belajar sejarah akan membuat kita pintar, kritis, dan berwawasan luas.
Belajar Sejarah Mendorong Kita Bijak
Selain menambah wawasan, belajar sejarah dapat membiasakan kita berpikir bijak. Kita takkan tergesa-gesa memberikan vonis atau kesimpulan atas peristiwa tertentu. Kita juga menolak untuk memandang sesuatu hanya dari satu sisi.
Umpamanya, saat kita membaca sejarah Belanda yang menjajah Indonesia. Kekejaman Belanda terlihat dari pemaksaan rakyat untuk bekerja Cultuurstelsel (Tanam Paksa), bersama Inggris membantai rakyat Surabaya yang mereka anggap pemberontak, dan sebagainya.
Pertanyaannya, apakah semua orang Belanda kejam? Kalau kita tahu sejarah, tentu kita menjawab tidak.
Dan, apakah seandainya Belanda terus menjajah dan tidak ada perlawanan sama sekali, Indonesia takkan merdeka? Belum tentu juga.
Bisa saja generasi penerus di pihak Belanda berubah pikiran. Terbukti, Suriname, jajahan Belanda yang lain, pada 25 November 1975 akhirnya mereka hadiahi kemerdekaan. Meskipun, pembangunan negara baru itu tetap sangat tergantung pada bantuan Belanda.
Sejarah pula yang memberi tahu kita bahwa biarpun negara-negara Eropa dahulu beringas dalam menjajah, toh satu per satu sudah tobat. Bahkan saat ini, mereka berbalik menjadi negara yang sangat keras menjaga Hak Asasi Manusia (HAM). Asal tahu saja, Cour Internationale de Justice (Mahkamah Internasional) yang biasa mengadili kasus-kasus HAM berada di Den Haag, Belanda.
Dari sejarah, kita belajar menyelidiki konteks kejadian. Dengan pemahaman yang baik akan konteks, kita menjadi lebih bijak dalam berpikir. Masuk akal, bukan?
Belajar Sejarah untuk Mengantisipasi Masa Depan
Tidak ada masa kini tanpa masa lalu. Artinya, tidak ada masa depan tanpa masa lampau. Tren yang terjadi hari ini boleh jadi merupakan pengulangan sejarah belaka. Tinggal bagaimana kita mengantisipasinya. Atau sebaliknya, kembali jatuh ke lubang yang sama.
Tulisanku mengenai pandemi-pandemi sebelum Corona bisa menjadi gambaran, betapa miripnya sikap orang-orang zaman itu dengan masyarakat saat ini, saat menghadapi cikal bakal suatu wabah. Awalnya meremehkan, lalu bum! Terjadilah pandemi.
Jika kita tidak pernah mau membaca sejarah, tentu kita sendiri yang akan rugi.
Kerugian ini tidak harus dalam skala besar atau di tingkatan bangsa dan negara. Dalam hal kesehatan diri sendiri saja dapat dibuktikan. Saat kita gagal membaca sejarah tubuh kita (riwayat kesehatan), bisa dipastikan masa depan kita takkan tenang.
Taruhlah tubuh kita mendadak menderita asam lambung. Kita berobat, lalu sembuh. Namun bila kita tidak mempelajari atau mengingat sejarah (sakit) itu, setelah lambung terasa normal kembali, kita bertindak seolah-olah tidak pernah sakit. Disuguhi kopi di rumah teman kita minum, enak-enak saja menyantap nasi padang, membiarkan diri begadang, dan seterusnya.
Kemudian, sakit itu kembali kambuh, bahkan gejalanya lebih parah dari sebelumnya. Barulah kita sadar pentingnya memahami sejarah, sekalipun sekadar sejarah badan sendiri.
Akan berbeda nasibnya, bila kita mengingat kejadian pertama, lalu menaati nasihat dokter. Kemungkinan penyakit itu datang kembali menjadi berkurang.
Belajar Sejarah Membuat Kita Banyak Bahan Obrolan
Sejarah dianggap membosankan oleh banyak orang. Benarkah? Justru sebaliknya, menurutku! Sejarah tergolong jenis informasi. Makin banyak yang kita tahu, makin beragam topik pembicaraan yang kita kuasai.
Bayangkan, kita terjebak di lift bersama lima orang. Tidak ada sinyal seluler. Apakah kita akan diam-diam saja sambil menunggu bantuan datang? Tentu lebih baik bila kita mencairkan suasana dengan mengangkat topik-topik aktual, sehingga waktu tunggu itu tidak menjadi menegangkan atau membosankan.
Atau bayangkan, kita duduk di sebuah forum internasional. Sebelah kanan dan kiri adalah orang-orang terpelajar. Sekali lagi, apakah kita akan diam-diam saja sembari menanti acara dimulai?
Percayalah, jika sewaktu-waktu terjadi situasi semacam itu, wawasan kita tentang sejarah akan memberi kita banyak jalan. Apalagi, pada dasarnya, sejarah itu sangat luas, bahkan mencakup setiap detik hidup kita.
Belum percaya dengan pentingnya sejarah?
Pasti ada alasan kuat mengapa presiden pertama kita, Ir. Soekarno, berpesan agar kita jangan sekali-sekali melupakan sejarah (akronimnya “jas merah”). Bahkan beliau juga berpesan, “Tulislah tentang aku dengan tinta hitam atau tinta putihmu. Biarlah sejarah membaca dan menjawabnya.”
Sebenarnya, ada seribu alasan mengapa belajar sejarah itu asyik. Namun, yang 995 biarlah kuceritakan lain kali saja. Hehehe.